Minggu, 30 Maret 2008


Pameran Lukis & Patung Alumni ISI/ASRI
Senayan City G 10 Ground Floor
jl. Asia Afrika lot 19 Jakarta
1 - 6 April 2008

Rabu, 19 Maret 2008

Salah satu sudut Institut Seni Indonesia, Fak. Seni Rupa dan Desain
lokasi Sewon, jl. Parangtritis km 5.7 Bantul, Yogyakarta.

Jumat, 14 Maret 2008

RJ. Katamsi Martoraharjo, Pendiri "ASRI"
Komunitas Seniman Akademisi Pertama di Indonesia
Upacara bendera civitas akademi ASRI

dihalaman kampus ASRI Gampingan Yogyakarta, 1964.

RJ. Katamsi - Pendiri ASRI

(dibacakan pada saat Peresmian Relokasi Patung RJ. Katamsi tanggal 21 Juli 2004)

RJ Katamsi, yang semboyan dalam exlibrisnya adalah ars longa vita brevis itu, lahir di Karangkobar, Banyumas, pada tanggal 7 Januari 1897. Nama lengkapnya, RJ Katamsi Martoraharjo, cucu dari R. Ng. Sastropermadi yang konon berbakat melukis dan kalau benar demikian maka bakat itu menurun kepada cucunya yang sesuai dengan judul di atas adalah pendiri Akademi Seni Rupa Indonesia yang terkenal dengan singkatannya “ASRI” dan yang kini menjelma menjadi Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

Anak desa ini memiliki sejarah pendidikan yang menarik Bermula dari H.I.S. (Hollandsch Inlandsche School, Sekolah Dasar Belanda untuk orang-orang Pribumi) di Semarang, Kweekschool (Sekolah Guru Empat Tahun) di Yogyakarta yang kemudian pindah ke sekolah guru Gunung Sahari di Jakarta, dan sesudah itu mendapat kesempatan untuk meneruskan pelajarannya di Negeri Belanda, bersekolah di Academie voor Beeldende Kunsten (Akademi Seni Rupa) di Den Haag dan mendapat ijasah Middelbaar Onderwijs dalam menggambar (MO Tekenan), yang lebih kurang lebih sama dengan ijasah B-II Seni Rupa di Indonesia. Dengan ijasah itulah pada tahun 1922 Katamsi pulang ke Indonesia dan diangkat menjadi guru di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, Sekolah Dasar yang diperluas, setingkat SMP sekarang) dan AMS (Algemene Middelbare School, Sekolah Menengah Umum, setingkat SMA) di Yogyakarta yang terkenal dengan nama AMS/ B dan perlu dicatat bahwa RJ Katamsi adalah orang Indonesia pertama yang dipercaya menjadi direktur AMS ini. Jabatan sebagai direktur AMS/ B tersebut diteruskan sampai jaman Jepang yang sekolahnya berganti nama menjadi Sekolah Menengah Tinggi (SMT).

Pada tahun 1935, masih di masa penjajahan Belanda, RJ Katamsi mendapat tugas untuk membina tukang-tukang ukir perak di Kota Gede, Yogyakarta, khususnya dalam hal penciptaan seni hias atau ornament. Di masa pendudukan Jepang, RJ Katamsi mendapat sampiran tugas dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk juga menjabat sebagai Kepala Museum Sonobudoyo (1942-1950). Di masa itulah RJ Katamsi menyerahkan sebagian koleksi pribadinya yang berharga kepada museum untuk melengkapi koleksinya.

Puncak pengabdian RJ Katamsi untuk Negara dan seni budaya adalah keberhasilannya mendirikan akademi seni yang pertama di Republik Indonesia berkat bantuan para seniman dan budayawan di Yogyakarta. Sebagaimana dimaklumi, pada tahun 1946, bersama dengan pindahnya ibukota Negara dari Jakarta ke yogyakarta, hijrah pula para seniman ke ibukota Republik yang baru, Yogyakarta, yang dulu terkenal dengan nama Ngayogyakarta hadiningrat. Maka berkumpulah di Yogyakarta tokoh-tokoh seniman seperti Sudjojono, Affandi, Hendra Gunawan dan beberapa lainnya.

Sebenarnya gagasan pendirian akademi seni rupa telah lama ada. Segera setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, para seniman menghendaki didirikannya suatu akademi kesenian yang dianggap sepantasnya ada di suatu Negara yang merdeka, apalagi bagi Indonesia yang kaya akan warisan seni budaya itu yang akan dapat memelihara dan mengembangkan bibit-bibit seniman di Masyarakat. Di masa penjajahan tidak mungkinlah hal itu dilaksanakan, apa lagi kalau mengingat bahwa lahirnya pendidikan dasar pun adalah akibat dari etische politiek dengan motto “de Eereschuld” atau “Hutang Kehormatan” nya Van Deventer (1899) yang juga didera oleh kebutuhan akan tenaga kerja pribumi yang lebih murah. Maka di jaman kemerdekaan, akademi kesenian mesti segera didirikan. Dari sisi pemerintah, sesungguhnya sejak Mr. Suwandi yang lebih terkenal dengan system ejaan Bahasa Indonesianya itu menjabat Menteri PP dan K, pada prinsipnya sudah ada persetujuan, tetapi mengingat situasi dan kondisi waktu itu, terwujudnya angan-angan ini baru beberapa tahun kemudian. Nampaknya Kongres Kebudayaan Nasional di Magelang yang berlangsung pada tanggal 20-25 Agustus 1948, dimana dengan suara bulat para peserta memandang perlunya segera direalisasikannya ide tersebut merupakan pendorong yang kuat, namun sekali lagi harus menelan pil pahit dengan adanya clash ke II yang menyetop segala kegiatan.

Baru menjelang akhir tahun 1949 usaha itu menghangat kembali ketika Menteri PP dan K mengumpulkan tokoh-tokoh seni budaya yang ada di Yogyakarta untuk merencanakan segala sesuatunya yang berhubungan dengan pendirian akademi seni rupa tersebut, yang segera disusul dengan keluarnya pengangkatan Panitia Pendirian Akademi Seni Rupa, dengan RJ Katamsi yang pada waktu itu menjadi Pemimpin Bagian Kebudayaan Jawatan sosial daerah Istimewa Yogyakarta bidang Pengajaran sebagai ketuanya. Dengan dibantu oleh tokoh-tokoh seperti Djajengasmoro, Sarwono, Hendra Gunawan, Kusnadi, Sindusisworo, Prawito dan Indrosugondho, panitia ini harus menyelesaikan tugasnya dalam waktu satu bulan. Maka dalam siding-sidang persiapan itulah Katamsi yang sudah memasukkan konsep-konsepnya kepada pemerintah sejak tahun 1947, membentangkan idenya. Dan akhirnya, dengan Surat Keputusan Menteri PP dan K no. 32/

Tanggal 15 Desember 1949, Akademi Seni Rupa Indonesia didirikan yang peresmiannya harus dilakukan pada tanggal 15 Januari 1950. Ketergesaan ini rupanya dimotivasi oleh adanya keinginan agar akademi tersebut didirikan ketika Yogyakarta masih merupakan ibukota Negara. Sebagaimana diketahui, tanggal 27 Desember 1949, dua belas hari sesudah surat keputusan tersebut, pengakuan kedaulatan Republik Indonesia ditandatangani oleh Ratu Juliana dan bersamaan dengan itu berdirilah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan Jakarta sebagai ibukotanya.

Begitulah, pada hari Minggu tanggal 15 Januari 1950 jam 10.00 pagi Akademi Seni Rupa Indonesia diresmikan berdirinya di Bangsal Kepatihan Yogyakarta dengan RJ. Katamsi sebagai direkturnya yang pertama. Cita-cita berdirinya sebuah akademi seni sudah terlaksana, namun dari sanalah dimulainya suatu pekerjaan besar, yaitu mengisi dan mengembangkan bayi akademi yang baru lahir tersebut. Dalam pidatonya pada hari peresmian itu RJ Katamsi selaku Direktur ASRI menyatakan harapannya akan bantuan para peminat seni, para pengajar serta jawatan-jawatan yang bersangkutan dan mengemukakan keyakinannya bahwa dengan bantuan mereka itu “ … kita akan dapat melaksanakan cita-cita kita, yaitu membimbing barisan seniman-seniman baru yang dinamis dan kreatif, yang benar-benar dapat menyumbangkan jiwa-nya yang berbakat tinggi guna kepentingan perjuangan Nusa dan bangsa, …” Pekerjaan itu besar dan berat kalau diingat bahwa semua kondisi pendukungnya sangatlah lemah; pengalaman belum ada, sumber daya manusia sangat kurang kalau tidak boleh dibilang tidak ada, gedung dan alat-alat sebagai perangkat keras juga belum ada, begitu pun perangkat lunaknya. Semuanya harus bermula dari titik nol, kecuali semangat yang menyala-nyala di setiap dada tokoh-tokohnya. Katamsi harus bekerja keras memimpin barisannya yang mengingatkan kita pada cerita dlaam Injil (Mateus) di mana Kristus bersabda, “ … kalau yang buta memimpin yang buta, maka semuanya akan terperosok ke dalam parit.”

Untung Katamsi tidak buta dan begitupun para dosen dan petugas yang membantunya, tidak sama sekali buta. Walaupun tidak masuk dalam jurusan seniman, keberadaan Katamsi di Academie voor Beeldende Kunsten tentulah memberikan kepadanya pengalaman yang cukup tentang dunia itu, dan di ASRI pun ada bagian guru gambar/ seni rupa yang sama dengan yang diikutinya di Den hag. Para dosen pembantunya juga tidak sembarangan, dosen ‘Anatomi’ nya adalah Dr. Martohusodo dan Dr. Radio-poetro, dosen ‘Sejarah Kebudayaan’ adalah Ki Padmopuspito yang sampai akhir hayatnya juga mengajar matakuliah yang sama di Universitas Gajah Mada, dan mata kuliah praktek studio dibina oleh seniman-seniman otodidak yang mumpuni seperti Hendra, Affandi, Koenadi, serta Sudjojono, dan sementara itu Katamsi sendiri mengajar ‘Sejarah Kesenian’, ‘Perspektif’, dan kadang-kadang juga ‘proyeksi’ atau ‘menggambar Bentuk’ yang dulu disebut ‘Stilleven’.

Ketidakakraban para tokoh pengelola awal ASRI Yogyakarta dengan dunia pendidikan tinggi seni itu dapat terlihat dari caranya membuat peraturan-peraturan akademik, pembuatan kurikulum, maupun nama-nama mata kuliah seperti, ‘Opmeten’, ‘Reproduksi’, dan ‘Kekunoan’. Sementara itu ‘Ilmu Bentuk’ tidak pernah diajarkan di ASRI Yogyakarta dan ‘Estetika’ juga tidak tergarap dengan baik.

Karena belum memiliki gedung sendiri maka perkuliahan dilaksanakan di banyak tempat dengan basis menumpang di gedung Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI) di Bintaran Lor 12b sebagai induknya dan tempat perkuliahan serta studio bagian I/II, SMA-B Kotabaru dan di rumah beliau di jalan Gondolayu 20 untuk Bagian IV dan V, dan di jalan Ngabean 5 (bekas gedung Kunst Ambachshool) serta jalan Bintaran 8 untuk bagian III. Baru pada tahun 1957, setahun sebelum pension, Katamsi berhasil memperoleh gedung pre-fabricated dari Amerika Serikat yang bentuknya sama dengan banyak gedung SMA di Indonesia.

Gedung itu sekarang ditinggalkan oleh ISI Yogyakarta bersama dengan kompleks Gampingan yang tanahnya merupakan hibah dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Sayang. Bangsa Indonesia memang kurang hirau akan sejarah, walaupun sekian puluh tahun yang lalu almarhum Presiden Pertama RI sudah mengingatkan, jangan meninggalkan sejarah yang terkenal dengan singkatannya “jasmerah”.

Patung RJ. Katamsi yang diresmikan pada hari ini pun merupakan relokasi dari patung yang dulu berada di bawah pohon beringin di Gampingan. … Selamat tinggal Gampingan, selamat tinggal gedung pre-fabricated, dan selamat tinggal pohon beringin yang dulu ditanam Katamsi di tahun 1957 dalam rangka menempati kompleks baru.

Dari uraian di atas dapatlah dikatakan bahwa beliaulah peletak dasar Akademi Seni Rupa Indonesia yang selain merintis kelahirannya juga memimpinnya sebagai direktur pertama selama delapan tahun, dari tahun berdirinya sampai masa pension di tahun 1958. Tambahan pula, walaupun sudah pensiun, RJ. Katamsi masih tetap memberi kuliah baik di ASRI maupun di Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada (Katamsi pula yang menciptakan lambang Universitas Gajah Mada yang dipakai sampai kini). Atas jasa-jasanya tersebut pada tahun 1970, RJ Katamsi menerima anugerah seni dari pemerintah yang diterimakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu dan sekalian tanda kehormatan Lencana karya Satya Kelas II.

Dari sisi kehidupan pribadinya, RJ. Katamsi kawin dengan nyonya Le Duc (keturunan Belanda-Turki) dan karena sampai meninggalnya isteri tersebut Katamsi tidak memperoleh keturunan, pada tahun 1965 RJ. Katamsi kawin lagi dengan seorang gadis bernama Rusilah yang sempat memberikan dua orang putera kepada Katamsi.

Walaupun dimasa penjajahan Belanda RJ. Katamsi mendapat gaji 400 gulden (lebih besar dari gaji seorang dokter Jawa), pada akhir hayatnya boleh dibilang Katamsi tidak memiliki apa-apa. Namun Katamsi legawa dalam soal ini seperti kata-katanya, “… kalau seseorang bercita-cita ingin menjadi kaya, lebih baik jangan menjadi guru”. Katanya lebih lanjut, “Pahit getir, suka dan duka sudah saya alami selama 46 tahun menjadi guru. Tetapi sungguh-sungguh senang. Walaupun selama 46 tahun saya menjadi guru itu tidak menjadi orang yang kaya. Dan yang saya cari memang bukan kekayaan, tetapi kepuasan. Saya sudah puas jika melihat murid-murid saya menjadi orang ternama. Saya ikut bangga dan bersyukur bahwa perjuangan saya tidak sia-sia.”

RJ. Katamsi memang memiliki banyak murid yang menjadi seniman ataupun tokoh terkenal. Dari masa AMS/B, RJ. Katamsi menelorkan antara lain Mr. Mohammad Yamin, Prof. Suwandi, dan Prof. Priyono yang ketiga-tiganya pernah menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan dari masa SMT, RJ. Katamsi berhasil melepas Drs. Radius Prawiro yang beberapa kali menjadi menteri, Bambang sugeng yang pernah menajdi KASAD, dan Sudarpo, seorang pengusaha terkenal. Dari ASRI bermunculanlah Widayat, saptohudoyo, Saptoto, Frans Harsono, Hendrojasmoro, Abas Alibasyah, Abdulkadir, Sutopo, Edhi Sunarso, Amri Yahya, dan masih banyak lagi.

Semuanya cukup membanggakan bekas gurunya. Guru atau dosen, yang lebih keren, memang hanya itu, untuk dikenang. Itupun harus menunggu lama. Orang jawa bilang, Nandur pari jero.

Mari kita sejenak menundukkan kepala untuk mengenang jasa-jasa RJ. Katamsi, yang kata sementara orang hanya bisa ditandingi oleh Ki Hadjar Dewantara, pahlawan pendidikan nasional Indonesia.

Om Santi-Santi Om.

(Prof. Soedarso Sp. M.A.)

Minggu, 09 Maret 2008

Di depan Pasarean Raja-raja Mataram, Imogiri, Yogyakarta, 9-9-1999

Selasa, 04 Maret 2008

Macan kampus, lokasi Benteng Vredeburg Yogyakarta 1990
Becak adalah unik, antik, artistik dan sedih

Senin, 03 Maret 2008

Kehidupan Tukang Becak dalam perspektif Seni Rupa

Secara umum, penciptaan karya seni, seni rupa pada khususnya, tidak dapat terlepas dari persoalan yang melingkupinya. Gejolak yang merangsang imajinasi seniman selalu menuntut proses kreatifnya untuk tidak tertarik pada keindahan saja, tetapi juga “tanggung jawab sosial”, dimana karya seni rupa dapat dianggap sebagai manifestasi politik kebudayaan yang jelas.

Pemikiran semacam ini menuntut seniman disamping sebagai peneliti, juga sebagai pelaku budaya yang otomatis terlibat dalam aktivitas kebudayaan masyarakat tersebut.

Dari ke aneka ragaman pengalaman dan berbagai pengamatan yang pernah saya alami, ada hal-hal khusus yang menarik, yaitu perihal becak.

Meskipun kemajuan teknologi sudah sedemikian pesatnya, dan berbagai penemuan-penemuan piranti keras dan lunak setiap menit dapat tercipta, tetapi keberadaan becak sebagai sarana transportasi tradisional masih belum tergoyahkan.

Pada dekade belakangan ini, kehidupan becak, dan tentu saja tukang becaknya, terasa semakin terjepit dalam arus modernisasi yang serba mekanis dan kompetitif. Sedikit demi sedikit eksistensi becak terkikis dan digugat.

Terlepas dari berbagai kontroversi yang mengungkungnya, sebenarnya becak memiliki nilai tambah yaitu sebagai lapangan pekerjaan dan merupakan kendaraan tradisional yang unik, yang memiliki nilai-nilai historis, serta sangat menarik antusias turis dari manca negara.

Dengan demikian, momen-momen estetis yang menyentuh jiwa tersebut, saya coba tuangkan ke dalam bentuk yang kasat mata; suatu bentuk yang dapat dinikmati pula oleh orang lain.

Meskipun keartistikan bentuk, komposisi dan warna adalah bersifat subyektif, namun kenyataannya, setiap hasil seni, didalamnya tercermin ekspresi dari senimannya.

By Rindy Atmoko

“Mengangkat” Kehidupan Tukang Becak


Dari pengamatan sehari-hari seorang grafikus muda Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Yogyakarta seperti Rindy Atmoko, mulai tertarik dengan kehidupan tukang becak. Selintas memang aneh. Mengapa Rindy yang bergelut studi di bidang seni rupa itu jadi tertarik kepada nasib para penarik becak itu? Adakah keterkaitan diantara Rindy dengan mereka?

Secara kebetulan, di sekeliling tempat tinggalnya, banyak dihuni oleh tukang becak, yang tinggal dengan keluarganya. Rindy mengamati mereka dan jatuh simpati.

Ujarnya: “Pada kurun waktu belakangan ini, kehidupan tukang becak dan becaknya terasa semakin terjepit dalam arus modernisasi yang serba mekanis dan kompetitif. Sedikit demi sedikit eksistensi becak terkikis dan digugat.”

Rindy selanjutnya melihat bahwa keterjepitan tersebut membawa dampak bagi kehidupan keluarga mereka, dengan penghasilan yang selalu pas-pasan.

Sikap simpati Rindy tersebut tidak hanya terhenti pada angan-angannya saja, tapi justru dari sanalah menumbuhkan dorongan untuk mewujudkan ke dalam penciptaan karya Seni Grafisnya. “Kesemuanya itu adalah factor-faktor subyektif yang menyentuh, sekaligus menantang untuk diekspresikan ke dalam bahasa visual …,” begitu ungkap Rindy Atmoko lebih lanjut.

Dalam bahasa visual, Rindy mengolahnya kedalam bentuk-bentuk realistis, menonjolkan sifat-sifat volume dan plastisiteit sang obyek, yakni becak-becak dengan berbagai sudut pandang dan arah perspektif, figure-figur manusia serta komponen lain yang menyertai, seperti rumah-rumah, pepohonan dan lain sebagainya. Namun, sebagai latar belakang, Rindy lebih menyederhanakan materi. Ia tidak ingin terlalu ribut dengan mengisikan bermacam obyek. Malahan Rindy agak hati-hati dan lebih banyak mengisi latar-belakang tersebut dengan garis-garis cukilan sehingga taferil di belakang tersebut seolah-olah mengabur.

Rindy menggarap semuanya itu lewat teknik cukilan kayu (wood cut) dan bidang yang dicukil tadi (calon klise) ia pilih dengan hard board. Sistem cukilannya adalah reduksi, yaitu klise tunggal untuk setiap tahap warna, Rindy mencukilnya berkali-kali. Sistem ini di pilih Rindy karena menghemat dan praktis. Hanya sayangnya jumlah cukilan tersebut tidak dapat diulang kembali, sebab klise tersebut telah rusak.

Rindy cukup piawai. Sejumlah karya grafisnya dengan thema Kehidupan Tukang Becak tadi telah selesai dan ia pamerkan dalam rangka menyelesaikan studinya dan merupakan Pameran Tunggal Tugas Akhir di Fakultas Seni Rupa dan Disain, Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

Herry Wibowo (Kritikus Seni Rupa, Ilustrator, Grafikus, Pelukis dan Dosen FSRD-ISI Yogyakarta)