Selasa, 17 Juni 2008

Industri Kreatif

Membangkitkan Ekonomi Bernilai Tambah Tinggi

Arsitektur, produk mode, barang kerajinan, musik, lukisan, atau pertunjukkan seni bukan barang baru. Meski begitu, pemerintah memasukkannya ke dalam kelompok industri kreatif.

Industri kreatif atau sering disebut juga ekonomi kreatif semakin mendapat perhatian utama banyak Negara karena industri ini memberi kontribusi nyata terhadap perekonomian Negara.

Selain menyumbang pada ekspor, penyerapan tenaga kerja, dan Produk Domestic Bruto (PDB), ekonomi berbasis ide kreatif ini juga dianggap tidak terlalu bergantung pada sumber daya alam tak terbarukan. Dengan kata lain, dapat menjadi ramah lingkungan, sejalan dengan kebutuhan mengurangi kerusakan lingkungan.

“Yang termasuk di dalam industri kreatif bukan industri baru. Masalahnya, bagaimana membangkitkan industri ini agar memberi nilai tambah ekonomi lebih tinggi. Nilai ekonomi industri ini diangkat karena keragaman budaya kita tinggi dan manusianya secara alamiah kreatif. Ini potensi dan daya saing kita,” kata Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu.

Dalam Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025 yang disusun Departemen Perdagangan, ada 14 industri yang diidentifikasi sebagai industri kreatif: 1) arsitektur, 2) desain, 3) kerajinan, 4) layanan komputer dan piranti lunak, 5) mode, 6) musik, 7) pasar seni dan barang antik, 8) penerbitan dan percetakan, 9) periklanan, 10) permainan interaktif, 11) riset dan pengembangan, 12) seni pertunjukkan, 13) televisi dan radio, 14) video, film dan fotografi.

Negara yang dianggap pertama kali menaruh perhatian serius pada industri atau ekonomi kreatif adalah Inggris pada tahun 1997. Hasil pemetaan mereka memperlihatkan, industri menyumbang 7,9 persen pada PDB Negara itu, tumbuh 9 persen pada tahun 1999-2000 dibanding total ekonomi sebesar 2,8 persen. Nilai ekspornya 8,7 miliar pound atau 3,3 persen dari total ekspor tahun 2000, tumbuh 13 persen dalam periode 1997-2000, sementar ekspor barang dan jasa tumbuh hanya 5 persen. Sedangkan penyerapan tenaga kerja pada tahun 2001 sebesar 1,95 juta tenaga kerja, tumbuh 5 persen per tahun, sementara penyerapan tenaga kerja oleh total industri di Inggris hanya tumbuh 1,5 persen.

Studi Industri Kreatif Indonesia 2007 oleh Departemen Perdagangan menyebutkan ke-14 industri kreatif Indonesia menyumbang rata-rata Rp. 104,638 triliun pada 2002-2006 untuk PDB, lebih besar daripada kontribusi sector pengangkutan dan komunikasi, bangunan, listrik, gas dan air bersih. Pada periode sama, menyerap 5,4 juta tenaga kerja dengan produktifitas Rp. 19,5 juta per pekerja per tahun dibandingkan dengan produktivitas nasional yang rata-rat Rp. 18 juta.

Implementasi

Definisi industri kreatif yang digunakan pemerintah mengadopsi definisi pemerintah Inggris, yaitu proses peningkatan nilai tambah hasil eksploitasi kekayaan intelektual berupa kreativitas, keahlian dan bakat individu menjadi produk yang dapat dijual sehingga meningkatkan kesejahteraan bagi pelaksana dan orang yang terlibat.

Definisi ini memperlihatkan pentingnya ide kreatif. Tetapi, ide kreatif tersebut membutuhkan transformasi agar dapat menjadi produk bernilai ekonomi.

Di dalam peta industri kreatif, pemerintah membuat model berdasarkan pada individu kreatif dengan lima pilar utama: 1) industri yg terlibat dalam produksi industri kreatif; 2) teknologi sebagai pendukung mewujudkan kreativitas individu; 3) sumber daya seperti sumber daya alam dan lahan; 4) kelembagaan mulai dari norma dan nilai di masyarakat, asosiasi industri dan komunitas pendukung hingga perlindungan atas kekayaan intelektual; dan 5) lembaga intermediasi keuangan.

Aktor utama yang terlibat adalah intelektual, termasuk budayawan, seniman, pendidik, peneliti, penulis, pelopor di sanggar budaya, serta tokoh di bidang seni, budaya dan ilmu pengetahuan, bisnis, yaitu pelaku usaha yg mentransformasi kreativitas menjadi produk bernilai ekonomi; dan pemerintah sebagai katalisator dan advokasi, regulator, konsumen, investor dan wiraswasta, serta perencana kota.

“Kunci semua itu implementasi hasil pemetaan. Kami di pemerintahan mulai berkoordinasi. Dari cetak biru ini harus ada rencana aksi dari tiap lembaga terkait. Dari situ harus ada mekanisme koordinasi, bisa di lembaga menko yang ada atau lembaga pemerintah yang dijalankan seperti swasta,” kata Mari.

Di dalam implementasi itu termasuk memastikan ekonomi kreatif tidak berada hanya pada 14 sektor tersebut. Berdasarkan pengalaman Negara-negara lain, tahap itu baru fase pertama dari ekonomi kreatif. Fase berikut, proses kreatif harus ada di semua kegiatan ekonomi.

Indonesia, menurut Mari Pangestu, sebetulnya mulai memasuki tahap tersebut. Industri keramik kelas dunia Royal Doulton dari Inggris yang motifnya dibuat dengan lukisan tangan, misalnya, membuka pabrik di Jakarta sebagai satu-satunya pabrik di luar Inggris karena percaya kepada kreativitas dan ketrampilan orang Indonesia. Seniman batik Iwan Tirta, misalnya, diminta mendesain motif untuk peralatan makan. Begitu juga sepatu Nike dan Adidas mulai membuat desain sepatunya disini.

Fase terakhir adalah pada akhirnya konsumen menentukan arah, dinamika dan evolusi ekonomi kreatif.

“Ini menyangkut isu demografi. Hampir semua pasar baru, termasuk Indonesia, memiliki lebih banyak penduduk usia muda daripada orang dewasa. Mereka sumber ekonomi kreatif sekaligus pasar. Dinamika ini harus kita pahami,” tambah Mari.

Secara terpisah, perwakilan dan Direktur UNESCO- Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB- di Indonesia, Hubert Gijzen, juga menekankan pentingnya melindungi warisan budaya yang intangible, yaitu manusia.

“Mereka bukan monument, tetapi manusia. Mereka yang memiliki keterampilan dan kreativitas. Mereka adalah sumber dari keberagaman budaya. Memastikan transmisi budaya terjadi dari generasi ke generasi penting untuk berlanjutnya kreativitas,” tandas Gijzen dalam seminar.

Kompas, 12 Juni 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar