Minggu, 29 Juni 2008

POLITIK KANTOR

Pada sebuah acara makan siang seorang teman mengeluhkan suasana kantornya, sebuah perusahaan multinasional, yang sarat dengan kegiatan “berpolitik”. Ditempat kerjanya, berkembang “klik-klikan” makan siang ataupun jemputan yang kemudian menjadi hubungan tertutup. Hubungan tersebut sangat erat satu sama lain, di mana mereka berbagi gossip dan fakta, menunjukkan sikap subjektif dalam melihat masalah dan bahkan memengaruhi penunjukkan dan pemilihan anggota tim. Teman saya yang lain kemudian berkomentar, “Yaah … kalau sudah ada lebih dari dua orang karyawan dalam satu tim, sudah pastilah ada “politik”nya.

Politik kantor yang sering ditanggapi orang dengan sikap “alergik” pada kenyataannya tidak pernah punah, bahkan merupakan realita. Kita sering tidak bersimpati dengan seseorang yang “sok bener” terutama di depan atasannya, bahkan tega “menyingkirkan” semua orang yang dianggap tidak benar, apalagi “membahayakan kedudukannya”. Ada juga individu yang tidak kita sukai karena ia pandai sekali memanfaatkan “power”, dan bisa membuat ketergantungan atasan pada dia, sehingga pada “timing” yang tepat, ia bisa unjuk gigi alias bermain dengan bargaining power-nya.

Mengapa situasi “berpolitik” seperti ini menjengkelkan orang-orang yang berada di “luar permainan” ? Menurut ahlinya, politik kantor ini menjadi lebih kelihatan nyata pada lembaga yang kekuatan SDM-nya tidak seimbang, misalnya banyak yang produktif sementara banyak yang bermalas-masalan. Ada istilah “like and dislike” yang muncul karena standar kinerja yang sulit dibuktikan apalagi dihitung, juga job description yang tidak seimbang dan tidak jelas, yang kesemuanya bisa membangkitkan rasa tidak aman dalam bekerja. Rasa tidak aman ini terutama akan lebih terasa lagi, pada orang yang sama sekali tidak mau “bermain” dan juga tidak menyadari bahaya apalagi tahu cara mainnya.

Politik kantor memang sangat subyektif dan informal, inilah sebabnya hal itu terasa tetapi sulit diraba dan teraga.

Tahu Apa yang kita Mau

Teman saya, yang bekerja di sebuah perusahaan berukuran sedang merasa bahwa ia juga harus melakukan kegiatan lobby, mengikuti kegiatan-kegiatan minum teh bahkan mempersuasi pengambil keputusan, ketika ia berusaha menjalankan rencana mengubah operating system jaringan informasi di perusahaannya. Melihat bahwa ia benar-benar berjuang demi penggantian system tanpa berniat mendapatkan kedudukan, kedekatan dan power bagi dirinya, saya lantas menanyakan hal apa yang dia bela matia-matian? Dengan santai ia menjawab bahwa yang ia bela adalah sekedar kinerja pribadinya. Tanpa kasak-kusuk, bujuk-membujuk, sikap super baik, dan mendekati orang-orang kunci, ia tahu tidak mungkin ia berhasil menjalankan perubahan yang menyulitkan di perusahaan tanpa adanya dukungan.

“Sederhananya, saya tidak idealis-idealis amat. Saya tahu bila penerapan system ini gagal, karir saya akan terhambat.”

Untuk survive di lingkungan organisasi, kita memang perlu kuat dan berakar, serta tahu apa yang kita mau. Kita bisa menyasar hal-hal material, kita bisa juga mementingkan karir, kinerja dan peningkatan kompetensi, sementara orang lain ada yang memburu keterlibatannya dalam kelompok tertentu, power atau control terhadap situasi.

Namun, berdiam diri dan berharap bahwa segala sesuatu akan berjalan sesuai dengan system yang ada, memang hampir tidak mungkin.

“Kita perlu tahu di mana pusat kekuatan, siapa orang yang berpengaruh dan bisa memengaruhi lingkungan social. Kita pun perlu bisa me-“licin” kan upaya kita melalui pendekatan,” demikian ungkap teman saya.

Sepanjang kita bersikap fair, tidak manipulatif dan curang, me-lobby, mempersuasi dan berpolitik memang harus dilakukan. Sikap negative seperti yang kita kenal misalnya “system loncat kodok”, menyembah keatas menendang kebawah, tentunya adalah gaya yang tidak anggun dan tidak dilakukan oleh orang yang tahu berpolitik dengan baik.

Bertindak halal tanpa Menghalalkan Segala Cara

Ketika dalam suatu rapat, CEO perusahaan tempat saya bekerja mengumumkan bahwa rekrutmen di perusahaan ini menganut system keluarga dan pertemanan, saya baru memahami bahwa di dalam berorganisasi ada realitas berpolitik yang perlu dicermati. Hal ini menyangkut siapa dekat dengan siapa, siapa mempunyai pandangan yang sama dengan yang mana, siapa pemain kunci dan siapa sekedar pengikut atau penggembira. Jejaring pertemanan yang berdasarkan kedekatan masa kecil, almamater, kesamaan pandangan atau ideology biasanya merupakan lahan berpolitik. Sama seperti strategi perang, berpolitik pun memerlukan pemetaan dan perencanaan yang mapan.

Dari pengamatan para ahli, orang-orang kuat dalam perusahaan dan organisasi biasanya memang bukannya tidak berstrategi, mereka juga “politically savvy”. Orang-orang ini tahu bagaimana berhubungan dengan atasan. Bersamaan dengan upaya itu, seorang tahu berpolitik pasti berupaya untuk selalu “tampil” di rapat-rapat penting, tahu mendekati “orang-orang kunci”, menunjukkan “corporate manners” yg baik dan menampilkan kemampuannya sebagai “team player”.

Berproduksi itu Mutlak, Berpolitik itu cara bergaul

Dalam organisasi apapun, kita hanya bisa eksis bila memiliki kontribusi yang signifikan. Kontribusi yang sudah kita tunjukkan jangan sampai dikotori dengan mempraktekkan cara gaul murahan seperti bergosip, menekan, menyalah gunakan jabatan dan mencari muka tanpa alasan.

(KOMPAS, EXPERD, 28 Juni 2008)

Selasa, 24 Juni 2008

by Rindy

Selasa, 17 Juni 2008

Hot Ngelesot

Angkringan "Sego Kucing" pun ber-hotspot.
(courtesy of Kompas)

Orang Yogya sedang mengalami demam hotspot. Fasilitas hotspot disediakan di mana-mana, mulai kampus, sekolah, taman kanak-kanak, kedai, kos-kosan, arena futsal, hingga angkringan. Saking banyaknya hotspot, anak-anak muda di sini berseloroh, “kalau ada republic hotspot, Yogyakarta pasti jadi ibu kotanya.”

Jika Anda jalan-jalan ke Ambarukmo Plaza (Amplas) di jalan Laksda Adisucipto, Anda akan mudah menjumpai anak-anak muda menenteng laptop. Mudah ditebak, mereka pasti akan mampir ke salah satu kafe yang dilengkapi hotspot (area di mana orang bisa mengakses internet tanpa kabel). Mereka akan memesan segelas minuman, kemudian menyalakan laptopnya dan mulai berinternet selama dua jam sesuai batas maksimal yang ditetapkan kafe-kafe di sana.

Pemandangan serupa bisa ditemui di mal Jogjatronik di jalan Brigjen Katamso, tepatnya di lantai tiga. Jumat (6/6) sore, ada dua belas orang duduk lesehan di selasar toko sambil memangku laptopnya dan asyik berselancar di dunia maya. Sama seperti di Amplas, mereka adalah para pemburu hotspot. Bedanya, mereka tidak perlu mampir di kedai dan membeli minuman sebagai prasyarat menikmati fasilitas hotspot. Mereka cukup memanfaatkan gelombang hotspot gratisan yang meluber hingga ke selasar toko. Pemburu hotspot di tempat ini mungkin termasuk orang yang hemat atau mungkin bokek.

Sejumlah kedai di sepanjang selokan Mataram , Gejayan , Sagan dan Terban juga banyak yang ber-hotspot. Biasanya kafe itu akan memasang spanduk bertuliskan “Free Hotspot, Unlimited”. Ada juga yang bertuliskan “Hot Ngelesot”. Maksudnya, fasilitas hotspot bisa digunakan sambil ngelesot atau lesehan di lantai.

Fasilitas hotspot di kedai-kedai semacam itu pun gratis. Di kafe Djendelo Tanah Airkoe, misalnya, Anda cukup membeli segelas Es Teh Djendelo Bersoebsidi seharga Rp. 4.000 dan Anda sudah bisa memanfaatkan fasilitas hotspot mulai kafe itu buka di siang hari hingga tutup pukul 22.00. Itu kalau Anda tidak malu !

Nyatanya, kata Korlap Djendelo, Yusuf Sinaga, ada beberapa pelanggan yang tidak punya rasa malu. “Main internet dari pagi sampai malam kok cuma pesan satu gelas teh. Saya sudah mendelik-mendelik dan hilir mudik di depannya, eh dia cuek aja,” katanya.

Tidak mau ketinggalan, kos-kosan, lapangan futsal, dan TK juga dilengkapi hotspot. Ibu-ibu lebih senang hanyut dalam dunia maya ketimbang ngerumpi dengan sesama sambil menunggu anaknya selesai belajar dan bermain di TK.

Yang lebih fenomenal, hotspot juga bisa dijumpai di angkringan. Salah satunya angkringan di halaman Sawitsari, Condongcatur, Sleman.

Pada suatu malam, ada 10 anak muda tenggelam dalam dunia maya. Ada yang sekedar chatting, bergabung dengan milis, membuka situs Friendster, You Tube, bahkan ada yang sedang bertransaksi bisnis (mungkin jutaan rupiah) sambil menyeruput kopi dan makan nasi kucing (nasi seukuran porsi makan kucing yang harganya Cuma Rp. 1.000 perbungkus).

Ah, di sini simbol-simbol saling bertabrakan. Angkringan yang merupakan symbol kaum jelata Yogyakarta bertabrakan dengan internet yang menjadi symbol kelas menengah. Gaya metropolis pengunjung bertabrakan dengan gojeg kere (humor kaum jelata) khas Yogya yang biasa beredar di angkringan.

“Booming”

Bagaimana demam hotspot terjadi? Riza Tantular, Manager Citranet, perusahaan penyedia jasa internet, mengatakan, fenomena ini sebenarnya dimulai sejak munculnya kafe dan kedai kopi kecil seperti yang ada di sepanjang selokan Mataram tahun 2004. “Kedai-kedai itu menyediakan fasilitas hotspot untuk menarik mahasiswa,” ujarnya.

Setelah Amplas- yang dilengkapi fasilitas hotspot- berdiri tahun 2006, demam hotspot kian menjadi. Orang makin betah nongkrong, sambil berselancar di dunia maya.

Para pemilik tempat usaha mengakui, hotspot bisa menjadi alat yang efektif untuk memancing pelanggan. Franzeska Mei, General manager Neofutsal, mengatakan, pengunjungnya terus bertambah setelah pihaknya memasang fasilitas hotspot. Dia mengaku hanya mengeluarkan dana Rp. 380.000 per bulan untuk berlangganan internet. “Dana yang dikeluarkan sebanding dengan penambahan pengunjung,” katanya.

Manager Data Internet PT. Telkom Kandatel Yogyakarta Taryoko mengatakan, penggunaan akses internet nirkabel di yogya memang mengalami ledakan sejak tahun lalu. Orang tinggal menambahkan perangkat access point seharga Rp. 400.000 ke koneksi internet dan, bimsalabim, layanan hotspot tersedia.

Riza dan taryoko yakin demam hotspot akan terus berlanjut. Pasalnya, pengguna internet di Yogya makin praktis dan mobil. Apalagi laptop yang dilengkapi perangkat Wi-Fi (wireless fidelity) semakin murah. Dengan uang kurang dari Rp. 5 juta, orang sudah bisa memiliki laptop dengan Wi-Fi.

Gejala itu memang semakin nyata. Indikasinya, penjualan laptop di Yogyakarta laris manis bak kacang goreng. Arie Asimilia, Media Relation Emax Fortune Jogja- distributor notebook Apple- mengatakan, sejak membuka gerai di Amplas tiga bulan lalu, pihaknya mencatat angka penjualan sangat tinggi. Bahkan, angka penjualan di gerai ini melampaui angka penjualan gerai Emax di Jakarta.

Sekarang, lanjutnya, pembeli di gerainya harus menunggu 14 hari kerja untuk mendapatkan notebook. Notebook yang banayak dicari adalah yang harganya berkisar Rp. 10 juta – Rp. 11 juta dengan model trendi. Kebanyakan pembelinya mahasiswa.

Weleh … weleh !

Kompas, 8 juni 2008

Yogya tidak lagi "Alon-alon Waton Kelakon"

Di kawasan Gamping, sebuah pengembang membangun hunian berbasis informasi dan teknologi. Obsesinya, interaksi para penghuninya nanti bisa melalui dunia maya. Rapat RT cukup lewat internet. Kerja bakti pun jangan-jangan hanya dilakukan di dunia maya?

Konsep perumahan futuristic itu didesain Tiga saudara, pengembang perumahan di Yogyakarta. Perusahaan itu berani membuat konsep seperti itu setelah menyaksikan betapa masyarakat Yogya tergila-gila internet. Warnet dan hotspot kini ada di mana-mana.

Ini sekadar gambaran betapa Yogyakarta sudah berubah demikian dahsyat dalam 10 tahun terakkhir. Perubahan paling mencolok terjadi di kabupaten Sleman. Seiring dengan berkembangnya kawasan kampus, muncul pula sentra-sentra bisnis baru.

Sepanjang jalan Kaliurang, misalnya, kini berderet kafe, restoran, kedai kopi dan warnet. Padahal, sekitar tahun 1990-an, jalan itu baru sebatas tempat mangkal pedagang kaki lima. Dikawasan itu juga kini berdiri perumahan-perumahan mewah yang harganya setinggi langit.

Perumahan bale Hinggil, rumah dengan luas tanah 300-400 meter persegi dijual dengan harga Rp. 1,5 miliar hingga Rp. 4 miliar lebih. Perumahan Arvia Mulia di Condong Catur, dengan luas tanah hanya 170 meter persegi harganya sudah lebih dari Rp. 600 juta.

Menurut Hamdani, Direktur Formula Land, pengembang yang membangun perumahan besar di Yogyakarta, pembeli rumah mewah di Yogya 60 persen adalah orang Yogya sendiri.

Ia menambahkan, harga tanah di kota ini dari tahun ke tahun melonjak tinggi. Banyaknya pendatang yang ingin tinggal di Yogyakarta menjadi pemicu mahalnya harga tanah.

“Di Indonesia, harga tanah di Yogyakarta menduduki urutan ketiga paling tinggi setelah JakartaBali,” ungkapnya. Lebih gila lagi, setiap tahun, harganya naik sekitar 30-40 persen. dan

Perubahan juga terlihat di kawasan Gejayan. Kawasan itu sekarang penuh dengan toko telepon genggam, butik kecil dan pusat perawatan kecantikan. Perubahan,bahkan, merambah hingga ke pelosok kampung dan jalan tikus.

Tengok kawasan Seturan di pinggir Selokan Mataram dan Babarsari. Kawasan itu dulu sepi dan gelap. Saking gelapnya, dulu banyak pengendara motor atau sepeda nyemplung ke dalam selokan yang dalamnya sekitar dua meter dari permukaan jalan.

Sekarang kawasan itu gemerlap. Restoran, kedai kopi, warnet, arena olah raga berbayar, hinga kafe diskotik tumplek blek di sana. Jika malam tiba, tidak terdengar lagi suara jangkrik atau kodok, digantikan suara house music dari kafe-discotic yang disebut orang Jogja sebagai kafe ajep-ajep.

Simbol modernitas semakin kuat ketika Ambarukmo Plaza (Amplas) berdiri tahun 2006. Mal besar dengan konsep mewah seperti di Jakarta menarik pengunjung yang biasa berbelanja atau nongkrong di kawasan Malioboro dan jalan Solo.

Interaksi fisik

Interaksi sosial di Yogyakarta ikut-ikutan berubah. Sejak hot-spot bertebaran di mana-mana, interkasi fisik mulai tergantikan dengan interaksi melalui media internet. Atika Nurkoestanti, mahasiswa UGM, mengatakan, dia sering datang ke kafe ber hotspot dengan teman-temannya.Di sana mereka tenggelam dengan laptop masing-masing. “Meski berdekatan, ngobrol pun lewat fasilitas chatting,” katanya.

Bahkan, tempat yang biasanya sangat guyup seperti angkringanpun mulai berubah gara-gara hotspot. Di angkringan ber-hotspot Yayasan Umar Kayam, misalnya, pengunjung tak lagi bercakap-cakap dan curhat seperti dulu, melainkan masing-masing tenggelam dalam dunia maya.

Iwan Pribadi, pemilik angkringan itu, mengatakan, banyak pelanggannya yang menjadi autis jika sudah menghidupkan laptop dan main internet. “Kalau sudah jengkel, kami matikan hotspot. Setelah itu, mereka kami paksa untuk ngobrol dan guyup lagi.” Ujarnya.

Motornya mahasiswa

Bagaimana menjelaskan perubahan itu? Sosiolog UGM, Arie Sujito, mengatakan, perubahan di Yogyakarta berlangsung cepat karena kelas menengah di kota ini jumlahnya besar, khususnya mahasiswa. “Mereka dengan mudah menyerap hal-hal baru,” katanya.

Mereka ini merupakan pasar yang menggiurkan. Karena itu, pemilik modal besar kecil berlomba-lomba berbisnis di sini. Setiap tahun, ada saja tren bisnis baru, mulai dari wartel, warnet, gamezone, laundry mahasiswa, kafe dan sekarang futsal. “Di sini liberalalisasi ekonomi bertemu dengan booming teknologi,” katanya.

Namun, lanjut Arie, perubahan cepat di beberapa tempat tidak serta merta mewakili wajah Yogya secara keseluruhan. Pasalnya, perubahan hanya terjadi di kawasan sekitar kampus.

Sampai tahun 2006, misalnya, menurut data BPS, jumlah warnet di Sleman mencapai 117 buah, kota Yogya 37, Bantul 37, sedangkan di Gunung Kidul dan Kulon Progo yang jauh dari kawasan kampus masing-masing hanya ada lima dan empat warnet. Senjang bukan ?

Kawasan bisnis baru akan menyebar ke daerah-daerah pinggiran meski pusatnya tetap di sekitar kampus. Itu berarti perubahan akan terjadi secara terus-menerus dan cepat.

Percepatan pembangunan yang demikian dahsyat di Yogya perlahan akan menggeser masyarakat Yogya. Mereka yang masih berpegang pada filosofi alon-alon waton kelakon (pelan-pelan asal kesampaian) kini dipacu untuk mengikuti perubahan dengan cepat. ***

Kompas, 8 Juni 2008

Industri Kreatif

Membangkitkan Ekonomi Bernilai Tambah Tinggi

Arsitektur, produk mode, barang kerajinan, musik, lukisan, atau pertunjukkan seni bukan barang baru. Meski begitu, pemerintah memasukkannya ke dalam kelompok industri kreatif.

Industri kreatif atau sering disebut juga ekonomi kreatif semakin mendapat perhatian utama banyak Negara karena industri ini memberi kontribusi nyata terhadap perekonomian Negara.

Selain menyumbang pada ekspor, penyerapan tenaga kerja, dan Produk Domestic Bruto (PDB), ekonomi berbasis ide kreatif ini juga dianggap tidak terlalu bergantung pada sumber daya alam tak terbarukan. Dengan kata lain, dapat menjadi ramah lingkungan, sejalan dengan kebutuhan mengurangi kerusakan lingkungan.

“Yang termasuk di dalam industri kreatif bukan industri baru. Masalahnya, bagaimana membangkitkan industri ini agar memberi nilai tambah ekonomi lebih tinggi. Nilai ekonomi industri ini diangkat karena keragaman budaya kita tinggi dan manusianya secara alamiah kreatif. Ini potensi dan daya saing kita,” kata Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu.

Dalam Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025 yang disusun Departemen Perdagangan, ada 14 industri yang diidentifikasi sebagai industri kreatif: 1) arsitektur, 2) desain, 3) kerajinan, 4) layanan komputer dan piranti lunak, 5) mode, 6) musik, 7) pasar seni dan barang antik, 8) penerbitan dan percetakan, 9) periklanan, 10) permainan interaktif, 11) riset dan pengembangan, 12) seni pertunjukkan, 13) televisi dan radio, 14) video, film dan fotografi.

Negara yang dianggap pertama kali menaruh perhatian serius pada industri atau ekonomi kreatif adalah Inggris pada tahun 1997. Hasil pemetaan mereka memperlihatkan, industri menyumbang 7,9 persen pada PDB Negara itu, tumbuh 9 persen pada tahun 1999-2000 dibanding total ekonomi sebesar 2,8 persen. Nilai ekspornya 8,7 miliar pound atau 3,3 persen dari total ekspor tahun 2000, tumbuh 13 persen dalam periode 1997-2000, sementar ekspor barang dan jasa tumbuh hanya 5 persen. Sedangkan penyerapan tenaga kerja pada tahun 2001 sebesar 1,95 juta tenaga kerja, tumbuh 5 persen per tahun, sementara penyerapan tenaga kerja oleh total industri di Inggris hanya tumbuh 1,5 persen.

Studi Industri Kreatif Indonesia 2007 oleh Departemen Perdagangan menyebutkan ke-14 industri kreatif Indonesia menyumbang rata-rata Rp. 104,638 triliun pada 2002-2006 untuk PDB, lebih besar daripada kontribusi sector pengangkutan dan komunikasi, bangunan, listrik, gas dan air bersih. Pada periode sama, menyerap 5,4 juta tenaga kerja dengan produktifitas Rp. 19,5 juta per pekerja per tahun dibandingkan dengan produktivitas nasional yang rata-rat Rp. 18 juta.

Implementasi

Definisi industri kreatif yang digunakan pemerintah mengadopsi definisi pemerintah Inggris, yaitu proses peningkatan nilai tambah hasil eksploitasi kekayaan intelektual berupa kreativitas, keahlian dan bakat individu menjadi produk yang dapat dijual sehingga meningkatkan kesejahteraan bagi pelaksana dan orang yang terlibat.

Definisi ini memperlihatkan pentingnya ide kreatif. Tetapi, ide kreatif tersebut membutuhkan transformasi agar dapat menjadi produk bernilai ekonomi.

Di dalam peta industri kreatif, pemerintah membuat model berdasarkan pada individu kreatif dengan lima pilar utama: 1) industri yg terlibat dalam produksi industri kreatif; 2) teknologi sebagai pendukung mewujudkan kreativitas individu; 3) sumber daya seperti sumber daya alam dan lahan; 4) kelembagaan mulai dari norma dan nilai di masyarakat, asosiasi industri dan komunitas pendukung hingga perlindungan atas kekayaan intelektual; dan 5) lembaga intermediasi keuangan.

Aktor utama yang terlibat adalah intelektual, termasuk budayawan, seniman, pendidik, peneliti, penulis, pelopor di sanggar budaya, serta tokoh di bidang seni, budaya dan ilmu pengetahuan, bisnis, yaitu pelaku usaha yg mentransformasi kreativitas menjadi produk bernilai ekonomi; dan pemerintah sebagai katalisator dan advokasi, regulator, konsumen, investor dan wiraswasta, serta perencana kota.

“Kunci semua itu implementasi hasil pemetaan. Kami di pemerintahan mulai berkoordinasi. Dari cetak biru ini harus ada rencana aksi dari tiap lembaga terkait. Dari situ harus ada mekanisme koordinasi, bisa di lembaga menko yang ada atau lembaga pemerintah yang dijalankan seperti swasta,” kata Mari.

Di dalam implementasi itu termasuk memastikan ekonomi kreatif tidak berada hanya pada 14 sektor tersebut. Berdasarkan pengalaman Negara-negara lain, tahap itu baru fase pertama dari ekonomi kreatif. Fase berikut, proses kreatif harus ada di semua kegiatan ekonomi.

Indonesia, menurut Mari Pangestu, sebetulnya mulai memasuki tahap tersebut. Industri keramik kelas dunia Royal Doulton dari Inggris yang motifnya dibuat dengan lukisan tangan, misalnya, membuka pabrik di Jakarta sebagai satu-satunya pabrik di luar Inggris karena percaya kepada kreativitas dan ketrampilan orang Indonesia. Seniman batik Iwan Tirta, misalnya, diminta mendesain motif untuk peralatan makan. Begitu juga sepatu Nike dan Adidas mulai membuat desain sepatunya disini.

Fase terakhir adalah pada akhirnya konsumen menentukan arah, dinamika dan evolusi ekonomi kreatif.

“Ini menyangkut isu demografi. Hampir semua pasar baru, termasuk Indonesia, memiliki lebih banyak penduduk usia muda daripada orang dewasa. Mereka sumber ekonomi kreatif sekaligus pasar. Dinamika ini harus kita pahami,” tambah Mari.

Secara terpisah, perwakilan dan Direktur UNESCO- Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB- di Indonesia, Hubert Gijzen, juga menekankan pentingnya melindungi warisan budaya yang intangible, yaitu manusia.

“Mereka bukan monument, tetapi manusia. Mereka yang memiliki keterampilan dan kreativitas. Mereka adalah sumber dari keberagaman budaya. Memastikan transmisi budaya terjadi dari generasi ke generasi penting untuk berlanjutnya kreativitas,” tandas Gijzen dalam seminar.

Kompas, 12 Juni 2008.

Sabtu, 14 Juni 2008

Pilih "Kolam Besar" atau "Kolam Kecil" ?

Ada yang bilang, perusahaan bisa diibaratkan sebagai kolam dan karyawan adalah ikannya. Asumsinya, makin besar ikan makin besar wewenang dan kekuasaannya. Dalam meniti karir, kita bisa memilih, mau jadi ikan besar di kolam kecil atau jadi ikan kecil di kolam besar. Atau mungkin jadi ikan besar di kolam besar dan kemungkinan-kemungkinan lainnya.

Yang pasti setiap pilihan memiliki tuntutan dan konsekuensinya masing-masing. Sebelum Anda menentukan pilihan, mungkin telaah berikut ini bisa dijadikan pertimbangan:


Gengsi Ikut Terangkat
Bila Anda bekerja di perusahaan besar yang sudah sangat mapan, maka berita baiknya di mata “pasar” gengsi dan nilai Anda juga ikut terangkat. Anda bisa memperkenalkan jabatan Anda dengan percaya diri. Begitu juga dalam melakukan negosiasi dengan pihak luar (pemasok, mitra dll) bargaining power Anda juga otomatis lebih tinggi dibandingkan bila Anda bekerja di perusahaan kecil.

Anda juga bisa berharap, mungkin suatu hari nanti Anda akan dibajak oleh perusahaan lain, atau paling tidak, Anda tidak akan terlalu sulit mencari pekerjaan di tempat lain setelah keluar dari perusahaan tersebut. Sayangnya, gengsi ini kadang tidak sejalan dengan gaji Anda. Bisa jadi setelah Anda tengok kanan-kiri, Anda yang telah bekerja sekian tahun di perusahaan besar ternyata mendapat gaji jauh lebih kecil daripada teman Anda yang bekerja di perusahaan kecil dengan jabatan serupa. Bila ini menjadi masalah, boleh saja Anda menjajaki peluang menjadi ikan besar di kolam kecil. Cari saat yang tepat dan perusahaan yang tepat, coba melamar untuk posisi yang lebih tinggi dengan meminta gaji lebih tinggi.

Sistem dan Prosedur Yang Standar

Perusahaan-perusahaan besar yang mapan biasanya telah menerapkan sistem dan prosedur (sisdur) standar yang baku dan teruji. Yang positif dari hal ini adalah bahwa hak, kewajiban dan tugas-tugas masing-masing karyawan sudah jelas. Anda tinggal menjalani saja dan tidak dituntut untuk menciptakan sisdur baru yang perlu trial dan error lagi. Demikian pula paket kompensasi (gaji, tunjangan dan jaminan lainnya) biasanya sudah terstruktur dengan baik dan dibuat mengikuti ketetapan pemerintah. Bila ini adalah tempat bekerja Anda yang pertama, maka Anda bisa belajar mengenali sisdur di berbagai departemen secara garis besarnya.

Negatifnya, dalam hal ini kerapkali sulit untuk mempelopori suatu perubahan. Bila Anda adalah seorang yang sangat kreatif dan berani mengambil terobosan-terobosan baru, rasanya Anda tidak akan terlalu diakomodir di perusahaan semacam ini, kecuali Anda berada di posisi puncak.


Spesialisasi, Mutasi dan Promosi

Di perusahaan besar dengan jumlah karyawan yang mencapai ratusan atau mungkin ribuan, masing-masing karyawan biasanya lebih diarahkan untuk menjadi spesialis sebagai lawan dari menjadi “si serabutan” bila Anda bekerja di perusahaan kecil. Di perusahaan besar, Anda bisa menjadi sangat trampil di satu bidang tertentu setelah bekerja beberapa tahun. Sementara di perusahaan kecil, kadang Anda dituntut untuk menangani beberapa jenis pekerjaan sehingga Anda bisa trampil dalam beberapa bidang sekaligus, bila Anda memang mau belajar banyak hal.

Di perusahaan kecil, persaingan untuk mendapatkan promosi atau naik jabatan, relatif lebih mudah. Si good performer akan mudah terlihat, sehingga jalan untuk dipromosikan lebih lapang. Di perusahaan besar, lebih berat karena jumlah pesaing lebih banyak dan kadang juga sulit bagi Anda untuk bisa terlihat. Bisa jadi Anda sudah menelurkan banyak prestasi, tetapi tetap tidak terlihat oleh atasan-atasan Anda. Persaingan ketat biasanya berarti kecenderungan untuk terjadinya permainan politik di kantor juga meningkat, sehingga mungkin Anda sulit naik jabatan karena memang ada pihak-pihak tertentu yang tidak menginginkan Anda mendapatkan promosi. Banyak yang bilang, untuk menjadi ikan besar di kolam besar, kompetensi saja mungkin tidak cukup, tetapi dibutuhkan juga suatu kematangan berpolitik.

Di perusahaan besar, terbuka peluang untuk mutasi ke bagian lain, baik yang diinginkan atau tidak. Bila Anda tidak perform di suatu departemen, entah karena salah penempatan atau lainnya, Anda mungkin akan dipindahkan ke departemen lain yang lebih sesuai dengan kompetensi Anda. Atau bila karir Anda sudah mentok di departemen terentu karena bos Anda juga tidak bergeming di posisinya, padahal prestasi Anda diakui, maka mungkin masih terbuka peluang bagi Anda untuk dimutasi sekaligus promosi ke jenjang lebih tinggi di departemen lain. Sedangkan di perusahaan kecil, karena organisasinya memang sederhana, Anda tidak punya banyak pilihan.

Last but not least, tahukah Anda apa yang paling menggairahkan dengan menjadi ikan besar di kolam kecil? Tantangan untuk mengubah kolam kecil menjadi kolam besar! Jadi, pilihan mana yang lebih baik? Kolam besar atau kolam kecil? Cuma Anda sendiri yang bisa memutuskan berdasarkan analisis terhadap kondisi dan segala atribut yang Anda miliki saat ini .....


Seni Grafis Murni
dengan Teknik Wood Cut
(cukil kayu/ hardboard cut)

Senin, 02 Juni 2008

POWER FACTOR
ilustrasi

Bali Dancer, oil on canvas
by Rindy

Penari Bali, oil on canvas
by Rindy

Sewaktu berusia 21 tahun.
Sedang berpose dengan aktor pujaan Al Pacino