Rabu, 17 September 2008
Pameran Lukis angkatan 82
Para perupa Institut Seni Indonesia angkatan 1982 sedang berpose dalam suatu pameran di Bentara Yogyakarta. Di depan adalah para mahasiswi Diskomvis angkatan 1986.
Minggu, 07 September 2008
Ilustrasi Cerpen Tidak Bersalah
Mengapa ilustrasi cerpen di Kompas Minggu dianggap mengganggu ke”khusukan” pembaca teks cerpen itu sendiri? Sebegitu “perkasa” nyakah ilustrasi cerpen hingga sanggup “menyurutkan kekuatan gaib kata-kata” yang sudah dibangun (tentunya) dengan sungguh-sungguh oleh para pengarang?
Salahkah ilustrasi-ilustrasi tersebut?
Saya juga termasuk penikmat Kompas Minggu yang berharap dapat selalu dikagetkan akan munculnya ilustrasi-ilustrasi cerpen yang ‘mengejutkan’, ‘segar’, dan ‘tidak biasa-biasa saja’ serta tidak membosankan sehingga tidak cukup alasan buat penikmat cerpen (plus ilustrasi) untuk berpikir bahwa ilustrasi-ilustrasi tersebut “bisa saja tidak usah dihiraukan” keberadaannya.
Namun dalam hal ini, ilustrasi ‘yang segar dan tidak biasa-biasa saja’ bagi saya adalah yang mengganggu, terutama karena ‘keelokan’ tata rupanya. Tidak menjadi keharusan benar apakah ilustrasi itu mampu menjelaskan atau mengusung makna dari teks yang terkandung dalam cerpen tersebut. Yang saya harapkan adalah ilustrasi setidaknya mampu mengimbangi tema yang diangkat oleh cerpen. Dia perlu bersaing menjadi sama menariknya dengan isi cerita pendek itu sendiri. Sehingga ketika bersanding dengan cerpen, lewat kekuatan tata rupanya, peran ilustrasi buat memikat pembaca tersampaikan. Pembaca betah membaca cerpen tersebut dan betah menatap ilustrasinya. Sebaliknya, andai ilustrasi tersebut dilepaskan dari cerpen, dia juga mampu berdiri sendiri sebagai karya yang utuh (mungkin ini termasuk pandangan ‘khas perupa’).
Bukan rahasia umum bahwasanya ada dari kita justru tergoda membaca cerpen (atau buku) seringkali berawal dari ilustrasinya (atau covernya). Terkecuali kita memang mempunyai pengarang-pengarang favorit tertentu yang bisa saja membuat peran ilustrasi (atau cover buku) cenderung diabaikan begitu saja.
Serius
Sejauh yang saya ikuti, Kompas termasuk sangat serius dalam menggarap ilustrasi-ilustrasi cerpennya- sehingga membuatnya berbeda dengan kebanyakan harian lain. Dulu kita kerap disuguhi ilustrasi berkarakter khas yang digarap bergantian: Hard, dengan gaya cenderung realistic. Dan cukup lama kita diasyikkan oleh keliaran garis Ipong Purnomo Sidhi. Lalu dalam kurun waktu yang cukup panjang pula kita khusyuk menikmati seni gambar almarhum Semsar Siahaan.
Dan kini, sejak 2002, kita disuguhi variasi ilustrasi yang dibuat oleh banyak perupa Indonesia. Silih berganti, tiap minggu seorang perupa ditampilkan repro “karya khususnya” di rubrik cerpen. Entah sudah berapa puluh atau berapa ratus perupa yang terlibat – yang dipilih oleh ‘koordinator-koordinator perupa’ di wilayah Jakarta, Bandung, Yogya, Malang dan Bali.
Seorang perupa bisa jadi hanya (baru) satu kali berkesempatan menggarap ilustrasi. Perupa lainnya ada yang telah mendapat kesempatan dua-tiga kali bahkan lebih sering lagi. Sementara perupa-perupa yang belum berkesempatan mungkin menunggu atau sedang dijadwalkan, atau mungkin tidak akan pernah mendapat kesempatan karena perbagai criteria yang telah menjadi kebijakan pengelola. Tentu saja akan ada pula perupa-perupa yang enggan dilibatkan dalam proyek ilustrasi ini dengan berbagai alasan masing-masing.
