Kamis, 22 Januari 2009

Foto Bos "ASRI" dari masa ke masa

Ingin jadi DESAINER atau TUKANG JAHIT ?

Apa jadinya Samsung sekarang,bila 5 tahun lalu tidak melakukan revolusi desain? Dan apa yang akan terjadi 5 tahun lagi, bila kita tidak segera serius memperhatikan desain?

Lima Tahun lalu, sedikitpun tak terlintas kalau Samsung bakal menjadi ancaman serius bagi raksasa elektronik Sony. Kala itu reputasinya masih sebatas produsen TV dan microwave berharga murah yang acapkali diolok-olok brand owner lain sebagai “tukang jahit”. Kini, dengan sangat mengejutkan Samsung merekah menjadi raksasa elektronik bernilai $72 milyar dan mengalahkan brand value Sony!

INJEKSI DESAIN KE DALAM NYAWA PERUSAHAAN

Transformasi ini dimulai tahun 1993 saat Chairman Samsung, Lee Kun Hee, mengunjungi pasar elektronik eceran di Amerika. Beliau termangu menyaksikan produk Samsung tertimbun diantara tumpukan produk pesaing, sementara produk Sony dan beberapa produk lainnya terlihat jauh lebih mentereng.

Setelah menemui solusi dalam pikirannya, Lee serta merta mencanangkan “Revolusi Desain” dan memerintahkan staff manajernya agar segera mengalihkan konsentrasi dari tetek bengek strategi penghematan, dan mulai fokus pada penciptaan produk yang unik. Desain lantas jadi harapan Samsung untuk bertransformasi menjadi brand global. Mereka pun mati-matian menginjeksi “good desain” ke dalam nyawa perusahaan. Lee bahkan memindahkan design centre Samsung dari suatu kota kecil bernama Suwon ke ibukota Seoul pada tahun 1994, agar dapat menarik desainer muda berbakat untuk bekerja pada mereka

Langkah selanjutnya, Lee mengirimkan delegasi ke Art Centre College of Design di Pasadena, Amerika untuk mendiskusikan kemungkinan mendirikan sekolah desain internal di Seoul.

Tindak lanjut dari kunjungan ini adalah dibentuknya IDS (Innovative Design Lab of Samsung) pada tahun1995. Dua desainer penting dibalik pendirian IDS adalah Gordon Bruce (desainer produk) dan James Miho (desainer grafis).

Ditahun yang sama, Samsung berkolaborasi dengan studio-studio desain terkemuka kelas dunia.

4th GLOBAL MOST ADMIRED COMPANY

Aktivitas revolusi ini bergulir terus. Dan sejak tahun 2000, alokasi anggaran Samsung untuk desain meningkat 20-30% per tahun. Seiring dengan itu, segala kerja keras membuahkan hasil. Award demi award saling menyusul. Hingga saat ini, lebih dari 100 penghargaan aneka kompetisi desain berskala internasional jatuh ke dalam pelukan Samsung. Tahun ini, tiga award dari industrial Design Excellence Award (IDEA) juga berhasil mereka rebut. Hal ini membuktikan upaya Samsung menjadi lebih “design-centric” bukan strategi konyol. Tahun lalu mereka menginvestasikan dana sebesar $4.6 milyar untuk divisi kreatif dan inovatif (8.3 % dari nilai penjualan)

Keseriusan terhadap desain telah mengubah Samsung menjadi pemimpin global dalam industri barang-barang elektronik. Samsung tak lagi dipandang sebagai produsen elektronik murahan, sebaliknya dinilai inovatif dalam memproduksi barang berkualitas tinggi.

Kini, selain memegang lebih dari dari 1600 hak paten yang didaftarkan di Amerika, Samsung tahun ini juga dinobatkan sebagai “Global Most Admired Company” ke-empat berdasarkan survey majalah Fortune!

Sekedar mengilas balik, andai revolusi desain Samsung tidak pernah terjadi, bisa jadi Samsung masih tekun sebagai Tukang Jahit….

DUKUNGAN NEGARA BAGI INDUSTRI KREATIF

Bagaimana dengan kalangan dunia usaha kita? Secara histories, industri manufaktur di Indonesia sangat berbasis pada OEM (Original Equipment Manufacturer) dimana kita memiliki pabrik yang memproduksi barang/komponen untuk disetor ke pemilik brand alias industri berbasis tukang jahit. Keadaan yang cukup biasa terlihat pada negara-negara berkembang. Idealnya kita harusnya tidak terjebak dalam keadaan ini dan mulai bergerak maju agar tidak sekedar menjadi pemilik pabrik melainkan pemilik brand. Sayangnya, kesadaran ini masih minim, terlihat baik dikalangan pengusaha hingga jajaran pemerintah. Semua masih menganggap industrialisme sebagai pola yang paling pas untuk membangun ekonomi Indonesia.

Paradigma pembangunan ekonomi berbasis industrialisasi bisa jadi masih relevan 20 tahun lalu, namun kini telah usang dan tidak relevan lagi. Pola industrialisasi yang berbasis pada penciptaan mass product cenderung terjebak pada over-efisiensi, pengurangan biaya dan discount. Tanpa adanya peran kreativitas dan desain, pola ekonomi ini akan membawa kita dalam ajang banting harga.

Sialnya saat ini kita masih setia menganut paradigma ini, padahal Negara-negara lain sudah meninggalkannya. Mereka mulai masuk dalam paradigma yang lebih maju, yang mengikutsertakan desain dan kreativitas dalam pembangunan ekonomi Negara.

Tengok saja Inggris. Pemerintah mereka memberi perhatian serius dalam pertumbuhan industri kreatif.

Alhasil, industri ini bertumbuh menjadi industri yang kuat yang menyumbangkan kontribusi lebih besar dari sektor manufaktur apapun terhadap GDP Negara. Sektor industri kreatif yang menyerap 1.4 juta tenaga kerja ini kemudian menjadikan katalisator pertumbuhan ekonomi Inggris karena dinilai memiliki peran penting dalam menambah daya saing produk-produk Inggris untuk memenangkan persaingan di pasar global.


By. Djoko Hartanto, Adv.Dip. in Graphic Arts, SE.,M.Des.

Pendiri Majalah Desain Grafis CONCEPT

Jumat, 02 Januari 2009

Novel Grafis

Apa kabar novel grafis Indonesia? Tahun2004 Beng Rahardian membuat Selamat Pagi Urbaz yang spesifik memberi label novel grafis, bukan komik.
Sejak itu, walau jalan menuju novel grafis sudah dirintis, perkembangannya suram. Anak-anak muda menganggap hal yang bergambar termasuk komik. Sedangkan orang dewasa yang mencintai novel menganggap sesuatu bernama komik enggak sastrawi.
Babak berikutnya, novel grafis mulai dikenal di Indonesia. Tapi yang laku didominasi terjemahan asing.
Mirna Yulistianti, editor penerbit Gramedia Pustaka Utama (GPU), menyatakan sulit menemukan komikus Indonesia yang bertahan membuat membuat novel grafis dengan alur cerita berbobot. Kebanyakan jago ilustarsi komik, tapi tak bisa bertahan dengan cerita panjang.
Ini diakui Suryo Nugroho dari studio ilustrasi komik rumah warna. “Memang gambar-gambar kita diakui dunia, tapi untuk cerita masih kalah,” katanya.
Menurut Mirna, novel grafis membuka peluang komikus Indonesia berkarya. Pembaca novel grafis pun mulai bergairah. “Banyak produk dalam negeri yang potensial dibuat novel grafis, tapi masih jarang ada yang mengajukannya,” katanya.

Beda dengan komik
Beredar berbagai pengertian novel grafis ini. “Untuk memudahkan, novel grafis itu pasti komik, namun tak setiap komik masuk criteria novel grafis,” kata Mirna.
Novel grafis ceritanya lebih spesifik, unik dan kompleks. Kadang hanya bisa dinikmati kalangan umur terentu. Ini karena terkait ide filosofis dan politis penulis.
Novel grafis juga ada ketentuan minimal halaman. Biasanya komik tipis, tapi serinya panjang. Novel grafis halamannya banyak, bisa ratusan, tapi serinya tak panjang, satu buku selesai.
GPU memperkenalkan novel grafis tahun 2006 dengan menerbitkan novel grafis, Marjane Satrapi, Bordir. Best seller dipegang Chicken Soup for the Soul. Grafis buku ini dikerjakan Kim Dongwa dari Korea yang mengadaptasi buku Chicken Soup. “Gaya manga dan gambar bersih menjadi daya tarik,” katanya.

Belum tenar
Genre novel grafis belum tenar. Ini mengakibatkan komikus jarang bermain di ranah novel grafis. Mereka bertahan di komik.
Menurut Rendra M Ridwan, Creative Director Sekolah Komik Pipilaka Bandung dan Yanuar Rahman, CEO Sekolah Komik Pipilaka, dalam aktivitas mereka belum mendalami novel grafis.
Salah satu yang memicu hadirnya novel grafis adalah karena komik tipis dengan ceritanya yang ringan seperti Superman itu dianggap kekanak-kanakan.
Orang yang dianggap membuat dasar-dasar novel grafis adalah Will Eisner dari AS yang membuat novel grafis, Contract with God. Dengan ratusan halaman, karya ini beda dengan komik superhero yang tipis.
Masalahnya, definisi itu rancu lagi sejak DC dan Marvel membuat komik superhero dalam bentuk tebal.

Kompas, 8 Agustus 2008

Digital Comic

Contoh Digital Comic buatan Jepang

Digitalisasi data memungkinkan kita mengoleksi ratusan judul komik tanpa harus membangun rak untuk menyimpan tumpukan kertas. Scott McCloud dalam bukunya Reinventing Comics menuliskan pandangannya yang secara umum dapat menjadi panduan kita dalam mencermati persoalan komik digital ini, yaitu: Digital Production, Digital Delivery dan Digital Comics.
Digital Production Adalah pengerjaan komik yang menggunakan software dengan output berupa susunan piksel. Produksi komik digital ini bukan hanya pemindaian dari image nyata (sketsa) menjadi file yang kemudian diolah menggunakan fasilitas software grafis, tapi pengerjaannya pun sama sekali tak memerlukan kertas. Digital Delivery Adalah system pendistribusian komik melalui koneksi internet dengan cara diunduh (download) ke computer atau telpon seluler. www.kingfeatures.com adalah salah satu distributor komik strip yang menyediakan layanan ini. Dengan harga langganan $15 per tahun, kita bisa mendapatkan 20 strip per minggu melalui e-mail dari berbagai judul seperti Beettle Bailey, Spiderman, Prince of Valiant, dll. Diluar itu, banyak juga portal-portal yang menyediakan layanan pengunduhan gratis namun illegal, seperti www.onemanga.com Judul-judul komik Jepang yang terkenal bisa Anda peroleh tanpa harus membeli versi cetaknya. Hanya dengan space hardisk sebesar 40 MB saja, Anda sudah bisa membaca 1 judul komik yg berisi 9 chapter di depan screen sambil minum kopi. Pengunduhan melalui ponsel pun kini mulai marak di dunia bisnis Indonesia, seperti yang kini tengah dirintis oleh telkomsel. Digital Comics Adalah sebuah revolusi medium dalam penciptaan dan cara membaca komik. Kebiasaan kita membaca komik dalam bentuk buku yang dicetak dengan ukuran nyata yang terbatas, kini menjadi hilang saat kita memanfaatkan ruang maya yang sesungguhnya tak terbatas monitor, karena sifatnya infinitive. Membaca komik kemudian menjadi interaktif, multi windows dan unlinier. Komik bisa saja memanjang saat scrolling seperti komik “When I Am King” nya Demian Vogler di www.demian5.com . Di ponsel kita bisa baca komik tanpa harus menyalakan computer, laptop atau cetakan, bahkan bisa sambil mendengarkan mood sound, lighting dan vibrate. Digitalisasi di Indonesia secara umum baru digunakan sebatas eksplorasi tools seperti digital painting, sekedar memajang hasilnya di gallery blog atau portal semacam www.deviantart.com . Belum ada yang benar-benar mengeksploitasi media infinitifnya layar digital sebagai bentuk kreatifitas baru, apalagi menjadikannya bisnis. Untuk cergam, masih dalam tahap perkembangan yg belum signifikan. Memang sudah ada yang mencoba, tapi yang menunjukkan progress baru www.kaptenbandung.com dan www.gibug.com . Beberapa penerbit juga mulai berpikir untuk merambahnya, tapi sepertinya masih cukup lama.

(Beng Rahadian, Concept)

Tentang ISI dan lain-lain

Akhirnya, ISI memang berdiri, 23 Juli 1984. Apakah ia akan membawa angin segar dalam perjalanan seni di negeri ini ? Ataukah sekedar melahirkan nama baru dengan menggabungkan tiga sekolah atau akademi kesenian (STSRI “ASRI”, ASTI dan AMI)?
But Muchtar, sebagai Rektor Pertama, mencoba menjawabnya.


SANI (S) : Pada waktu pak Nugroho (Mendikbud) meresmikan ISI Juli lalu, antara lain dikatakan, ISI hendaknya mempersiapkan seniman-seniman yang baik. Tafsiran pak But tentang seniman yang baik itu bagaimana ?
BUT MUCHTAR (BM) : Sebelum kita berbicara tentang pendidikan, kita sudah mengenal seniman lebih dulu. Jadi, seniman itu dibuat oleh diri sendiri. Seniman yang baik produktif, kreatif, selalu berkarya. Karyanya selalu baru, tidak mengulang-ngulang. Bukan berarti bahwa orang lain sudah membuat lalu kita mengulang. Seniman yang baik adalah seniman yang selalu berusaha menghasilan karya yang baru, baik baginya maupun bagi masyarakat. Na … ini seniman umum. Tidak berbicara mengenai pendidikan.
Dahulu kita mengenal banyak sekali seniman otodidak. Sampai sekarang pun saya masih percaya akan adanya seniman otodidak, seniman yang dibuat oleh diri sendiri. Semakin berkembang masyarakat, seniman otodidak semakin berkurang. Itu karena ditemukan suatu system di mana ternyata seniman bisa dibuat melalui suatu pendidikan. Tetapi dahulu juga ada sanggar. Tetapi sanggar ini kepunyaan seseorang, atau kita katakana “empu”. Dalam bahasa asingnya seorang “maestro”. Murid-murid dating pada dia, lalu dia menyuruh dia membuat ini itu, atau membantu dia saja. Itu juga pendidikan, tapi cara sanggar.
Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam system itu si murid akan menjadi murid terus. Begitu dia keluar, jadi maestro kecil, dia menjadi a kecil, b kecil, c kecil. Tapi itu juga suatu system bagaimana membentuk seorang seniman, sedangkan otodidak berdiri di atas kaki sendiri.
Sistem sanggar ini berkembang menjadi system akademi, yang di India, Eropa, sangat popular. Tapi di dalam akademi itu ada tokohnya. Tokoh tetap merupakan satu unsure yang penting. Sehingga bila kita mau belajar melukis, lalu memasuki akademi, yang dicari sebetulnya adalah tokoh tertentu.
Sebenarnya orang Amerika yang menemukan system yang terakhir, yang juga kita anut sampai sekarang. Bahwa seniman bisa dibentuk tanpa tokoh, yaitu melalui system pendidikan yang berstrata. Sehingga dia dibentuk sebetulnya oleh kemampuan sendiri dalam mengunyah kurikulum. Si guru itu adalah pembantu. Program yang kita tuangkan dalam kurikulum itulah yang menjadi penting. Guaru membawakan program ini. Dengan sendirinya, guru-guru yang ada di dalam perguruan tinggi seperti “ASRI” (ISI) secara sepakat harus menyetujui dulu programnya. Satu orang tidak setuju, tidak jalan. Semuanya harus setuju. Kalau dia tak setuju, yaaa … boleh cari yang lain. Apalagi mahasiswanya. Karena ini adalah kesepakatan. Inilah program yang menurut para pengajar bisa membawakan, membentuk seorang menjadi seniman.
Tapi jangan lupa bahwa sekolah tinggi atau perguruan tinggi itu belum tentu berhasil membentuk seniman; begitu seseorang keluar lantas dianggap seniman. Pendidikan tinggi hanya mengantarkan.
Jadi pesan pak Mentri, kurikulumnya sedemikian rupa dibuatnya, sehingga dia betul-betul keluar langsung jadi seniman. Tapi untuk mencetak seniman pada waktu dia lulus, dalam sejarah manapun juga tidak mungkin. Disamping itu, sebutan “seniman” diberikan oleh masyarakat bila dia memang senantiasa berkarya dan terus berkembang.
S : Jadi memang bukan itu tujuan utamanya. Tapi disini ada juga konsep kesarjanaan. Salah satu tujuan ISI misalnya, tidak hanya menyiapkan seniman, tetapi juga sarjana. Apakah menurut pak But ada perbedaan tegas antara kedua konsep ini?
BM : Begini. Perbedaan pasti ada. Kalau dia seorang sarjana dia dituntut memiliki wawasan secara ilmiah. Dapat mengungkapkan pendapatnya secara ilmiah. Tapi ini, lukisan (sambil menunjuk sebuah lukisan di ruang tamu) tidak bisa diterangkan secara ilmiah. Tapi kalau dia mengemukakan pendapat atau menulis, dia berdebat waktu seminar, dia harus bisa mempertanggungjawabkan secara ilmiah.
Mencetak ini lebih mudah daripada mencetak seniman. Begitu dia lulus dari pendidikan di ISI misalnya, kita lebih bisa mengatakan bahwa dia memang mampu menjadi seorang sarjana. Tetapi mengatakan dia seorang seniman, susah ! Karena dia sendiri yang menentukan. Naa … sarjana itu tanggungjawabnya ialah bahwa dia bertanggungjawab secara ilmiah atas segala pendapatnya. Pendapatnya itu adalah tertulis, ditulis.
ISI ini diberi tugas yang sulit oleh pemerintah. Dia harus bisa mencetak sarjana, dia harus bisa mencetak seniman. Oleh karena itu dibuat dua jalur. Jadi ada jalur sarjana, ada jalur seniman.
Seorang seniman yang dididik lewat jalur kesarjanaan, menurut pengamtan orang-orang yang telah lewat jalur ini, karyanyapun senantiasa berkembang. Menjadi seniman yang produktif. Seniman produktif adalah, ada gejolak apa pun dia mengamati, menghayati, dia bisa melewati, dia berkarya terus atas dasar apa yang dia lihat, apa yang dia rasakan itu. Dia boleh tidak setuju dengan keadaan, tetapi kalau dia hanya menggerutu, menggerutu di dalam dirinya … dia mau jadi seniman, koq nggak berkarya? Tapi kalau dia sudah melewati jalur sarjana, dia mudah melampaui masa-masa perubahan itu dengan tetap produktif, dan produktifnya sebetulnya suatu respons terhadap keadaan-keadaan yang dia lewati itu. Ini saya alami terhadap teman-teman, baik yang ada di Indonesia maupun di tempat lain.
Dia akan berkembang terus. Orang yang belum melewati jalur ini, tergantung pada dirinya, pada orangnya, kalau dia memang orang kuat, keras, ulet, dia juga akan bisa menerobos itu semua. Tapi kebanyakan tidak. Mandeg ! Dia pandai, trampil, tapi tidak berkembang. Begitu keluar dari pendidikannya, dari pendidikan kesenimanan, dia tidak berkembang. Makin trampil, tapi tidak makin kreatif. Itu kan dua hal yang berbeda. Kreatifitas dan ketrampilan.
S : Apakah “konsep” pak But ini nantinya bisa diterapkan? Tanpa pemisahan dua jalur ?
BM : Sudah jadi keputusan Mendikbud. Oleh karena saya pada waktu ini belum begitu siap menerapkan sekarang, jalur seniman ini. Saya masih memerlukan waktu untuk bisa berdiskusi dengan teman-teman disini, dan ahli-ahli lain. Mungkin dua tiga tahun lagi, kalau ketemu konsep yang baik, karena masyarakat sendiri yang menuntut ; saya nggak mau jadi sarjana, saya maunya jadi seniman.
Dibeda-bedakan sih … banyak itu di “ASRI”, di “ITB” juga ada, di Jakarta ada. Padahal jadi seniman itu lebih berat. Jauh lebih berat. Menyebut seniman tapi enggak berkarya buat apa ? Sarjana, paling-paling hanya ngomong. Padahal kalau ngomong dia harus hati-hati.
S : Sebab seniman toh golongan intelektual juga ?
BM : Sebetulnya ya, sebetulnya dua jadi satu.


Disarikan dari Buletin “SANI” edisi XXI Oktober 1984 (Buletin internal Fakultas Seni Rupa & Desain “ASRI”, ISI, Yogyakarta)

23 Juli 1984, ISI Berdiri

23 Juli 1984 ISI secara resmi diresmikan oleh Mendikbud Prof. DR. Nugroho Notosusanto. Pak Menteri tampak sedang membuka selubung papan nama ISI dan langsung menandatangani prasasti.

Pelantikan Rektor ISI Pertama


Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, secara resmi berdiri 23 Juli 1984. Upacara Peresmian dilakukan di Sasana Aji Yasa Kampus STSRI "ASRI" Yogyakarta, Prof DR. But Muchtar, Rektor ISI Pertama sedang menandatangani naskah jabatan disaksikan Mendikbud Prof. DR. Nugroho Notosusanto.

Prof DR. But Mochtar


Prof. DR. But Mochtar (alm)
Rektor Institut Seni Indonesia Yogyakarta
yang Pertama
(ilustrasi si Ong)

Affandi maestro pelukis


Ilustrasi oleh Harry "si Ong" Wahyu


Aku dan crew sedang mengerjakan bilboard 7 x 10 meter

Cover Majalah "SANI" FSRD ISI Yogyakarta

Cover Majalah "SANI" FSRD ISI Yogyakarta

Happy New Year 2009

Merry Christmas 2008