Sabtu, 09 Agustus 2008

Urban legends

Urban Legends; tentu saja ini bukan tentang cerita horror versi Hollywood yang berdarah-darah. Tetapi esensinya sama, didalamnya mengandung simbolisasi kegetiran hidup yang (bisa) sangat menyeramkan. Menyayat hati. Meskipun juga tidak sedikit yang berakhir dengan happy ending.

Fenomena kaum urban di kota-kota besar di dunia, memang sulit dibendung. Dalam hal ini kota Jakarta tak luput menjadi sasaran. metropolitan.

Puluhan ribu, bahkan ratusan ribu penduduk pedesaan berbondong-bondong menyerbu kota Jakarta untuk mengadu nasib. metropolitan

Faktor ekonomi, terutama karena lapangan pekerjaan yang sangat terbatas, pekerjaan di sektor pertanian yang sangat tidak memadai, menjadi penyebab kaum urban ngacir dari kampung halamannya.

Sementara itu, disisi lain, kota metropolitan Jakarta yang gemerlap berkilau membikin kaum urban silau dan berebutan mengadu nasib, mengejar berjuta mimpi melalui lorong-lorong jebakan yang tak berujung.

Dibalik gemerlap Jakarta, kisah kemalangan dan derita memaksa mereka “berakrobat” agar tetap survive.

Akhirnya persoalan yang dihadapi pemerintah menjadi sangat rumit dan kompleks.

Meskipun hingar bingar otonomi daerah sudah gencar semarak, tetapi terbukti masih belum perkasa.

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus bersatu padu dan saling melengkapi dalam melaksanakan program penanggulangan masalah urbanisasi.

Langkah utama yang harus dilakukan:

  1. Ekstensifikasi & intensifikasi pertanian.
  2. Berdayakan ekonomi berbasis kerakyatan (wisata, kerajinan, pengolahan makanan dalam skala home industri) dengan memberikan kredit dengan bunga yang super ringan.
  3. Memberi pelatihan dan menyediakan kesempatan promosi di dalam dan luar negeri.

Karena pada dasarnya, arus urbanisasi merupakan refleksi dari kegagalan pemerintah (daerah) dalam mengatasi kebuntuan dan stagnasi perekonomian di daerah.

Di Jakarta, tidak pernah terdengar orang Bali (yang kita konotasikan dengan nama khas Bali) yang tertangkap tramtib, dikejar-kejar Polisi PP karena jadi pengemis, atau hidup di kolong jembatan. Kenapa? Karena di Bali lapangan pekerjaan sudah cukup tersedia. Potensi wisata dan kesenian (ekonomi kreatif) benar-benar digarap secara serius dan terarah oleh pemda Bali.

Jadi, ngapain ke Jakarte bang !

Ditulis oleh Rindy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar