Minggu, 07 September 2008

SENI GRAFIS ; Stagnasi karena Sindrom Rendah Diri

Pembicaraan Seni Grafis di Indonesia bisa dibilang tak pernah beranjak. Kalau tidak berkutat pada pertanyaan-pertanyaan dasar dan pemula – apa itu Seni Grafis – yang diributkan selalu kedudukan Seni Grafis sebagai “warga kelas dua”, sebagai karya reproduksi, sehingga akhirnya tak berdaya di tengah percaturan seni modern, apalagi kontemporer. Simfoni panjang keluh kesah itu dari dulu terus bersambung, bahkan hingga pembicaraan di Utan kayu, Jakarta, awal Mei lalu (Kompas, 8/4 dan 9/4).
Pandangan bahwa Seni Grafis adalah “warga kelas dua” rasanya tak perlu dibahas lagi. Sebab, begitulah sejarahnya, dalam wacana seni rupa Barat yang mengagungkan seni Lukis dan Patung. Pada mulanya, seni Grafis memang diniatkan menjadi semacam kiat untuk memecahkan masalah-masalah praktis –ekonomis. Para perupa butuh hidup. Namun, dengan lukisan-lukisan berukuran besar mustahil mereka dapat menjaring lebih banyak orang untuk memilikinya.
Oleh karena itu, kita menyaksikan banyak pelukis dan pematung masyhur nyambi jadi pegrafis. Sebut saja, Rembrandt van Rijn (Belanda), Pablo Picasso (Spanyol), George Braque (Perancis), Marc Chagall (Rusia), Joan Miro (Spanyol), ataupun Alexander Calder (AS). Tetapi nyambi-nya Picasso dan Chagall, misalnya, menghasilkan serial litografi yang kualitas artistiknya tidak lebih rendah ketimbang lukisan mereka. Bahkan dalam perjalanan sejarah, mereka juga menghasilkan pegrafis tulen, semacam Katie Kollwitz, yang karyanya pernah digelar di Jakarta pada Maret 1991. Dengan memanfaatkan secara cermat teknik grafis, baik litografi, etsa maupun cukil kayu, seniwati Jerman itu diakui berhasil menciptakan “ikon-ikon visual” dunia, dengan bobot yang tak tergantikan bahkan oleh seni lukis. Di tangannya yang sering belepotan tinta bak “tukang cetak” itu Seni Grafis menjadi otonom – bukan lagi Seni Lukis yang diperbanyak lewat teknik cetak mencetak.
Tentu saja, ekses selalu muncul. Ketika karya seni rupa menjadi komoditas perdagangan internasional, soal “perbanyakan” ternyata juga mengusung kerepotan: memberi peluang untuk melakukan kecurangan dan pemalsuan, baik oleh senimannya sendiri atau pihak lain. Inilah yang diceritakan Jais hadiana, hampir sebulan berselang sepulangnya ia dari mengikuti “pasar seni” di Paris. Art dealer pemilik Darga Gallery di Bali dan Darga Lansberg Gallery di Paris ini memang memperdagangkan lukisan Renoir, Miro, ataupun Chagall. Tetapi, karya lito, no. “Rumit. Susah sekali menentukan orisinalitasnya, sehingga jarang art dealer yang berani,” kata Jais.
Cerita Jai situ wajar. Maklum. Ketika bangkrut, Rembrant yang karya etsanya terkenal bergaris lembut bak beludru – sehingga hanya jelas terlihat pada 25-40 cetakan pertama- ternyata mencetak ulang gambar-gambar lama dan memasarkannya. Sementara Kompas, awal Mei lalu, memberitakan bahwa diantara warisan Picasso yang diperebutkan para ahli warisnya, ada 17.411 prints berikut 1.723 “lempengan cetak” nya, serta 6.121 litografi berikut 453 “batu cetak” nya. Padahal, dalam seni Grafis ada semacam etika untuk membatasi penggandaan dengan menghancurkan cetakan setelah target terpenuhi.
Lalu bagaimana di Tanah Air? Adakah masyarakat menganggap grafis itu seni kelas dua? Boro-boro punya anggapan begitu, tahu saja tidak. Buktinya, dalam diskusi-diskusi mereka selalu bertanya: apa itu Seni Grafis, cetak tinggi (cukil kayu, lino), cetak dalam (dry point, etsa dan akuatint), cetak datar (litografi dan cetak saring). Juga, selain dikenal sebagai pelukis, para pelopor seni Grafis modern – antara lain Mochtar Apin, Baharudin MS, AD Pirous- jarang berpameran grafis. Kalaupun berpameran ramai-ramai dan yang tampil cukilan kayu melulu.
Betulkah masyarakat tahu bahwa seni Grafis yang dibelinya itu bisa saja “asli tetapi palsu”, lalu mereka enggan mengapresiasinya? Pada paruh kedua 1970an, permintaan akan karya grafis banyak berdatangan dari bank, kamar hotel dan perumahan. Tetapi yang tampak giat “memanfaatkan” peluang itu hanya kelompok Decenta Bandung. AD Pirous, G. Sidharta, T Sutanto, Priyanto S. dan Diddo Kusnidar. Tetapi ketika karya-karya mereka itu digelar di TIM, para pengamat seni rupa yang tekun dengan ketajaman mencatat: kesannya beragam, bahkan kombinasi warna yang mereka gunakan pun terkesan sama, sehingga khalayak gampang mengira bahwa karya mereka itu keluar dari “satu pabrik” untuk mengejar target pesanan. Dan mereka juga menggunakan media grafis yang sama, cetak saring alias serigrafis alias sablon. Maka pengetahuan masyarakat akan seni Grafis pun bertambah : ternyata karya sablon itu juga termasuk seni Grafis.
Lalu bagaimana denga etsa dan litografi? Yang menonjol menekuni jenis ini yaitu Setiawan Sabana dan Tisna Sanjaya, yang kebetulan dosen seni Grafis di ITB. Dengan begitu, mereka bisa memanfaatkan fasilitas bengkel grafis di perguruan tinggi tersebut. Dulu pernah ada Aten Waluya, pegrafis yang etsanya bisa diandalkan. Tetapi selesai kuliah, selesai sudah. Ia kini mencoba berkarya dalam wujud ilustrasi, tetapi pencapaian artistiknya tak mampu mengejar mutu pictorial etasanya yang khas.
Dalam hubungan ini perlu juga dicatat kenyataan menarik: DKJ di zaman Zaini pernah menyediakan fasilitas studio bagi para pegrafis. Tetapi akhirnya alat itu rusak karena menganggur terlalu lama- karena tak seorang pun pegrafis yang memanfaatkannya.
Begitulah adanya. Para pegrafis mengeluh masyarakat menyepelekan seni Grafis, tetapi kenyataannya, masyarakat tak kenal seni Grafis karena senimannya tak pernah memunculkan diri. Kalau catatan saya cermat, Cuma ada empat pegrafis kita yang pernah (bukan sering) pameran tunggal: T. Sutanto, 58 (1976 dan 1990), Setiawan Sabana, 48 (1986 dan 1989); Marida Nasution, 42 (1991); Tisna Sanjaya, 41 (1988). Padahal, pada 1991, ketika Galery Yasri yang dimotori Jim Supangkat mengundang mereka berpameran, munculah 52 pegrafis; Bandung (24), Yogya (13), Jakarta (10), Solo (3) dan Surabaya (2). Tetapi, and the rest in silence, dan selebihnya sepi.
Apalagi ketika harga lukisan membumbung tinggi, disusul demam seni instalasi, “sindrom rendah diri” pegrafis pun makin menjadi jadi. Kaboel Suadi, misalnya, malah menggelar pameran tunggal lukisan diakhir 1993. Padahal ia seorang pelopor seni grafis modern di negeri ini, an sehari-harinya pun berkecimpung di dunia seni Grafis, dengan memanfaatkan efek mirip goresan pada cukilan kayu atau lino, serta efek puritan bertumpuk pada karya cetak saring. Maka, jadilah pameran itu seolah tempat menggelar ketidakpercayaan diri seorang Kaboel Suadi sebagai pegrafis.
Dan kini di Teater Utan Kayu Jakarta para pegrafis generasi baru di ITB itu berkeluh kesah; mempertentangkan tukang cetak dan seniman; seolah mereka tak tahu bahwa karya grafis jelas memerlukan pengetahuan tehnik grafis yang cermat. Soalnya, dalam grafis, teknik mampu menghadirkan bobot, yang sulit dihadirkan seandainya digunakan teknik pictorial lain.
Mereka berkeluh kesah bahwa seni Grafis tidak mampu masuk ke wilayah seni kontemporer, atau mengikuti paradigma-paradigma baru. Padahal, tak perlu mereka berucap begitu seandainya mereka mau mengingat pertengahan tahun 1989, ketika Setiawan Sabana menggelar pameran yang menggugat kelaziman pandangan dan perlakuan terhadap seni Grafis.
Di masa mabuk seni instalasi belum menjadi-jadi hingga mengusung anarki, dosen seni Grafis ITB itu telah melangkah jauh. Ia memajang sekaligus 60 eksemplar cetakan etsa-akuatin 27x39 cm di dinding dan lantai- menjadi sebuah karya yang utuh. Memasuki ruang pameran, kita pun seolah-olah memasuki ruang angkasa dengan benda-benda langit di segala penjuru. Buat Setiawan, grafis punya dua sisi: uangkapan dua dimensi melalui proses cetak, dan jumlahnya banyak (jamak). Jadi, sah-sah saja karya seni Grafis tampil utuh “sebagai suatu ekspresi yang jamak-uangkapan rampak”. Dengan gugatan Setiawan itu, para pegrafis ditantang untuk bergerak dan melangkah maju memasuki paradigma-paradigma baru.
Sementara itu, di tingkat dunia, seni Grafis cukil kayu Jepang kuno, ukiyo-u, ditangan empu macam Kitagawa Utamaro (1750-1806), Katsushita Hokusai (1760-1849) dan Hiroshige (1787-1858), tak hanya berpengaruh besar terhadap perkembangan seni lukis modern Barat di masa Impresionisme, melainkan juga mampu mendudukkan perupa Jepang yang berkarya di Amerika, Masami Teraoko (63), ke kursi perupa internasional di zaman post modernisme.
Jadi,kalau para pegrafis hanya bermaksud memelihara “sindrom rendah diri” yang tak jelas dari mana asalnya, lalu menyerah, ya kesimpulannya pasti: “stagnan”, “bubarkan”. Dan itu tak guna kita sedihkan.

Eddy Soetriyono (Kompas, Minggu 20 Januari 1999)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar