Minggu, 07 September 2008

Delapan Watak Pemimpin Jawa

Setiap komunitas memiliki seperangkat pengertian dan perilaku, baik yang berasal dari generasi-generasi sebelumnya maupun dari pengalaman komunitas tersebut. Semacam kekuatan atau kemampuan komunitas itu untuk menyelesaikan secara baik dan benar berbagai persoalan serta kesulitan yang dihadapi.
Dalam proses waktu, rangkaian perilaku dan pengertian itu mengkristal dan menjadi sekumpulan nilai atau ajaran moral, yang kemudian secara umum dikenal sebagai local wisdom alias kearifan local. Dan secara praktis, kearifan local dapat dilihat dalam dua dimensi. Pertama adalah pengetahuan dan kedua adalah berupa pola-pola interaksi dan perilaku atau tindakan.
Jawa adalah salah satu etnik yang juga memiliki kearifan local. Juga dalam soal kepemimpinan. Bahkan soal ini mendapat perhatian yang cukup serius. Karena, ia selalu dikaitkan dengan nilai-nilai ideal yang berorientasi kepada dunia supranatural. Katakanlah semacam dewa, Tuhan, dan lainnya.
Hal itu, antara lain, tercermin dalam pandangan orang Jawa terhadap pemimpin, raja misalnya, yang dianggap sebagai “wakil/titisan” dewa atau Tuhan dimuka bumi. Tygas mulia seorang seorang pemimpin ini terutama menciptakan kehidupan yang harmonis antara manusia, alam dan Tuhan. Di mana salah satu pilar utama hidup harmonis itu adalah keadilan.
Oleh karenanya, pemimpin yang baik adalah dia yang mampu menerjemahkan nilai-nilai keadilan dalam praksis kehidupan. Orang-orang yang dipimpin harus mendapatkan rasa adil dan kesejahteraan lahir dan batin.
Dalam konteks ramainya kontes pemilihan umum, tingkat local dan nasional belakangan ini, mungkin baik menakar bagaimana kearifan local Jawa menawarkan standar kepemimpinan idealnya.

Astabratha
Sebagai etnik terbesar, Jawa memiliki konsep tersendiri tentang bagaimana kepemimpinan yang seharusnya. Konsep yang disebut Astabratha itu menilai pemimpin antara lain harus memiliki sifat ambek adil paramarta atau watak adil merata tanpa pilih kasi (Ki Kasidi Hadiprayitno, 2004). Secara rinci konsep ini terurai dalam delapan (asta) watak: bumi, api, air, angin, angkasa, matahari, bulan dan bintang atau dalam bahasa Jawa disebut; bumi, beni, banyu, angina, langit, surya, candra dan kartika.
Pertama, watak bumi yang harus dimiliki seorang pemimpin mendorong dirinya untuk selalu memberi kepada sesame. Ini berdasarkan analog bahwa bumi merupakan tempat untuk tumbuh berbagai tumbuhan yang berbuah dan berguna bagi umat manusia.
Kedua, geni atau api. Pemimpin harus memiliki sifat api. Api adalah energi, bukan materi. Api sanggup membakar materi apa saja menjadi musnah. Namun, api juga bisa mematngkan apa saja. Api dalam konteks ini bukan dalam pengertian yang destruktif, melainkan knstruktif.
Semangat api yang konstruktif yang harus dimiliki pemimpin, antara lain, adalah kesanggupan atau keberanian untuk membakar atau melenyapkan hal-hal yang menghambat dinamika kehidupan, misalnya sifat angkara murka, rakus, keji, korup, merusak dan lainnya.
Ketiga, banyu/air, adalah watak yang menggambarkan pemimpin harus selalu mengalir dinamis dan memiliki watak rendah hati, andhap asor dan santun. Tidak sombong. Tidak arogan. Sifat mengalir ini juga bisa diartikan bahwa pemimpin harus mampu mendistribusikan kekuasaannya agar tidak menumpuk/menggumpal yang merangsang ntuk korupsi. Selain itu, seperti air yang selalu menunjukkan permukaan yang rata, pemimpin harus adil dalam menjalankan kebijakan terkait hajat hidup orang banyak.

Berdemokrasi
Keempat, watak angina atau udara, watak yang memberikan hak hidup kepada masyarakat.
Hak hidup, antara lain, meliputi hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak (sandang, pangan, papan dan kesehatan), mengembangkan diri, mendapatkan sumber khidupan (pekerjaan), berpendapat dan berserikat (demokrasi) dan mengembangkan kebudayaa.
Kelima, Surya atau matahari, dimana pemimpin harus mampu menjadi penerang kehidupan sekaligus menjadi pemberi energi kehidupan masyarakat.
Keenam, watak bulan/candra. Sebagaimana bulan yang memiliki kelembutan menentramkan, pemimpin yang bijak selalu memberikan rasa tentram dan menjadi sinar dalam kegelapan. Ia harus mampu memimpin dengan berbagai kearifan sekaligus visioner (memiliki pandangan jauh ke depan); bukan pemimpin dengan gaya seorang tiran (otoriter) dan berpikiran dangkal.
Ketujuh, adalah bintang/kartika. Sebagaimana bintang menjadi panduan para musafir dan nelayan, pemimpin harus mampu menjadi orientasi (panutan) sekaligus mampu menyelami perasaan masyarakat.
Dan akhirnya, Jawa menuntut seorang pemimpin mesti memiliki watak langit atau angkasa. Dengan watak ini, pimimpin pun harus memiliki keluasan hati, perasaan dan pikiran dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa dan Negara. Tidak sempit pandangan, emosional, temperamental, gegabah, melainkan harus jembar hati-pikiran, sabar dan bening dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Bukankah inti atau substansi pemimpin adalah pelayan? Pemimpin yang berwatak juragan adalah penguasa yang serba minta dilayani dan selalu menguasai pihak yang dipimpin.

Indra Tranggono, KOMPAS, 16 Agustus 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar