Di kawasan Gamping, sebuah pengembang membangun hunian berbasis informasi dan teknologi. Obsesinya, interaksi para penghuninya nanti bisa melalui dunia maya. Rapat RT cukup lewat internet. Kerja bakti pun jangan-jangan hanya dilakukan di dunia maya?
Konsep perumahan futuristic itu didesain Tiga saudara, pengembang perumahan di
Ini sekadar gambaran betapa
Sepanjang jalan Kaliurang, misalnya, kini berderet kafe, restoran, kedai kopi dan warnet. Padahal, sekitar tahun 1990-an, jalan itu baru sebatas tempat mangkal pedagang kaki
Perumahan bale Hinggil, rumah dengan luas tanah 300-400 meter persegi dijual dengan harga Rp. 1,5 miliar hingga Rp. 4 miliar lebih. Perumahan Arvia Mulia di Condong Catur, dengan luas tanah hanya 170 meter persegi harganya sudah lebih dari Rp. 600 juta.
Menurut Hamdani, Direktur Formula Land, pengembang yang membangun perumahan besar di Yogyakarta, pembeli rumah mewah di Yogya 60 persen adalah orang Yogya sendiri.
Ia menambahkan, harga tanah di
“Di Indonesia, harga tanah di Yogyakarta menduduki urutan ketiga paling tinggi setelah
Perubahan juga terlihat di kawasan Gejayan. Kawasan itu sekarang penuh dengan toko telepon genggam, butik kecil dan pusat perawatan kecantikan. Perubahan,bahkan, merambah hingga ke pelosok kampung dan jalan tikus.
Tengok kawasan Seturan di pinggir Selokan Mataram dan Babarsari. Kawasan itu dulu sepi dan gelap. Saking gelapnya, dulu banyak pengendara motor atau sepeda nyemplung ke dalam selokan yang dalamnya sekitar dua meter dari permukaan jalan.
Sekarang kawasan itu gemerlap. Restoran, kedai kopi, warnet, arena olah raga berbayar, hinga kafe diskotik tumplek blek di
Simbol modernitas semakin kuat ketika
Interaksi fisik
Interaksi sosial di
Bahkan, tempat yang biasanya sangat guyup seperti angkringanpun mulai berubah gara-gara hotspot. Di angkringan ber-hotspot Yayasan Umar Kayam, misalnya, pengunjung tak lagi bercakap-cakap dan curhat seperti dulu, melainkan masing-masing tenggelam dalam dunia maya.
Iwan Pribadi, pemilik angkringan itu, mengatakan, banyak pelanggannya yang menjadi autis jika sudah menghidupkan laptop dan main internet. “Kalau sudah jengkel, kami matikan hotspot. Setelah itu, mereka kami paksa untuk ngobrol dan guyup lagi.” Ujarnya.
Motornya mahasiswa
Bagaimana menjelaskan perubahan itu? Sosiolog UGM, Arie Sujito, mengatakan, perubahan di Yogyakarta berlangsung cepat karena kelas menengah di
Mereka ini merupakan pasar yang menggiurkan. Karena itu, pemilik modal besar kecil berlomba-lomba berbisnis di sini. Setiap tahun, ada saja tren bisnis baru, mulai dari wartel, warnet, gamezone, laundry mahasiswa, kafe dan sekarang futsal. “Di sini liberalalisasi ekonomi bertemu dengan booming teknologi,” katanya.
Namun, lanjut Arie, perubahan cepat di beberapa tempat tidak serta merta mewakili wajah Yogya secara keseluruhan. Pasalnya, perubahan hanya terjadi di kawasan sekitar kampus.
Sampai tahun 2006, misalnya, menurut data BPS, jumlah warnet di Sleman mencapai 117 buah, kota Yogya 37, Bantul 37, sedangkan di Gunung Kidul dan Kulon Progo yang jauh dari kawasan kampus masing-masing hanya ada lima dan empat warnet. Senjang bukan ?
Kawasan bisnis baru akan menyebar ke daerah-daerah pinggiran meski pusatnya tetap di sekitar kampus. Itu berarti perubahan akan terjadi secara terus-menerus dan cepat.
Percepatan pembangunan yang demikian dahsyat di Yogya perlahan akan menggeser masyarakat Yogya. Mereka yang masih berpegang pada filosofi alon-alon waton kelakon (pelan-pelan asal kesampaian) kini dipacu untuk mengikuti perubahan dengan cepat. ***
Kompas, 8 Juni 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar