Kamis, 28 Agustus 2008

Let's have a cup of Java

Minum kopi masih menjadi kebiasaan bagi orang Eropa daratan dan Amerika. Tidak ubahnya minum teh pada sore hari bagi orang Inggris.

Kopi Jawa dulu menjadi primadona yang diangkut dari perkebunan datran tinggi melalui Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) untuk diekspor ke Eropa. Kopi Jawa adalah salah satu primadona seperti kina, tebu, the dan karet yang kini pamornya semakin surut karena system budidaya pertanian yang cob asana coba sini sehingga kehilangan focus.

Sebagai contoh nyata adalah kerangka beton bangunan bedeng buatan Belanda di tengah sawah dan kebun di sebuah perkampungan di Cadas Pangeran. Pada masa silam, menurut warga, bedeng tersebut merupakan bagian dari kompleks perkebunan kopi yang subur di sekitar wilayah tersebut.

Malaysia tetap melestarikan perkebunan karet dan lada sejak jaman colonial Inggris hingga paska kemerdekaan tahun 1957, yang tetap lestari sampai saat ini. Sementara, sungguh disayangkan, kopi Jawa akhirnya kehilangan pamor karena salah urus kebijakan pemerintahan yang tidak tentu arah.

Padahal, menurut Widya Pratama, pemilik Aroma Kopi yang didirikan tahun 1930, kopi terbaik di dunia adalah kopi Jawa !

“Curah hujan dan tingkat keasaman tanah di jawa sangat pas untuk budidaya kopi. Jauh lebih baik daripada kopi Amerika Latin ataupun Afrika.

Untung sekarang sudah mulai ada kesadaran lagi menanam kopi jawa. Dulu dataran tinggi Lembang merupakan surga perkebunan kopi yang kini tergusur perumahan. Sekarang di Pangalengan sudah mulai dirintis penanaman kopi Jawa.

Manajer Komunikasi PT. Sari Coffee Indonesia, Yuvlinda Susanta menjelaskan, pihaknya pernah mengenalkan kembali kopi Jawa melalui gerainya yang ada diseluruh dunia. Secara kualitas memang sangat bagus. Tetapi dari sisi kuantitas selanjutnya tidak terpenuhi sehingga penjualan terhenti.

Berawal dari tanam paksa

Kejayaan kopi jawa berawal dari penerapan tanam paksa (Cultur Stelsel) masa Gubernur Jendral Johannes van Den Bosch (berkuasa 1830-1833). Peter Boomgard dalam buku Anak jajahan Belanda Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa 1795-1880 mencatat bahwa tanam paksa mewajibkan petani mengalokasikan seperlima lahan untuk tanaman bagi pasar Eropa, yaitu kopi, tebu, nila, the dan tembakau.

Sungguh indah Jawa tempo dulu. Betapa pertanian dan perkebunan dikelola secara terarah meski ada praktek korupsi serta pengisapan di kalangan elite penguasa Bumiputera.

Alfred Russel Wallace, sang naturalis terkenal yang namanya diabadikan sebagai garis pemisah untuk membedakan keragaman fauna di sebelah Barat dan Timur Nusantara, bahkan mengklaim Jawa sebagai the finest tropical island in the world atau pulau tropis terbaik di dunia. Wallace berkelana selama tida setengah bulan di jawa pada tahun 1861.

“Pulau tersubur, terpadat dan terindah di seluruh tropis. Begitu banyak gunung berapi memberkahi Jawa dengan tanah yang subur,” kenang Wallace.

Dalam Java a Traveller’s Anthology disebutkan, Wallace mengunjungi kebun kopi di Wonosalem di kaki Gunung Arjuna- tak jauh dari Surabaya.

Wallace dalam jurnal yang diterbitkan 1869 memuji-muji system pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang tetap mempertahankan keberadaan elite local di tingkat desa, para bupati, budidaya perkebunan kopi dan teh, keindahan alam, serta candi-candi Jawa yang lebih indah daripada India dan peninggalan purbakala di Amerika latin wilayah jajahan Inggris.

Eksotisme Jawa dikenal didunia Barat, terutama lewat hasil buminya, kopi.

Tetapi, biji kopi harus disimpan lima tahun untuk jenis Robusta dan delapan tahun bagi kopi Arabica untuk selanjutnya diproses demi mendapatkan rasa terbaik. Dari seratus kilogram biji kopi (berry) kering akan didapat sekitar 80 ilogram bubuk kopi yang bebas dari rasa masam. Memasak biji kopi jawa pun seharusnya menggunakan kayu bakar dari pohon karet dan disangrai di dalam sebuah wadah berbentuk globe. Sayang, banyak pengusaha kopi jawa yang sekarang tidak mematuhi kaidah tersebut dan mengejar omzet belaka tanpa memedulikan mutu.

By Rindy Atmoko (dari berbagai sumber)

Jumat, 22 Agustus 2008

Ngopi dulu aahh .....

design by Rindy

Sabtu, 09 Agustus 2008

Cartoon by Rindy

Urban legends

Urban Legends; tentu saja ini bukan tentang cerita horror versi Hollywood yang berdarah-darah. Tetapi esensinya sama, didalamnya mengandung simbolisasi kegetiran hidup yang (bisa) sangat menyeramkan. Menyayat hati. Meskipun juga tidak sedikit yang berakhir dengan happy ending.

Fenomena kaum urban di kota-kota besar di dunia, memang sulit dibendung. Dalam hal ini kota Jakarta tak luput menjadi sasaran. metropolitan.

Puluhan ribu, bahkan ratusan ribu penduduk pedesaan berbondong-bondong menyerbu kota Jakarta untuk mengadu nasib. metropolitan

Faktor ekonomi, terutama karena lapangan pekerjaan yang sangat terbatas, pekerjaan di sektor pertanian yang sangat tidak memadai, menjadi penyebab kaum urban ngacir dari kampung halamannya.

Sementara itu, disisi lain, kota metropolitan Jakarta yang gemerlap berkilau membikin kaum urban silau dan berebutan mengadu nasib, mengejar berjuta mimpi melalui lorong-lorong jebakan yang tak berujung.

Dibalik gemerlap Jakarta, kisah kemalangan dan derita memaksa mereka “berakrobat” agar tetap survive.

Akhirnya persoalan yang dihadapi pemerintah menjadi sangat rumit dan kompleks.

Meskipun hingar bingar otonomi daerah sudah gencar semarak, tetapi terbukti masih belum perkasa.

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus bersatu padu dan saling melengkapi dalam melaksanakan program penanggulangan masalah urbanisasi.

Langkah utama yang harus dilakukan:

  1. Ekstensifikasi & intensifikasi pertanian.
  2. Berdayakan ekonomi berbasis kerakyatan (wisata, kerajinan, pengolahan makanan dalam skala home industri) dengan memberikan kredit dengan bunga yang super ringan.
  3. Memberi pelatihan dan menyediakan kesempatan promosi di dalam dan luar negeri.

Karena pada dasarnya, arus urbanisasi merupakan refleksi dari kegagalan pemerintah (daerah) dalam mengatasi kebuntuan dan stagnasi perekonomian di daerah.

Di Jakarta, tidak pernah terdengar orang Bali (yang kita konotasikan dengan nama khas Bali) yang tertangkap tramtib, dikejar-kejar Polisi PP karena jadi pengemis, atau hidup di kolong jembatan. Kenapa? Karena di Bali lapangan pekerjaan sudah cukup tersedia. Potensi wisata dan kesenian (ekonomi kreatif) benar-benar digarap secara serius dan terarah oleh pemda Bali.

Jadi, ngapain ke Jakarte bang !

Ditulis oleh Rindy