Selasa, 17 Juni 2008

Yogya tidak lagi "Alon-alon Waton Kelakon"

Di kawasan Gamping, sebuah pengembang membangun hunian berbasis informasi dan teknologi. Obsesinya, interaksi para penghuninya nanti bisa melalui dunia maya. Rapat RT cukup lewat internet. Kerja bakti pun jangan-jangan hanya dilakukan di dunia maya?

Konsep perumahan futuristic itu didesain Tiga saudara, pengembang perumahan di Yogyakarta. Perusahaan itu berani membuat konsep seperti itu setelah menyaksikan betapa masyarakat Yogya tergila-gila internet. Warnet dan hotspot kini ada di mana-mana.

Ini sekadar gambaran betapa Yogyakarta sudah berubah demikian dahsyat dalam 10 tahun terakkhir. Perubahan paling mencolok terjadi di kabupaten Sleman. Seiring dengan berkembangnya kawasan kampus, muncul pula sentra-sentra bisnis baru.

Sepanjang jalan Kaliurang, misalnya, kini berderet kafe, restoran, kedai kopi dan warnet. Padahal, sekitar tahun 1990-an, jalan itu baru sebatas tempat mangkal pedagang kaki lima. Dikawasan itu juga kini berdiri perumahan-perumahan mewah yang harganya setinggi langit.

Perumahan bale Hinggil, rumah dengan luas tanah 300-400 meter persegi dijual dengan harga Rp. 1,5 miliar hingga Rp. 4 miliar lebih. Perumahan Arvia Mulia di Condong Catur, dengan luas tanah hanya 170 meter persegi harganya sudah lebih dari Rp. 600 juta.

Menurut Hamdani, Direktur Formula Land, pengembang yang membangun perumahan besar di Yogyakarta, pembeli rumah mewah di Yogya 60 persen adalah orang Yogya sendiri.

Ia menambahkan, harga tanah di kota ini dari tahun ke tahun melonjak tinggi. Banyaknya pendatang yang ingin tinggal di Yogyakarta menjadi pemicu mahalnya harga tanah.

“Di Indonesia, harga tanah di Yogyakarta menduduki urutan ketiga paling tinggi setelah JakartaBali,” ungkapnya. Lebih gila lagi, setiap tahun, harganya naik sekitar 30-40 persen. dan

Perubahan juga terlihat di kawasan Gejayan. Kawasan itu sekarang penuh dengan toko telepon genggam, butik kecil dan pusat perawatan kecantikan. Perubahan,bahkan, merambah hingga ke pelosok kampung dan jalan tikus.

Tengok kawasan Seturan di pinggir Selokan Mataram dan Babarsari. Kawasan itu dulu sepi dan gelap. Saking gelapnya, dulu banyak pengendara motor atau sepeda nyemplung ke dalam selokan yang dalamnya sekitar dua meter dari permukaan jalan.

Sekarang kawasan itu gemerlap. Restoran, kedai kopi, warnet, arena olah raga berbayar, hinga kafe diskotik tumplek blek di sana. Jika malam tiba, tidak terdengar lagi suara jangkrik atau kodok, digantikan suara house music dari kafe-discotic yang disebut orang Jogja sebagai kafe ajep-ajep.

Simbol modernitas semakin kuat ketika Ambarukmo Plaza (Amplas) berdiri tahun 2006. Mal besar dengan konsep mewah seperti di Jakarta menarik pengunjung yang biasa berbelanja atau nongkrong di kawasan Malioboro dan jalan Solo.

Interaksi fisik

Interaksi sosial di Yogyakarta ikut-ikutan berubah. Sejak hot-spot bertebaran di mana-mana, interkasi fisik mulai tergantikan dengan interaksi melalui media internet. Atika Nurkoestanti, mahasiswa UGM, mengatakan, dia sering datang ke kafe ber hotspot dengan teman-temannya.Di sana mereka tenggelam dengan laptop masing-masing. “Meski berdekatan, ngobrol pun lewat fasilitas chatting,” katanya.

Bahkan, tempat yang biasanya sangat guyup seperti angkringanpun mulai berubah gara-gara hotspot. Di angkringan ber-hotspot Yayasan Umar Kayam, misalnya, pengunjung tak lagi bercakap-cakap dan curhat seperti dulu, melainkan masing-masing tenggelam dalam dunia maya.

Iwan Pribadi, pemilik angkringan itu, mengatakan, banyak pelanggannya yang menjadi autis jika sudah menghidupkan laptop dan main internet. “Kalau sudah jengkel, kami matikan hotspot. Setelah itu, mereka kami paksa untuk ngobrol dan guyup lagi.” Ujarnya.

Motornya mahasiswa

Bagaimana menjelaskan perubahan itu? Sosiolog UGM, Arie Sujito, mengatakan, perubahan di Yogyakarta berlangsung cepat karena kelas menengah di kota ini jumlahnya besar, khususnya mahasiswa. “Mereka dengan mudah menyerap hal-hal baru,” katanya.

Mereka ini merupakan pasar yang menggiurkan. Karena itu, pemilik modal besar kecil berlomba-lomba berbisnis di sini. Setiap tahun, ada saja tren bisnis baru, mulai dari wartel, warnet, gamezone, laundry mahasiswa, kafe dan sekarang futsal. “Di sini liberalalisasi ekonomi bertemu dengan booming teknologi,” katanya.

Namun, lanjut Arie, perubahan cepat di beberapa tempat tidak serta merta mewakili wajah Yogya secara keseluruhan. Pasalnya, perubahan hanya terjadi di kawasan sekitar kampus.

Sampai tahun 2006, misalnya, menurut data BPS, jumlah warnet di Sleman mencapai 117 buah, kota Yogya 37, Bantul 37, sedangkan di Gunung Kidul dan Kulon Progo yang jauh dari kawasan kampus masing-masing hanya ada lima dan empat warnet. Senjang bukan ?

Kawasan bisnis baru akan menyebar ke daerah-daerah pinggiran meski pusatnya tetap di sekitar kampus. Itu berarti perubahan akan terjadi secara terus-menerus dan cepat.

Percepatan pembangunan yang demikian dahsyat di Yogya perlahan akan menggeser masyarakat Yogya. Mereka yang masih berpegang pada filosofi alon-alon waton kelakon (pelan-pelan asal kesampaian) kini dipacu untuk mengikuti perubahan dengan cepat. ***

Kompas, 8 Juni 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar