Jika Anda jalan-jalan ke
Pemandangan serupa bisa ditemui di mal Jogjatronik di jalan Brigjen Katamso, tepatnya di lantai tiga. Jumat (6/6) sore, ada dua belas orang duduk lesehan di selasar toko sambil memangku laptopnya dan asyik berselancar di dunia maya. Sama seperti di Amplas, mereka adalah para pemburu hotspot. Bedanya, mereka tidak perlu mampir di kedai dan membeli minuman sebagai prasyarat menikmati fasilitas hotspot. Mereka cukup memanfaatkan gelombang hotspot gratisan yang meluber hingga ke selasar toko. Pemburu hotspot di tempat ini mungkin termasuk orang yang hemat atau mungkin bokek.
Sejumlah kedai di sepanjang selokan Mataram , Gejayan , Sagan dan Terban juga banyak yang ber-hotspot. Biasanya kafe itu akan memasang spanduk bertuliskan “Free Hotspot, Unlimited”.
Fasilitas hotspot di kedai-kedai semacam itu pun gratis. Di kafe Djendelo Tanah Airkoe, misalnya, Anda cukup membeli segelas Es Teh Djendelo Bersoebsidi seharga Rp. 4.000 dan Anda sudah bisa memanfaatkan fasilitas hotspot mulai kafe itu buka di siang hari hingga tutup pukul 22.00. Itu kalau Anda tidak malu !
Nyatanya, kata Korlap Djendelo, Yusuf Sinaga, ada beberapa pelanggan yang tidak punya rasa malu. “Main internet dari pagi sampai malam kok cuma pesan satu gelas teh. Saya sudah mendelik-mendelik dan hilir mudik di depannya, eh dia cuek aja,” katanya.
Tidak mau ketinggalan, kos-kosan, lapangan futsal, dan TK juga dilengkapi hotspot. Ibu-ibu lebih senang hanyut dalam dunia maya ketimbang ngerumpi dengan sesama sambil menunggu anaknya selesai belajar dan bermain di TK.
Yang lebih fenomenal, hotspot juga bisa dijumpai di angkringan. Salah satunya angkringan di halaman Sawitsari, Condongcatur, Sleman.
Pada suatu malam, ada 10 anak muda tenggelam dalam dunia maya. Ada yang sekedar chatting, bergabung dengan milis, membuka situs Friendster, You Tube, bahkan ada yang sedang bertransaksi bisnis (mungkin jutaan rupiah) sambil menyeruput kopi dan makan nasi kucing (nasi seukuran porsi makan kucing yang harganya Cuma Rp. 1.000 perbungkus).
Ah, di sini simbol-simbol saling bertabrakan. Angkringan yang merupakan symbol kaum jelata
“Booming”
Bagaimana demam hotspot terjadi? Riza Tantular, Manager Citranet, perusahaan penyedia jasa internet, mengatakan, fenomena ini sebenarnya dimulai sejak munculnya kafe dan kedai kopi kecil seperti yang ada di sepanjang selokan Mataram tahun 2004. “Kedai-kedai itu menyediakan fasilitas hotspot untuk menarik mahasiswa,” ujarnya.
Setelah Amplas- yang dilengkapi fasilitas hotspot- berdiri tahun 2006, demam hotspot kian menjadi. Orang makin betah nongkrong, sambil berselancar di dunia maya.
Manager Data Internet PT. Telkom Kandatel Yogyakarta Taryoko mengatakan, penggunaan akses internet nirkabel di yogya memang mengalami ledakan sejak tahun lalu. Orang tinggal menambahkan perangkat access point seharga Rp. 400.000 ke koneksi internet dan, bimsalabim, layanan hotspot tersedia.
Riza dan taryoko yakin demam hotspot akan terus berlanjut. Pasalnya, pengguna internet di Yogya makin praktis dan mobil. Apalagi laptop yang dilengkapi perangkat Wi-Fi (wireless fidelity) semakin murah. Dengan uang kurang dari Rp. 5 juta, orang sudah bisa memiliki laptop dengan Wi-Fi.
Gejala itu memang semakin nyata. Indikasinya, penjualan laptop di
Sekarang, lanjutnya, pembeli di gerainya harus menunggu 14 hari kerja untuk mendapatkan notebook. Notebook yang banayak dicari adalah yang harganya berkisar Rp. 10 juta – Rp. 11 juta dengan model trendi. Kebanyakan pembelinya mahasiswa.
Weleh … weleh !
Kompas, 8 juni 2008
Wah ya memang budaya Jogya itu khas. Khas sebagai kotane wong kost-kost-an. Nyari selah ekonomis.
BalasHapusLa piye foto-foto hasilmu tentang keunikan masyarakat Jogya.
REINTERPRETASI SIMBOL WAYANG
BalasHapusManusia tidak dapat dipisahkan dari simbol. Wayang adalah simbol, mulai dari tokoh, adegan dan lakon sampai –dalam wayang kulit-- peralatan pentas (kelir, blencong, dsb), pembabakan waktu dan deretan wayang di sisi kiri-kanan kelir.
Menarik untuk disimak adanya kecenderungan kecil, yang berlawanan dengan persepsi mainstream, terhadap penyimbolan wayang ini, utamanya pada tokoh-tokohnya.
Dalam kisah Ramayana, tokoh yang biasanya sering memancing polemik adalah Kumbakarna dan Wibisana. Kumbakarna bersikap ‘right or wrong is my country’, sedangkan Wibisana berpendapat ‘right is right, wrong is wrong’. Di negeri kita, perbedaan ini mencuat dalam kasus Timor Timur atau pun laporan pelanggaran HAM ke PBB.
Namun belakangan muncul berbagai penafsiran yang lebih kritis, yang lebih bernada menggugat, yang menyudutkan Rama, baik dalam kaitannya dengan Rahwana maupun Shinta.
Agus Sunyoto dalam novel ‘Rahuvana Tattwa’ menggambarkan Rahwana sebagai raja pelindung negerinya dari penjajahan agresor Rama sebagai bangsa Arya. Agus juga mempertanyakan, mengapa Rahwana didukung sepenuhnya oleh rakyat Alengka, tapi Rama malah menggunakan bala tentara kera? Agus menyodorkan ‘fakta’ pula bahwa Rahwana bersikap sopan terhadap Shinta dan tidak menodainya, sementara Rama –setelah berhasil membebaskan istrinya-- justru bersikap kejam terhadap Shinta.
Perspektif Agus sejalan dengan Srilanka. Di Srilanka, Rahwana adalah pahlawan yang melawan Rama si penjajah. Pada tahun 2004, misalnya, untuk menghindari protes Srilanka, delegasi Indonesia segera mengubah lakon wayang kulit yang dibawakan Ki Manteb Soedharsono di Gedung Unesco Paris dari ‘Brubuhan Alengka’ menjadi ‘Sesaji Raja Suya’. Guru dan penulis St Kartono juga pernah menulis bahwa konon delegasi Srilanka mundur dari Festival Ramayana lantaran negara-negara lain menampilkan Rahwana sebagai tokoh jahat.
Reinterprestasi juga dilakukan terhadap tokoh Shinta. Dalam rubrik tetap ‘Podium’ di tabloid Detik, sastrawan AS Laksana pernah menyoroti Ramayana dalam perspektif feminisme. Shinta, yang dibuang Rama, mengatakan, “… Biarlah air mataku tertumpah, juga untuk nasib yang harus ditanggungkan oleh kaumku pada masa-masa mendatang.” Dengan nada yang lebih garang, sajak ‘Elegi Sinta’ Dorotea Rosa Herliany dibuka dengan “aku sinta yang urung membakar diri/demi darah suci/bagi lelaki paling pengecut bernama rama”, dan ditutup dengan “agar sejarahku terpisah dari para penakut/dan pendusta. rama…”.
Pada cerita Mahabharata, tokoh yang paling disikapi beragam adalah Karna. Kembali pada dilema, ‘salah atau benar adalah sumpah dan janjiku’, atau ‘salah adalah salah, benar adalah benar’. Karna mengambil opsi pertama, setia pada janjinya untuk mengabdi pada Duryudana yang telah mengangkat derajatnya meski ia tahu berada di pihak yang salah.Yang mendukung (baca: memaklumi) sikap Karna ini melihatnya sebagai satu ucapan dan tindakan (konsistensi), menjunjung tinggi janji, dan sepi ing pamrih. Yang menentang menganggap Karna sebagai antek rezim yang mengkhianati kebenaran. Berbeda dengan Kumbakarna, Karna dinilai bukan membela negara tapi penguasa Duryudana.
Seperti juga soal Kumbakarna, positioning Karna adalah polemik klasik. Tapi belakangan juga muncul tulisan yang menyoroti kelemahan tokoh Pandawa dan kebaikan tokoh Kurawa, mungkin semacam upaya penyeimbangan. Dalam novel ‘Manyura’, Yanusa Nugroho mengangkat perselingkuhan Arjuna dan Banowati (istri Duryudana) serta orientasi kekuasaan Yudhistira. Dalam cerpen ‘Dusta Itu…’, Yanusa mengakhirinya dengan kekecewaan Dorna atas kebohongan Yudhistira perihal kematian Aswatama. Sambil menangis, Dorna mengatakan, “Bukan kematian Aswatama yang kutangisi, tapi dusta yang baru saja kau ucapkan, yang kusesali. Apa lagi yang akan kuperoleh di dunia ini, manakala kejujuran telah melahirkan dusta?”
Demikian pula, Amrih Pitoyo dalam buku ‘Kebaikan Kurawa’ mencoba mengangkat sisi baik sejumlah tokoh Kurawa. Sementara Gus Dur melihat bahwa positioning Pandawa dan Kurawa bukanlah positioning baik dan jahat antara cowboy dan bandit seperti dalam cerita-cerita Barat. Filosofi Pandawa dan Kurawa, menurutnya, adalah orang yang mencari kebenaran dan orang yang telah sampai kepada kebenaran itu sendiri. Pihak Kurawa adalah pejuang kebenaran yang belum sampai pada kesempurnaan pandangan. Ini artinya, simpul Gus Dur, Kurawa adalah calon komplemen bagi Pandawa.
Semua reinterpretasi baru ini, lepas dari setuju atau tidak, agaknya perlu diterima dengan pikiran terbuka. Yakni sebagai upaya memanusiakan wayang, mengontekskan wayang dalam nilai-nilai humanistis. Keabuabuan itu membuat kita terperangah lalu menjenguk lebih jauh ke dalam diri sendiri. Reinterpretasi yang sekadar ‘asal lain’ akan diabaikan, tapi yang menyuruk ke persoalan substansi manusia akan dicamkan.
Meminjam ulasan AH Bakker tentang simbol, di satu kutub ada identifikasi mitis (bukan mistis) yang dihayati dalam kelompok yang hidup dalam identifikasi antara tindakan simbolis dan apa yang mereka simbolkan, sementara di kutub lainnya adalah distansi alegoris yang hidup dalam keterasingan dari akar-akarnya dan kehilangan kepekaannya bagi kenyatan mendalam. Berangkat dari dikotomi ini, agaknya reinterpretasi yang konstruktif berada di antara keduanya. Tidak semata pengidolaan membabi buta, sekaligus tidak hanya intelektualisme yang menghakimi.
PAMERAN LUKISAN ‘JAWA BARU’
BalasHapus‘Jawa Baru’ dalam pameran lukisan di Sri Srasanti Gallery, 6-20 Juni 2008, adalah Jawa dalam pusaran modernisasi dan globalisasi. Perspektif tersebut mewarnai sebagian besar perupa dalam pameran ini. Tapi dari framing realita seperti ini bagaimana para perupa menyikapinya?
Dalam ‘Conversemar’, Aji Yudalaga menggambarkan Semar mengenakan sepatu bermerek terkenal, Converse, yang mengklaim diri sebagai ‘American original sports company’. Converse Inc. adalah milik perusahaan sepatu raksasa AS, Nike Inc. Sementara Semar adalah tokoh wayang khas Jawa, ‘Java original wayang’ yang tidak ada di negeri asal wayang, India. Agaknya Aji hanya memerlukan Semar sebagai atribut Jawa sehingga cukup menampilkannya separuh badan. Tapi batas-batas kebudayaan (cultural boundaries) masih kelihatan jelas, belum meluruh dalam metamorfosis baru.
Kombinasi serupa dilakukan Prayogo Satrio Utomo (Iyok) dalam ‘Don’t Protect Me from What I Want’. Jangan lindungi, kata Iyok. Bukan jangan melarang. Iyok agaknya tetap melihat niat baik dari pembatasan atau pelarangan meski dianggapnya salah tempat. Maka ia menampilkan satu subkultur yang cukup ekstrim yakni ‘punk rock’, yang tertulis di jari-jari seorang wanita belia mirip Melanie Subono yang mengenakan blangkon. Di dadanya terbaca ‘Bondage Up Yours’, yang tampaknya diambil dari judul lagu hit dari grup punk X-Ray Spex, ‘Oh Bondage Up Yours’. Ideologi punk adalah anti kemapanan.
Seperti disebutkan dalam catatan katalog, Iyok mengaku diuntungkan dengan arus globalisasi, disertai keyakinan bahwa Jawa cukup liat untuk ditembus di balik semua keluwesannya. Sedangkan Aji melihat pertemuan ‘pendatang’ dan nilai-nilai ‘lama’ sangat kooperatif.
Berbeda dengan sikap kedua perupa di atas, kombinasi yang dilakukan Nasirun justru sebuah otokritik, bukan pembelaan. Dalam ‘Indonesian Petruk’ yang satiris, sang panakawan ini mengenakan seragam kumpeni dan menenteng kain bertuliskan ‘Indonesian Idol’, matanya melirik sambil cengengesan, jempol kanan diacungkan, tangan kiri bertolak pinggang. “Ini adalah penggambaran bentuk krisis yang luar biasa yaitu krisis diri,” tukas Nasirun.
Kritik diri juga dilontarkan Nano Warsono dalam kumpulan simbol. Ada Mickey Mouse yang berahang Cakil, perempuan berbikini berambut pirang, barisan mulut menganga dengan lidah menjulur, wajah-wajah mengerikan yang ditembus pohon yang dari akarnya meloncat seekor kuda. Di tengah lukisan ‘Narciss van Java’ ini, seorang lelaki dengan malu mengintip dari sela-sela jari yang menutupi wajahnya. Lahir sebagai orang Jawa, Nano merasakan dalam praktiknya Jawa sebagai budaya menjadi kian dangkal dan tanpa pemaknaan. Ia pun merasa kian asing dengan identitas lokal di tengah banyaknya simbol-simbol identitas modern.
Kombinasi lain adalah tradisi dan industri, seperti yang diangkat Arya Panjalu. Dalam ‘Pahlawan Kesepian’, dengan gaya gambar stiker, Bima tampil sambil menudingkan jari tengah kanannya, sementara tangan kirinya menyembulkan kuku pancanaka, dan berteriak, “Ini Jawa Bung…!!” Jari tengah itu tentu saja suatu penghinaan, sementara kata-katanya mengesankan arogansi. Secara politis, kesan ini mungkin dikaitkan dengan Jawa --sebagai pulau, suku dan budaya—yang dominan di negeri ini.Tapi dalam catatannya, Arya ternyata lebih melihatnya sebagai termajinalkannya tokoh Bima sebagai simbol kekuatan dan keperkasaan (seks) dalam industri konsumsi.
Meski temanya menarik, terkesan lukisan-lukisan dalam pameran kali ini kurang ‘menggigit’. Tidak ada yang memaksa kita terhenyak atau tergetar lalu lama termangu. Sesuatu yang telak disodorkan di wajah kita sambil berkata, “Ini baru Jawa yang baru.”