Secara umum, penciptaan karya seni, seni rupa pada khususnya, tidak dapat terlepas dari persoalan yang melingkupinya. Gejolak yang merangsang imajinasi seniman selalu menuntut proses kreatifnya untuk tidak tertarik pada keindahan saja, tetapi juga “tanggung jawab sosial”, dimana karya seni rupa dapat dianggap sebagai manifestasi politik kebudayaan yang jelas.
Pemikiran semacam ini menuntut seniman disamping sebagai peneliti, juga sebagai pelaku budaya yang otomatis terlibat dalam aktivitas kebudayaan masyarakat tersebut.
Dari ke aneka ragaman pengalaman dan berbagai pengamatan yang pernah saya alami, ada hal-hal khusus yang menarik, yaitu perihal becak.
Meskipun kemajuan teknologi sudah sedemikian pesatnya, dan berbagai penemuan-penemuan piranti keras dan lunak setiap menit dapat tercipta, tetapi keberadaan becak sebagai sarana transportasi tradisional masih belum tergoyahkan.
Pada dekade belakangan ini, kehidupan becak, dan tentu saja tukang becaknya, terasa semakin terjepit dalam arus modernisasi yang serba mekanis dan kompetitif. Sedikit demi sedikit eksistensi becak terkikis dan digugat.
Terlepas dari berbagai kontroversi yang mengungkungnya, sebenarnya becak memiliki nilai tambah yaitu sebagai lapangan pekerjaan dan merupakan kendaraan tradisional yang unik, yang memiliki nilai-nilai historis, serta sangat menarik antusias turis dari manca negara.
Dengan demikian, momen-momen estetis yang menyentuh jiwa tersebut, saya coba tuangkan ke dalam bentuk yang kasat mata; suatu bentuk yang dapat dinikmati pula oleh orang lain.
Meskipun keartistikan bentuk, komposisi dan warna adalah bersifat subyektif, namun kenyataannya, setiap hasil seni, didalamnya tercermin ekspresi dari senimannya.
By Rindy Atmoko
Tidak ada komentar:
Posting Komentar