Minggu, 01 Februari 2009

Apa yang dihasilkan Pasar ?

Apa yang dihasilkan “booming” pasar seni rupa kontemporer di Indonesia dua tahun belakangan?
Pameran bertubi-tubi, transaksi marak dan para perupa serta pengelola galeri tambah sejahtera. Namun, ternyata pasar tak lebih jauh melahirkan infrastruktur seni rupa yang berorientasi lebih panjang, termasuk membangun infrastruktur pasar itu sendiri.

Pasar seni rupa di tanah Air terdongkrak seiring dengan booming pasar seni rupa kontemporer China. Dipicu melejitnya harga lukisan beberapa seniman muda di sejumlah lelang Asia pada awal than 2007, pasar memanas hingga pertengahan tahun 2008. Akhir tahun ini, pasar melemah.
Penurunan terlihat dari suasana lelang Shoteby’s, Christie’s, Borobudur, Larasati dan lelang Sidharta. Sejak September lalu, lelang-lelang itu masih diwarnai transaksi, tetapi harga terkoreksi drastis. Karya seniman China tak selaris dulu, bahkan sebagian tak terjual. Kalaulah laku, harganya tak setinggi lelang-lelang sebelumnya.
Pasar seni rupa di Indonesia pun terimbas. Jika pameran-pameran sebelumnya karya seni terjual habis alias sold out, kini hanya sedikit yg terjual. “Kalau dulu 75 persen, bahkan 100 persen, karya yg dipamerkan laku, sekarang tinggal 40 persen atau kurang,” kata Biantoro, pemilik Nadi Gallery di Jakarta.
Semua itu dipicu krisis financial dunia yg menghantam hampir semua sector ekonomi. Ketika nilai saham berjatuhan, sebagian kolektor seni yg ikut main saham kelimpungan.

Hasil?
Setelah pasar menurun, kita tiba-tiba tergoda untuk bertanya; apa yg dihasilkan pasar selama booming dua tahun ini? Fakta yg kasatmata, dunia seni rupa di tanah Air semakin bergairah. Pameran marak di kota-kota besar di Indonesia, bahkan melebar ke Singapura, Malaysia, Korea atau China. Galeri lama makin bersemangat, galeri baru banyak bermunculan.
Lelang gencar digelar dengan transaksi miliaran rupiah. Komodifikasi karya seni getol berlangsung seiring tumbuhnya banyak kolektor, kolekdol, pedagang dan spekulan anyar.
Seniman tentu diuntungkan. Hasil menjual lukisan mendongkrak kemakmuran mereka. “Para seniman seperti hidup dalam dunia mimpi. Jika dulu ke mana-mana jalan kaki atau naik angkot, sekarang mereka bermobil mewah, rumah bagus-bagus,” kata Heri Pemad, penggiat pameran seni rupa di Yogyakarta, mengomentari perubahan kehidupan pelukis saat booming.
Mediasi seni rupa ramai dengan hadirnya majalah khusus seni rupa. Visual Arts yg terbit sejak Juni 2004 semakin kuat. Disusul kemudian C-Art sejak Oktober 2007, lantas Arti yg terbit mulai pertengahan Juni 2008.
Bagaimana dengan pengamat, curator dan kritikus? Mereka juga turut menjamu pasar. Bekerja dengan galeri-galeri langganan, mereka mempromosikan seniman dan memberi pengantar pada catalog pameran. “Semua orang di dunia seni rupa kecebur dan basah dalam gelimang pasar,” ujar Aminuddin TH Siregar, pengamat seni rupa dari Institut Teknologi bandung (ITB).

Instan
Hanya saja, jika dicermati, gairah merayakan pasar itu masih cenderung instant dan individual. Meminjam ibarat pengamat seni Enin Supriyatno, para stakeholder seni rupa disini ramai-ramai menyiduk air dari genangan ketimbang menggali sumur.
Artinya, kita masih gemar meraih keuntungan scara cepat, tanpa mau bekerja lebih serius untuk menyiapkan pengembangan seni rupa dengan visi lebih panjang.
Pameran-pameran dua tahun ini menggambarkan gejala itu.
Dalam soal harga saja, tak ada patokan jelas karena masing-masing pemilik galeri punya ukuran sendiri.
Harga makin kisruh akibat permainan spekulan yg melempar karya baru ke lelang demi mereguk keuntungan besar.
“Semua bersaing untuk kepentingan sendiri. Yg banyak bermain kan pedagang yg ingi jalan-jalan sendiri untuk menghasilkan uang banyak dalam waktu cepat,” kata Edwin Rahardjo, pemilik Edwin’s Gallery.
Dengan semangat macam itu, pasar tak sempat dimanfaatkan untuk mengonsolidasikan semua stakeholder seni rupa demi membangun infrastruktur bersama yg lebih langgeng, seperti museum, galeri nasional, atau lembaga pendidikan seni. Bahkan, infrastruktur pasar sendiri- katakanlah semacam Indonesian art fair yang bisa memediasi karya seni untuk pasar Asia- ternyata juga sulit dilaksanakan. Selain lemah alam kerja tim, rencana itu terhambat persoalan perpajakan, bea cukai dan izin keluar masuk barang seni yg tidak jelas.
“Jangan berharap terlalu besar. Kita bergerak seperti keong. Dalam lingkup kecil saja, banyak galeri yg belum serius menggarap materi pameran, mengurus publikasi, membuat caption atau membuat catalog, “ kata pengamat seni Hendro Wiyanto.
Menurut Aminuddin, semangat instant juga menjangkiti seniman yg menggenjot produksi karya secara cepat. Jika di musik ada istilah easy listening dan di sastra ada easy reading, di seni rupa tumbuh gejala easy looking; karya yg menonjolkan pesona visual yg enak dipandang mata, tetapi tak punya kedalaman.
Umumnya karya itu digarap secara cepat dengan bantuan teknologi fotografi, kamera digital dan computer.
Semangat instant juga merasuki kalangan pengamat dan curator yg sibuk dengan wacana sendiri-sendiri. Mediasi yg fragmentaris, tanpa upaya integrasi dalam satu paket besar yg tuntas justru merancukan wacana bersama.
“Orang luar jadi pusing melihatnya. Kalau semua main klaim, lalu mana yg kontemporer?” kata Aminuddin.
Begitulah, kelesuan pasar sekarang ini bisa jadi momen perenungan, bagaimana baiknya langkah pengembangan seni rupa Indonesia ke depan.

Ilham Khoiri ( Kompas 28 Desember 2008 )

"Booming"

Antara Momentum dan Pemiskinan

Tahun 2007 adalah tahun yang bergemuruh bagi dunia seni rupa kontemporer Indonesia. Karya-karya seniman muda mencatat harga ratusan juta hingga miliaran rupiah di ajang lelang di Singapura dan Hongkong, kemudian mendongkrak pasar local serta regional. Muncul kekhawatiran, godaan ekonomi ini bisa memiskinkan kreativitas.
“Booming” seni rupa kontemporer tahun ini, antara lain, dipicu melejitnya harga lukisan Putu Sutawijaya berjudul Looking for Wings yang terjual 95.000 dollar Singapura (sekitar Rp. 560 juta) pada lelang Sotheby’s di Singapura, April lalu. Sebulan kemudian, pada lelang Christie’s di Hongkong, karya I Nyoman Masriadi, Dance, terjual 540.000 dollar Hongkong (sekitar Rp. 640 juta).
Para perupa dari kelompok Jendela, yaitu Jumaldi Alfi, Rudi Mantofani, Yunizar, Handiwirman, Yusra Martunus, juga memperoleh apresiasi pasar tinggi. Harga paling fantastis diraih Nyoman Masriadi lewat lukisan Jangan Tanya Saya Tanya Presiden yang mencapai hargai 360.000 dollar Singapura (sekitar Rp. 2,2 miliar), pada lelang Sotheby’s di Singapura, September lalu.
Lonjakan harga pada lelang itu memanaskan pasar. Kalangan kolektor, kolekdol, art dealer, broker dan pedagang seni yang mencium aroma keuntungan pun keluyuran di kantong-kantong seni demi “berburu” lukisan kontemporer dari seniman muda yang menjanjikan.
Galeri semakin giat menyelenggarakan berbagai pameran yang marak selama tahun ini. Kalau dulunya dalam hubungan dengan seniman mereka sangat “superior”, kini galeri makin “tahu diri”. Beberapa pameran sukses menjual semua karya, bahkan sebelum pembukaan resmi. Sebagian seniman muda yang “naik daun” mencicipi kesejahteraan hidup, dan sebagian lagi aktif mengikuti pameran di manca Negara.
Inilah booming seni rupa gelombang ketiga di tanah air. Gelombang pertama berlangsung tahun 1980-an, sedangkan kedua tahun 1990-an. Jika dua gelombang awal ditopang para kolektor atau kolekdol local, gelombang ketiga ini berskala luas dengan pembeli asal Asia, terutama Singapura, Hongkong, Malaysia, Filipina dan Cina.
Gelombang ini hasil imbas booming seni rupa kontemporer Cina yang sudah meledak sejak awal tahun 2000-an. Saat harga lukisan disana kelewat tinggi, pasar melirik karya dari Negara Asia yang harganya relative lebih rendah, seperti Korea, India dan Vietnam, juga Indonesia. Seperti dilansir majalah Time (edisi November), banyak kalangan optimis inilah awal kebangkitan pasar seni rupa Asia.
Momentum
Gairah ini sejatinya bias direspons sebagai momentum yang menguntungkan. Pasar yang atraktif mengundang banyak pihak untuk turut menggerakkan roda seni rupa. Idealnya, para stake hlders (seniman, kolektor/pemilik galeri, lembaga pendidikan, pengamat/curator, museum dan pemerintah) mau memanfaatkan kesempatan ini untuk menggalang kerja sama. Tujuannya, membangun infrastruktur dan suprastruktur seni rupa di Tanah Air.
Dengan dukungan pasar, para seniman hidup layak sehingga lebih berkonsentrasi menempa gagasan dan kreativitas kekaryaan. Pengamat mengembangkan wacana untuk pegangan pasar, sedangkan museum jadi barometer pameran. Para pemilik galeri menjalankan bisnis sekaligus mempromosikan seniman pada jaringan kolektor di dalam dan luar negeri.
Lembaga pendidikan menggembleng para calon seniman serta memperkuat basis penelitian akademis. Pemerintah menjembatani kepentingan semua stakeholder itu dan merancang kebijakan dengan visi pengembangan seni rupa sebagai bagian dari strategi budaya bangsa.
Hubungan dialektis semacam itu sudah berlangsung berabad-abad di Eropa, kemudian Amerika, sehingga memapankan seni rupa di dua kawasan itu. Setiap elemen seni berfungsi dan saling mendukung. Satu lukisan, misalnya, hanya dapat meraih harga tinggi di pasar kalau ditopang wacana kritik seni yang argumentative dari para ahli.
Tentu, seni rupa Indonesia yang baru berumur sekitar 200 tahun (jika dihitung sejak kelahiran Raden Saleh Syarif Bustaman, tahun 1807) masih perlu menempuh jalan panjang lagi. Namun, kalaulah dialektika itu dapat terus diperkuat, setidaknya situasi bakal membaik.
Pemiskinan
Kenyataannya, gelora pasar Asia menerpa ketika infrastruktur dan suprastruktur seni di sini masih lemah. Alih-alih menyamakan visi atau menyepakati aturan main, setiap kelompok dari stakeholders seni justru sibuk bermain dan mengurusi kepentingan sendiri.
Dalam suasana tak menentu itu, pasar cenderung menggeliat liar, tanpa standar harga, tanpa sokongan wacana. Harga karya-karya seni bias melambung begitu saja di ajang lelang meski senimannya tidak dikenal punya proses kreatif dan reputasi meyakinkan. “Akibatnya, kita hanya punya buku catatan hasil lelang yang tebal, penuh daftar harga, tetapi miskin wacana,” kata pengamat seni rupa, Hendro Wiyanto.
Kiprah balai lelang yang kelewat terbuka memang potensial merangsang spekulasi investor. Para seniman terjebak di antara harga lelang yang kelewat tinggi dan harga jual riil dari tangannya sendiri. “Seharga berapa pun karya baru dilepas, spekulan tetap tergoda untuk membeli dan langsung melepasnya ke balai lelang dengan iming-iming untung besar,” kata Oei Hong Djien, kolektor asal Magelang.
Bagaimana dengan seniman? Sebagian kalangan cemas, jika tak direspons secara hati-hati, godaan pasar malah dapat merangsang tumbuhnya budaya manerisme. Menurut pengamat seni rupa, Enin Supriyanto, gejalanya sudah terlihat dari adanya sejumlah seniman yang sengaja mendekatkan karyanya pada gaya atau corak langgam tertentu yang dapat direspons baik di pasar.
Seniman cenderung malas untuk menyusun gagasan baru, mencari hal-hal unik, atau mengulik persoalan artistic yang segar. Mereka puas dengan membuat karya yang biasa, mengulang, atau bahkan mengopi gaya lama, tetapi laris di pasaran. “Pasar memang bisa meruntuhkan kreativitas seni rupa sendiri,” katanya.
Akan tetapi, jangan terlalu pesimistis. Pada akhirnya, bakal terjadi juga seleksi alam yang menyaring seniman-seniman yang baik.
Toh, masih banyak seniman yang terus merambah eksplorasi seni yang tak selalu didikte pasar. Sebutlah beberapa di antaranya, seperti Ugo Untoro, S Teddy D, Heri Dono, Handiwirman Saputra, Tisna Sanjaya, Dikdik Sayahdikumullah, Arahmaiani, Titarubi dan Anusapati. Kemunculan komunitas seniman muda di beberapa daerah menggiatkan seni sebagai ruang penyadaran seni sebagai ruang penyadaran sosial, seperti Ruang Rupa di Jakarta, Common Room dan Button di Bandung, serta Mess-56 di Yogyakarta.
Di luar itu, masih ada pameran di daerah, seperti Biennale Jawa Timur II dan Biennale Jogja IX, yang memecah pemusatan seni rupa pada mainstream tertentu. Kehadiran Galeri Lontar, Bentara Budaya, Yayasan Seni Cemeti, dan pusat-pusat kebudayaan Negara asing di Indonesia masih menawarkan wahana alternative di luar pasar. Dengan begitu, karya-karya eksperimental, berbasis tradisi, atau lahir dari proyek penelitian yang serius tetap mendapat tempat.

Ilham Khoiri (Kompas, 30 Desember 2007)

Dari Akar Rumput menjadi Mainstream

Dari akar rumput menjadi Mainstream

Pasca Orde Baru
Perkembangan Industri Kreatif (termasuk didalamnya industri desain grafis) dimotori oleh gerakan akar rumput (grass roof). Pasca pemerintahan Orde Baru, di berbagai sector kreatif muncul gerakan-gerakan akar rumput yang lalu membentuk komunitas indie (independent). Sektor ini meliputi: desain grafis, clothing, fesyen, musik, penerbitan, sinematografi, arsitektur dan desain produk. Uniknya, hal ini muncul di waktu yang hampir bersamaan di tahun 1990-an.
Geliat industri grafis juga ditandai dengan menjamurnya biro-biro desain kecil yang rata-rata dimotori oleh para desainer muda. Biro-biro desain ini merupakan alternative bagi para insane kreatif untuk berkarya, selain bekerja di agency iklan multinasional atau menjadi desainer in-house. Perkembangan teknologi internet juga memunculkan blog milis dan komunitas-komunitas desain grafis, seperti Godote, Vectorjunkie, Jogjaforce, Tembokbomber, dll. Komunitas-komunitas ini menunjukkan segudang talenta yang sangat potensial. Beberapa desainer Indonesia dari komunitas ini berhasil mendapatkan projek maupun acknowledgement dari mancanegara.
Pada dasarnya, komunitaskomunitas ini memberikan gambaran kepada kita tentang besarnya peluang industri kreatif nasional- yang disebabkan berkembangnya minat public terhadap seni dan lifestyle, serta adanya kecenderungan pasar untuk semakin menyukai produk yang unik.
Seterusnya menjadi UKM ?
Lepas dari segala peluang yang ada, banyak juga potensi kreatif yang mati sebelum berkembang. Dibidang publishing dapat kita temukan beberapa majalah kreatif-idealis yang berkualitas seperti, Pantau, Blank, Troley, Icon dan Outmagz. Sayangnya, penerbitan-penerbitan ini telah berhenti. Entah karena manja atau suka mengeluh, seringkali berujung pada statement, bahwa di Indonesia memang sulit untuk mengembangkan bisnis berbasis kreativitas agar bias menjadi bisnis berskala besar yang menguntungkan – apalagi bias sebesar PIXAR.
Mungkin memang beberapa insane kreatif tidak ingin untuk menumbuhkan bisnisnya menjadi satu korporasi besar, atau bias jadi kebanyakan dari kita tidak tahu caranya dan masih mengelola bisnis bukan sebagai bussinesman, namun mengelolanya ala desainer. Maklum, sebagai orang kreatif, kita akan cenderung lebih suka bergelut dengan ide dan kreativitas dan paling sungkan untuk berurusan dengan utang-piutang.
Menanti Inkubator Bisnis Kreatif
Bila kepentingannya adalah ingin mengangkat bisnis kreatif berskala UKM menuju satu bisnis berskala besar, mungkin perlu ada seseorang atau badan yang bias berperan sebagai incubator. Badan ini bias berperan sebagai pemodal vebtura/ business angel, pemberi referensi kredit, memberikan konsultasi bisnis, serta mediator untuk masuk ke channel yang tepat di market-market tertentu termasuk market mancanegara. Di masa mendatang bila bisnis kreatif ini berkembang, sang business angel ini juga akan berbagi keuntungan dengan insane kreatif yang menjadi mitranya.
Sayangnya, pola ini masih belum umum ditemukan di Industri Kreatif kita. Saya masih belum menemukan pola kemitraan yang sudah menjadi satu kisah sukses. Bisa jadi, sebagai orang kreatif, kita yang perlu untuk lebih aagresif mencari, mendekati dan meyakinkan mereka.
(Djoko Hartanto, Concept)

Industri kita sedang mencari bentuk baru

Bicara tentang desain seringkali tak lepas dengan hal marketing. Sesuai nature-nya sebagai seni terapan, penciptaan satu desain sering dilatarbelakangi dengan motif untuk memasarkan suatu produk.
Dengan berkembangnya teknologi terutama IT, maka berubah pula pola pembelian masyarakat. Jelas pola pembelian konvensional yg sudah mengakar pada kultur seperti membeli barang di toko kelontong atau pasar tetaplah akan eksis. Namun isi dompet yang dulunya cuma dikeluarkan lewat pola pembelian konvensional, sekarang memiliki macam variasi metoda belanja, sebagai contoh, Internet Banking dan Paypal. Karenanya definisi pasar dimana tempat bertemunya penjual dan pembeli sekarang sudah menjadi makin kayak arena dunia virtual telah menjadi pasar juga.
Selain itu bertambah pula metoda untuk menjangkau target market. Berubahnya pola kebiasaan masyarakat membuat makin besarnya tantangan bagi perusahaan pencipta iklan TV, radio, media cetak, direct mail sampai dengan flyer sederhana.
Pertanyaannya bukanlah apakah media internet akan melias dan menggantikan media-media tsb, tapi campuran apakah yg paling tepat (antara iklan TV, radio, media cetak, direct mail, sampling, online advertising, mobile advertising, pameran, dll) untuk menjangkau target market? Paling tepat disini berarti paling efisien, hemat dan memiliki impact besar.
Trend pergeseran ini juga sedikit banyak dipengaruhi oleh pemikiran A.G. Laffey (CEO P&G) tentang The Moment of Truth yaitu momen dimana konsumen berdiri di depan rak supermarket untuk memilih suatu produk. Riset yg bermuara pada pemikiran ini menunjukkan bahwa keberadaan media pamer pajang (point of purchase) memiliki pengaruh yg sangat kuat untuk memengaruhi pembelian.
Berdasarkan pemikiran inilah P&G menggeser pengeluaran untuk promosi di media konvensional lalu untuk mengalokasikannya pada media baru, salah satunya adalah media point of purchase ini.
Pergeseran ini saya rasakan juga pada biro desain kami. Dimana beberapa bulan yg lalu untuk pertama kalinya mau tidak mau kami harus ikut penawaran projek booth supermarket dan mau tidak mau kami juga harus ikut bersaing dengan para kontraktor pameran.
Jadi, pada akhirnya ada dua perusahaan- yg jelas-jelas berbeda jenis- harus bertarung untuk penggarapan satu projek.
Hasilnya? Projek dibagi dua. Kami mengerjakan visualnya mulai dari sesi foto sampai desain grafis, sementara competitor mengerjakan konstruksinya. Yg menarik dari sini adalah klien menuntut supplier desain untuk mengerti konstruksi. Dan sebaliknya, supplier konstruksi juga dituntut untuk mengerti desain grafis, sementara kedua supplier-nya (biro desain maupun kontraktor) harus memaksakan diri mempelajari hal-hal baru karena tak ingin kehilangan projek yg nilainya boleh dibilang lumayan.
Industri kreatif kita sedang ikut berubah mengikuti pasar. Yg dulunya spesialis print design, sekarang dihadapkan pada pilihan mau melebarkan sayap ke online design atau tetap jadi spesialis. Tentunya bagi kebanyakan pemain keputusannya banyak tergantung pada kelangsungan hidup perusahaan. Persaingan pun menjadi semakin ketat dan lebar, namun sekaligus menciptakan peluang bagi para insane kreatif untuk menjelajahi media-media baru selain kertas.
Saya pribadi memerkirakan bahwa area print dan TV akan melambat pertumbuhannya sementara area lain seperti online promotion, point of purchase, event dan mobile advertising akan mengalami pertumbuhan yang lebih pesat. Hal ini dipercepat dengan harga kertas yang melambung sampai 30%, yang menyebabkan margin media cetak menipis sehingga pada akhirnya memperlambat pertumbuhan media ini.
Beruntung bagi para pemain yg sudah terbiasa bermain di media online atau elektronik. Permasalhannya adalah, bagi para pemain yg terbiasa bermain pada media konvensional, pilihannya adalah bagaimana kita menjadi spesialis yg memiliki jasa atau produk yang sangat special tak tergantikan atau mulai memperluas cakupan jasa ke media baru ini. Tantangan yg cukup besar namun tak terelakkan.

Concept 24, Djoko Hartanto

Kreatif itu Butuh Nyali Gedhe

Kalau bicara tentang kreativitas, biasanya pikiran akan nyasar pada hal-hal yang berbau seni, atau desain. Bisa jadi itu sebabnya sanggar lukis anak-anak cukup menjamur, karena banyak ortu yang ingin anaknya kreatif lalu menyuruh putra-putrinya les nggambar.
Tapi kalau saya ditanya, “Seperti apa orang reatif itu?”, maka saya akan menjawab: orang kreatif itu adalah orang yang banyak akalnya, yang selalu berhasil nemu jalan keluar dan lolos meskipun kepepet. Jadi, nggak harus lulus sanggar lukis atau menang award kreatif dulu baru dibilang kreatif. Terlebih lagi, sama halnya dengan kemanjuran obat baru baru teruji saat diminum, akal atau ide tersebut baru ada gunanya saat dijalankan. Betapapun orisinal suatu ide, kalau hanya direnungkan saja = omong kosong !
Masalahnya, merealisasikan satu ide bagus itu membutuhkan keuletan dan keberanian. Tentang pengalamannya dalam eksperimen penemuan bohlamlampu listrik, Thomas Alfa Edison pernah bilang bahwa, “Tak sekalipun saya gagal! Malah saya telah sukses membuktikan bahwa ada 700 cara yang tidak menciptakan bohlam lampu. Setelah saya mengeliminasikannya satu per satu, maka saya akan menemukan cara yang tepat.” Segera Edison menjadi terkenal sebagai jenius kreatif. Namun demikian, ceritanya akan lain bila Edison patah arang dan menghentikan upayanya pada eksperimen nomor 699.
Jadi, kreatif itu baru terbukti bila suatu ide akhirnya menjadi kenyataan alias berbentuk materi. Ada jasadnya. Dan bukan Cuma suatu ide yang sekedar menari-nari di benak penciptanya atau berupa omdo (omong doang).

Implementasi
Bagian paling membosankan, menakutkan dan memerlukan ketekunan.

Woody Allen, seorang filmmaker terkenal yang memenangkan 3 piala Oscar pernah berujar, “90% of success is just showing up !” Istilah Jawanya, sukses itu 90 persennya kalau seseorang bersedia untuk hadir & nongkrongin di situ sepenuh hati, sampai jadi !
Butuh nyali gede kalau kita mau merealisasikan satu ide kreatif yang orisinal. Pasalnya, sesuatu yang orisinal itu pasti baru, pasti nggak umum, kadang terliihat ganjil, challenging dan kadang controversial. Implikasinya, sesuatu yang baru itu belum tentu bias diterima oleh pasar, jadi resikonya cenderung lebih besar untuk merealisasikan ide orisinal kita.
Namun kalau mau yang resikonya rendah, ya nggak usah sok kreatif. Ikutin saja apa yang sudah ada, nyontek, atawa menjadi budak keinginan pasar, sambil berangan-angan menelorkan ide besar tanpa berani bertaruh/ambil resiko dengan mengorbankan kondisi status quo, yang kadang kala sangat nyaman (comfort zone).
Mungkin memang ada kalanya kita harus menjalankan hidup berkreasi sesuai keinginan klien (amatir) kita. Istilahnya, apa saja di turutin meskipun acapkali tak sesuai dengan estetika dan hati nurani, namun orang kreatif tahu bahwa hal itu hanyalah sementara – dan tetap bermimpi sekaligus mencari-cari jalan keluar untuk mencipta sesuatu yang lebih. Lihat saja Edo Kondologit, penyanyi bersuara emas yang pernah menjalani hidup jadi kuli bangunan, tukang sapu dan satpam, sampai akhirnya bias ketemu jalan keluar untuk benar-benar jadi penyanyi top. Udah pasti dalam perjalanannya tak terhitung berapa banyak usaha yang gagal. Benar-benar “usaha”, dan tak semata-mata wacana.
Omong-omong soal wacana, studi banding, dll, mungkin Indonesia jagonya. Tapi sebenarnya, tanah ini nggak butuh orang-orang model begitu. Indonesia ini butuh orang-orang yang mau bersedia bekerja keras, berani ambil resiko mendobrak hal-hal yang terlihat impossible, - bukan Cuma bias bikin sinetron kampungan atau cari celah agar dapat remah-remah objekan bikin website departemen ber-budget total 17,5 milyar !

(Djoko Hartanto, Concept)