Di kalangan pemerhati, rubrik Cerpen plus ini (plus ilustrasi oleh perupa) disejajarkan dengan galeri, karena termasuk unik, alternative dan menggugah daya cipta (meminjam istilah Wahyudin).
Setiap tahun karya-karya asli perupa yang menjadi ilustrasi cerpen Kompas di tahun sebelumnya dipamerkan di galeri-galeri sesungguhnya, berkeliling di Jakarta, Yogyakarta dan di kota-kota lain.
Saya telah tiga kali mendapat kesempatan mengisi ilustrasi di ‘galeri’ ini. Merasa puas karena dapat bekerja maksimal di kesempatan pertama dan ketiga, tetapi kurang puas karena tidak dapat maksimal di kesempatan kedua.
“Setting” cerita
Saya tidak tahu persis kriteria apa saja yang menjadi rujukan pengelola “galeri” dalam memilih seniman pengisi ilustrasi cerpen Kompas. Mungkin bisa bermacam-macam dan sangat bergantung kecenderungan selera artistik masing-masing “koordinator”. Saya pernah menduga kemiripan setting cerita dari cerpen dengan budaya asal daerah seniman calon pengisi ilustrasi, bisa saja menjadi salah satu pertimbangan ‘koordinator’.
Pertama kali menerima ajakan membuat ilustrasi cerpen Kompas tahun 2002, saya disodori cerpen Ratna Indraswari Ibrahim, Perempuan di jenjang rumah. Saya sempat bertanya-tanya mengapa ilustrasi untuk cerpen tersebut dipercayakan kepada saya.
Apakah asal pilih seniman, yang berarti ‘gambling’, atau ada pertimbangan lain?
Kebetulan cerpen tersebut ber-setting daerah perkampungan air di Kalimantan yang suasananya dan kebiasaan penduduknya mirip-mirip dengan daerah asal saya Palembang Sumatera Selatan. Jadi saya anggap saja pertimbangan tersebut kebetulan diterapkan kepada saya.
Ketika mengamati korelasi setting cerita cerpen-cerpen selanjutnya karya pengarang lain dan seniman-seniman pembuat ilustrasi lain pun, saya melihat sering ada kecocokan sebagaimana halnya kasus yang saya alami.Setting cerita Bali kerap ilustrasinya dibuat perupa asal Bali, setting cerita Sumatera Barat sering ilustrasinya dibuat perupa berdarah minang, setting cerita Jawa atau budaya Jawa sering ilustratornya perupa berdarah Jawa.
Pada kali kedua mendapat order ini pun (2005) saya masih merasa pertimbangan korelasi setting cerita dengan daaerah asal perupa masih diterapkan. Pada waktu itu saya mendapat cerpen Martin Aleida Salawat untuk Pendakwah kami, yang bersetting cerita Melayu Muslim di Sumatera bagian Utara. Ah, saya kira ‘koordinator’ (yang kebetulan sama) menduga Palembang cukup sarat dengan budaya Melayu Muslim pula.
Apakah ada faktor ‘pembisik’ dan ‘koncoisme’ dalam memilih calon penggarap ilustrasi sebagaimana disangkakan oleh tulisan Wahyudin? Wallahualam. Saya kira hal ini dikembalikan pada otoritas pengelola ‘galeri’ ini sendiri.
Saya tidak mengetahui apa yang terjadi dengan ‘koordinator’ di Bandung, Jakarta, Malang ataupun Bali. Tapi menurut saya, ‘koordinator’ di Yogyakarta cukup memiliki otoritas yang dipujikan.
Pernah secara iseng di akhir tahun 2005 saya mengontak ‘koordinator’ agar diagendakan menggarap ilustrasi cerpen lagi. Ketika itu saya dalam tahap melanjutkan pengobatan guna memulihkan kesehatan saya yang banyak memakan biaya. Dalam pikiran saya waktu itu paling tidak honorariumnya bisa buat tambah-tambah keperluan membayar obat dan dokter.
Namun, saya tidak kunjung mendapat garapan ilustrasi dan saya tidak pernah mengontak ‘koordinator’lagi. Hal ini cukup menunjukkan factor ‘koncoisme’ tidak berlaku. ‘Koordinator saat itu lebih memikirkan kepentingan pembaca (penikmat) rubrik ini ketimbang kepentingan lain-lainnya. Suatu hal yang tentunya senantiasa kita harapkan pula.
Di tahun 2007 saya mendapat garapan ilustrasi lagi (kali ini lewat koordinator berbeda). Cerpen F Dewi Ria Utari, Sinai. Tampaknya pertimbangan ‘koordinator’ ini kepada perupa agak berbeda kriterianya dengan kesempatan yang diberikan oleh ‘koordinator’ di tahun 2002 dan 2005. Ia tidak menghubungkan setting cerita dengan budaya asal daerah calon pembuat ilustrasi.
Virus sastra
Bila mengingat ratusan ilustrasi cerpen yang dibuat para perupa (sejak tahun 2002) dari beragam karakter dan kecenderungan visual, tidak semua tampak ‘segar dan mengejutkan’ memang. Ada ilustrasi yang kelihatan dikerjakan sungguh-sungguh, tapi ada juga yang tampak dilakukan setengah hati-mungkin penggarapnya menganggap ilustrasi adalah kerja yang ringan bobotnya dibanding ketika membuat karya utama. Barangkali pula ini adalah resiko yang harus dihadapi pengelola, mengingat proyek ini menyimpan ‘sisi spekulasi’ (spekulasi dalam pengertian perupa yang setuju terlibat ternyata tidak mematuhi aturan main, seperti gagal memenuhi deadline).
Namun jangan lupa; karena ini produk cetakan, adanya peran ‘tangan fotografer’ atau media scanner’, ‘penata letak’, sampai ‘kontrol separasi warna di percetakan’ sedikit banyak berimbas pada kesan yang akan kita terima dalam menikmati ilustrasi. Bisa saja ilustrasi yang aslinya bagus sekali jadi ‘tidak terasa apa’apa’ ketika muncul di Koran. Atau sebaliknya, ilustrasi yang biasa-biasa saja jadi meningkat kualitasnya setelah tercetak.
Lalu, mungkinkah Kompas ‘terlalu jauh’ dengan eksperimentasinya sehingga membuat ‘jengah’ beberapa pembaca setianya? Kalau ini benar, berarti memang saatnya kini ‘menyegarkan diri’, sebagaimana apa yang disarankan dalam tulisan Wahyudin.
Namun betapapun ‘kurang-lebihnya’ pencapaian proyek ‘galery’ ini, di sektor apresiasi sastra pastilah ada hal yang meningkat. Setidaknya, sejumlah perupa yang malas membaca sastra tertulari ‘virus sastra’ – hal yang diyakini para pengamat bakal berimbas baik buat penciptaan karya-karya mereka kedepan. Belum lagi terhitung berapa banyak peminat seni, pemilik galeri atau kolektor lukisan misalnya, yang jadi tertarik membaca cerpen- bila selama ini mereka enggan menyentuhnya.
Apa yang telah dicapai oleh Kompas, ‘terlalu menarik’ dan ‘penuh kejutan’.
Koreksi dan kritik perlu ditindaklanjuti dengan menajamkan kriteria dan memperketat kontrol disana-sini.
Harapannya, ‘galeri’ ini tidak asal menampilkan seniman hanya dikarenakan kurangnya informasi data seniman atau mungkin karena terlalu memuja seorang seniman. Tapi juga tidak asal menjadi ‘parade’ atau ‘ajang arisan’ seniman hanya karena ingin merespons kritik dan memenuhi selera pembaca tertentu pula. Pastinya pula Kompas akan memiliki alasan yang kuat ketika kali tertentu berkepentingan menampilkan ‘perupa langganan’ atau ‘perupa yang itu-itu saja’, karena hal seperti ini pantas-pantas saja …
Syahrizal Pahlevi, Kompas, 31 Agustus 2008
Salahkah ilustrasi-ilustrasi tersebut?
Saya juga termasuk penikmat Kompas Minggu yang berharap dapat selalu dikagetkan akan munculnya ilustrasi-ilustrasi cerpen yang ‘mengejutkan’, ‘segar’, dan ‘tidak biasa-biasa saja’ serta tidak membosankan sehingga tidak cukup alasan buat penikmat cerpen (plus ilustrasi) untuk berpikir bahwa ilustrasi-ilustrasi tersebut “bisa saja tidak usah dihiraukan” keberadaannya.
Namun dalam hal ini, ilustrasi ‘yang segar dan tidak biasa-biasa saja’ bagi saya adalah yang mengganggu, terutama karena ‘keelokan’ tata rupanya. Tidak menjadi keharusan benar apakah ilustrasi itu mampu menjelaskan atau mengusung makna dari teks yang terkandung dalam cerpen tersebut. Yang saya harapkan adalah ilustrasi setidaknya mampu mengimbangi tema yang diangkat oleh cerpen. Dia perlu bersaing menjadi sama menariknya dengan isi cerita pendek itu sendiri. Sehingga ketika bersanding dengan cerpen, lewat kekuatan tata rupanya, peran ilustrasi buat memikat pembaca tersampaikan. Pembaca betah membaca cerpen tersebut dan betah menatap ilustrasinya. Sebaliknya, andai ilustrasi tersebut dilepaskan dari cerpen, dia juga mampu berdiri sendiri sebagai karya yang utuh (mungkin ini termasuk pandangan ‘khas perupa’).
Bukan rahasia umum bahwasanya ada dari kita justru tergoda membaca cerpen (atau buku) seringkali berawal dari ilustrasinya (atau covernya). Terkecuali kita memang mempunyai pengarang-pengarang favorit tertentu yang bisa saja membuat peran ilustrasi (atau cover buku) cenderung diabaikan begitu saja.
Serius
Sejauh yang saya ikuti, Kompas termasuk sangat serius dalam menggarap ilustrasi-ilustrasi cerpennya- sehingga membuatnya berbeda dengan kebanyakan harian lain. Dulu kita kerap disuguhi ilustrasi berkarakter khas yang digarap bergantian: Hard, dengan gaya cenderung realistic. Dan cukup lama kita diasyikkan oleh keliaran garis Ipong Purnomo Sidhi. Lalu dalam kurun waktu yang cukup panjang pula kita khusyuk menikmati seni gambar almarhum Semsar Siahaan.
Dan kini, sejak 2002, kita disuguhi variasi ilustrasi yang dibuat oleh banyak perupa Indonesia. Silih berganti, tiap minggu seorang perupa ditampilkan repro “karya khususnya” di rubrik cerpen. Entah sudah berapa puluh atau berapa ratus perupa yang terlibat – yang dipilih oleh ‘koordinator-koordinator perupa’ di wilayah Jakarta, Bandung, Yogya, Malang dan Bali.
Seorang perupa bisa jadi hanya (baru) satu kali berkesempatan menggarap ilustrasi. Perupa lainnya ada yang telah mendapat kesempatan dua-tiga kali bahkan lebih sering lagi. Sementara perupa-perupa yang belum berkesempatan mungkin menunggu atau sedang dijadwalkan, atau mungkin tidak akan pernah mendapat kesempatan karena perbagai criteria yang telah menjadi kebijakan pengelola. Tentu saja akan ada pula perupa-perupa yang enggan dilibatkan dalam proyek ilustrasi ini dengan berbagai alasan masing-masing.
Di kalangan pemerhati, rubrik Cerpen plus ini (plus ilustrasi oleh perupa) disejajarkan dengan galeri, karena termasuk unik, alternative dan menggugah daya cipta (meminjam istilah Wahyudin).
Setiap tahun karya-karya asli perupa yang menjadi ilustrasi cerpen Kompas di tahun sebelumnya dipamerkan di galeri-galeri sesungguhnya, berkeliling di Jakarta, Yogyakarta dan di kota-kota lain.
Saya telah tiga kali mendapat kesempatan mengisi ilustrasi di ‘galeri’ ini. Merasa puas karena dapat bekerja maksimal di kesempatan pertama dan ketiga, tetapi kurang puas karena tidak dapat maksimal di kesempatan kedua.
“Setting” cerita
Saya tidak tahu persis kriteria apa saja yang menjadi rujukan pengelola “galeri” dalam memilih seniman pengisi ilustrasi cerpen Kompas. Mungkin bisa bermacam-macam dan sangat bergantung kecenderungan selera artistik masing-masing “koordinator”. Saya pernah menduga kemiripan setting cerita dari cerpen dengan budaya asal daerah seniman calon pengisi ilustrasi, bisa saja menjadi salah satu pertimbangan ‘koordinator’.
Pertama kali menerima ajakan membuat ilustrasi cerpen Kompas tahun 2002, saya disodori cerpen Ratna Indraswari Ibrahim, Perempuan di jenjang rumah. Saya sempat bertanya-tanya mengapa ilustrasi untuk cerpen tersebut dipercayakan kepada saya.
Apakah asal pilih seniman, yang berarti ‘gambling’, atau ada pertimbangan lain?
Kebetulan cerpen tersebut ber-setting daerah perkampungan air di Kalimantan yang suasananya dan kebiasaan penduduknya mirip-mirip dengan daerah asal saya Palembang Sumatera Selatan. Jadi saya anggap saja pertimbangan tersebut kebetulan diterapkan kepada saya.
Ketika mengamati korelasi setting cerita cerpen-cerpen selanjutnya karya pengarang lain dan seniman-seniman pembuat ilustrasi lain pun, saya melihat sering ada kecocokan sebagaimana halnya kasus yang saya alami.Setting cerita Bali kerap ilustrasinya dibuat perupa asal Bali, setting cerita Sumatera Barat sering ilustrasinya dibuat perupa berdarah minang, setting cerita Jawa atau budaya Jawa sering ilustratornya perupa berdarah Jawa.
Pada kali kedua mendapat order ini pun (2005) saya masih merasa pertimbangan korelasi setting cerita dengan daaerah asal perupa masih diterapkan. Pada waktu itu saya mendapat cerpen Martin Aleida Salawat untuk Pendakwah kami, yang bersetting cerita Melayu Muslim di Sumatera bagian Utara. Ah, saya kira ‘koordinator’ (yang kebetulan sama) menduga Palembang cukup sarat dengan budaya Melayu Muslim pula.
Apakah ada faktor ‘pembisik’ dan ‘koncoisme’ dalam memilih calon penggarap ilustrasi sebagaimana disangkakan oleh tulisan Wahyudin? Wallahualam. Saya kira hal ini dikembalikan pada otoritas pengelola ‘galeri’ ini sendiri.
Saya tidak mengetahui apa yang terjadi dengan ‘koordinator’ di Bandung, Jakarta, Malang ataupun Bali. Tapi menurut saya, ‘koordinator’ di Yogyakarta cukup memiliki otoritas yang dipujikan.
Pernah secara iseng di akhir tahun 2005 saya mengontak ‘koordinator’ agar diagendakan menggarap ilustrasi cerpen lagi. Ketika itu saya dalam tahap melanjutkan pengobatan guna memulihkan kesehatan saya yang banyak memakan biaya. Dalam pikiran saya waktu itu paling tidak honorariumnya bisa buat tambah-tambah keperluan membayar obat dan dokter.
Namun, saya tidak kunjung mendapat garapan ilustrasi dan saya tidak pernah mengontak ‘koordinator’lagi. Hal ini cukup menunjukkan factor ‘koncoisme’ tidak berlaku. ‘Koordinator saat itu lebih memikirkan kepentingan pembaca (penikmat) rubrik ini ketimbang kepentingan lain-lainnya. Suatu hal yang tentunya senantiasa kita harapkan pula.
Di tahun 2007 saya mendapat garapan ilustrasi lagi (kali ini lewat koordinator berbeda). Cerpen F Dewi Ria Utari, Sinai. Tampaknya pertimbangan ‘koordinator’ ini kepada perupa agak berbeda kriterianya dengan kesempatan yang diberikan oleh ‘koordinator’ di tahun 2002 dan 2005. Ia tidak menghubungkan setting cerita dengan budaya asal daerah calon pembuat ilustrasi.
Virus sastra
Bila mengingat ratusan ilustrasi cerpen yang dibuat para perupa (sejak tahun 2002) dari beragam karakter dan kecenderungan visual, tidak semua tampak ‘segar dan mengejutkan’ memang. Ada ilustrasi yang kelihatan dikerjakan sungguh-sungguh, tapi ada juga yang tampak dilakukan setengah hati-mungkin penggarapnya menganggap ilustrasi adalah kerja yang ringan bobotnya dibanding ketika membuat karya utama. Barangkali pula ini adalah resiko yang harus dihadapi pengelola, mengingat proyek ini menyimpan ‘sisi spekulasi’ (spekulasi dalam pengertian perupa yang setuju terlibat ternyata tidak mematuhi aturan main, seperti gagal memenuhi deadline).
Namun jangan lupa; karena ini produk cetakan, adanya peran ‘tangan fotografer’ atau media scanner’, ‘penata letak’, sampai ‘kontrol separasi warna di percetakan’ sedikit banyak berimbas pada kesan yang akan kita terima dalam menikmati ilustrasi. Bisa saja ilustrasi yang aslinya bagus sekali jadi ‘tidak terasa apa’apa’ ketika muncul di Koran. Atau sebaliknya, ilustrasi yang biasa-biasa saja jadi meningkat kualitasnya setelah tercetak.
Lalu, mungkinkah Kompas ‘terlalu jauh’ dengan eksperimentasinya sehingga membuat ‘jengah’ beberapa pembaca setianya? Kalau ini benar, berarti memang saatnya kini ‘menyegarkan diri’, sebagaimana apa yang disarankan dalam tulisan Wahyudin.
Namun betapapun ‘kurang-lebihnya’ pencapaian proyek ‘galery’ ini, di sektor apresiasi sastra pastilah ada hal yang meningkat. Setidaknya, sejumlah perupa yang malas membaca sastra tertulari ‘virus sastra’ – hal yang diyakini para pengamat bakal berimbas baik buat penciptaan karya-karya mereka kedepan. Belum lagi terhitung berapa banyak peminat seni, pemilik galeri atau kolektor lukisan misalnya, yang jadi tertarik membaca cerpen- bila selama ini mereka enggan menyentuhnya.
Apa yang telah dicapai oleh Kompas, ‘terlalu menarik’ dan ‘penuh kejutan’.
Koreksi dan kritik perlu ditindaklanjuti dengan menajamkan kriteria dan memperketat kontrol disana-sini.
Harapannya, ‘galeri’ ini tidak asal menampilkan seniman hanya dikarenakan kurangnya informasi data seniman atau mungkin karena terlalu memuja seorang seniman. Tapi juga tidak asal menjadi ‘parade’ atau ‘ajang arisan’ seniman hanya karena ingin merespons kritik dan memenuhi selera pembaca tertentu pula. Pastinya pula Kompas akan memiliki alasan yang kuat ketika kali tertentu berkepentingan menampilkan ‘perupa langganan’ atau ‘perupa yang itu-itu saja’, karena hal seperti ini pantas-pantas saja …
Syahrizal Pahlevi, Kompas, 31 Agustus 2008
Novel Grafis
Apa kabar Novel Grafis Indonesia? Tahun2004 Beng Rahardian membuat Selamat Pagi Urbaz yang spesifik memberi label novel grafis, bukan komik.
Sejak itu, walau jalan menuju novel grafis sudah dirintis, perkembangannya suram. Anak-anak muda menganggap hal yang bergambar termasuk komik. Sedangkan orang dewasa yang mencintai novel menganggap sesuatu bernama komik enggak sastrawi.
Babak berikutnya, novel grafis mulai dikenal di Indonesia. Tapi yang laku didominasi terjemahan asing.
Mirna Yulistianti, editor penerbit Gramedia Pustaka Utama (GPU), menyatakan sulit menemukan komikus Indonesia yang bertahan membuat membuat novel grafis dengan alur cerita berbobot. Kebanyakan jago ilustarsi komik, tapi tak bisa bertahan dengan cerita panjang.
Ini diakui Suryo Nugroho dari studio ilustrasi komik rumah warna. “Memang gambar-gambar kita diakui dunia, tapi untuk cerita masih kalah,” katanya.
Menurut Mirna, novel grafis membuka peluang komikus Indonesia berkarya. Pembaca novel grafis pun mulai bergairah. “Banyak produk dalam negeri yang potensial dibuat novel grafis, tapi masih jarang ada yang mengajukannya,” katanya.
Beda dengan komik
Beredar berbagai pengertian novel grafis ini. “Untuk memudahkan, novel grafis itu pasti komik, namun tak setiap komik masuk criteria novel grafis,” kata Mirna.
Novel grafis ceritanya lebih spesifik, unik dan kompleks. Kadang hanya bisa dinikmati kalangan umur terentu. Ini karena terkait ide filosofis dan politis penulis.
Novel grafis juga ada ketentuan minimal halaman. Biasanya komik tipis, tapi serinya panjang. Novel grafis halamannya banyak, bisa ratusan, tapi serinya tak panjang, satu buku selesai.
GPU memperkenalkan novel grafis tahun 2006 dengan menerbitkan novel grafis, Marjane Satrapi, Bordir. Best seller dipegang Chicken Soup for the Soul. Grafis buku ini dikerjakan Kim Dongwa dari Korea yang mengadaptasi buku Chicken Soup. “Gaya manga dan gambar bersih menjadi daya tarik,” katanya.
Belum tenar
Genre novel grafis belum tenar. Ini mengakibatkan komikus jarang bermain di ranah novel grafis. Mereka bertahan di komik.
Menurut Rendra M Ridwan, Creative Director Sekolah Komik Pipilaka Bandung dan Yanuar Rahman, CEO Sekolah Komik Pipilaka, dalam aktivitas mereka belum mendalami novel grafis.
Salah satu yang memicu hadirnya novel grafis adalah karena komik tipis dengan ceritanya yang ringan seperti Superman itu dianggap kekanak-kanakan.
Orang yang dianggap membuat dasar-dasar novel grafis adalah Will Eisner dari AS yang membuat novel grafis, Contract with God. Dengan ratusan halaman, karya ini beda dengan komik superhero yang tipis.
Masalahnya, definisi itu rancu lagi sejak DC dan Marvel membuat komik superhero dalam bentuk tebal.
Kompas, 8 Agustus 2008
Sejak itu, walau jalan menuju novel grafis sudah dirintis, perkembangannya suram. Anak-anak muda menganggap hal yang bergambar termasuk komik. Sedangkan orang dewasa yang mencintai novel menganggap sesuatu bernama komik enggak sastrawi.
Babak berikutnya, novel grafis mulai dikenal di Indonesia. Tapi yang laku didominasi terjemahan asing.
Mirna Yulistianti, editor penerbit Gramedia Pustaka Utama (GPU), menyatakan sulit menemukan komikus Indonesia yang bertahan membuat membuat novel grafis dengan alur cerita berbobot. Kebanyakan jago ilustarsi komik, tapi tak bisa bertahan dengan cerita panjang.
Ini diakui Suryo Nugroho dari studio ilustrasi komik rumah warna. “Memang gambar-gambar kita diakui dunia, tapi untuk cerita masih kalah,” katanya.
Menurut Mirna, novel grafis membuka peluang komikus Indonesia berkarya. Pembaca novel grafis pun mulai bergairah. “Banyak produk dalam negeri yang potensial dibuat novel grafis, tapi masih jarang ada yang mengajukannya,” katanya.
Beda dengan komik
Beredar berbagai pengertian novel grafis ini. “Untuk memudahkan, novel grafis itu pasti komik, namun tak setiap komik masuk criteria novel grafis,” kata Mirna.
Novel grafis ceritanya lebih spesifik, unik dan kompleks. Kadang hanya bisa dinikmati kalangan umur terentu. Ini karena terkait ide filosofis dan politis penulis.
Novel grafis juga ada ketentuan minimal halaman. Biasanya komik tipis, tapi serinya panjang. Novel grafis halamannya banyak, bisa ratusan, tapi serinya tak panjang, satu buku selesai.
GPU memperkenalkan novel grafis tahun 2006 dengan menerbitkan novel grafis, Marjane Satrapi, Bordir. Best seller dipegang Chicken Soup for the Soul. Grafis buku ini dikerjakan Kim Dongwa dari Korea yang mengadaptasi buku Chicken Soup. “Gaya manga dan gambar bersih menjadi daya tarik,” katanya.
Belum tenar
Genre novel grafis belum tenar. Ini mengakibatkan komikus jarang bermain di ranah novel grafis. Mereka bertahan di komik.
Menurut Rendra M Ridwan, Creative Director Sekolah Komik Pipilaka Bandung dan Yanuar Rahman, CEO Sekolah Komik Pipilaka, dalam aktivitas mereka belum mendalami novel grafis.
Salah satu yang memicu hadirnya novel grafis adalah karena komik tipis dengan ceritanya yang ringan seperti Superman itu dianggap kekanak-kanakan.
Orang yang dianggap membuat dasar-dasar novel grafis adalah Will Eisner dari AS yang membuat novel grafis, Contract with God. Dengan ratusan halaman, karya ini beda dengan komik superhero yang tipis.
Masalahnya, definisi itu rancu lagi sejak DC dan Marvel membuat komik superhero dalam bentuk tebal.
Kompas, 8 Agustus 2008
SENI GRAFIS ; Stagnasi karena Sindrom Rendah Diri
Pembicaraan Seni Grafis di Indonesia bisa dibilang tak pernah beranjak. Kalau tidak berkutat pada pertanyaan-pertanyaan dasar dan pemula – apa itu Seni Grafis – yang diributkan selalu kedudukan Seni Grafis sebagai “warga kelas dua”, sebagai karya reproduksi, sehingga akhirnya tak berdaya di tengah percaturan seni modern, apalagi kontemporer. Simfoni panjang keluh kesah itu dari dulu terus bersambung, bahkan hingga pembicaraan di Utan kayu, Jakarta, awal Mei lalu (Kompas, 8/4 dan 9/4).
Pandangan bahwa Seni Grafis adalah “warga kelas dua” rasanya tak perlu dibahas lagi. Sebab, begitulah sejarahnya, dalam wacana seni rupa Barat yang mengagungkan seni Lukis dan Patung. Pada mulanya, seni Grafis memang diniatkan menjadi semacam kiat untuk memecahkan masalah-masalah praktis –ekonomis. Para perupa butuh hidup. Namun, dengan lukisan-lukisan berukuran besar mustahil mereka dapat menjaring lebih banyak orang untuk memilikinya.
Oleh karena itu, kita menyaksikan banyak pelukis dan pematung masyhur nyambi jadi pegrafis. Sebut saja, Rembrandt van Rijn (Belanda), Pablo Picasso (Spanyol), George Braque (Perancis), Marc Chagall (Rusia), Joan Miro (Spanyol), ataupun Alexander Calder (AS). Tetapi nyambi-nya Picasso dan Chagall, misalnya, menghasilkan serial litografi yang kualitas artistiknya tidak lebih rendah ketimbang lukisan mereka. Bahkan dalam perjalanan sejarah, mereka juga menghasilkan pegrafis tulen, semacam Katie Kollwitz, yang karyanya pernah digelar di Jakarta pada Maret 1991. Dengan memanfaatkan secara cermat teknik grafis, baik litografi, etsa maupun cukil kayu, seniwati Jerman itu diakui berhasil menciptakan “ikon-ikon visual” dunia, dengan bobot yang tak tergantikan bahkan oleh seni lukis. Di tangannya yang sering belepotan tinta bak “tukang cetak” itu Seni Grafis menjadi otonom – bukan lagi Seni Lukis yang diperbanyak lewat teknik cetak mencetak.
Tentu saja, ekses selalu muncul. Ketika karya seni rupa menjadi komoditas perdagangan internasional, soal “perbanyakan” ternyata juga mengusung kerepotan: memberi peluang untuk melakukan kecurangan dan pemalsuan, baik oleh senimannya sendiri atau pihak lain. Inilah yang diceritakan Jais hadiana, hampir sebulan berselang sepulangnya ia dari mengikuti “pasar seni” di Paris. Art dealer pemilik Darga Gallery di Bali dan Darga Lansberg Gallery di Paris ini memang memperdagangkan lukisan Renoir, Miro, ataupun Chagall. Tetapi, karya lito, no. “Rumit. Susah sekali menentukan orisinalitasnya, sehingga jarang art dealer yang berani,” kata Jais.
Cerita Jai situ wajar. Maklum. Ketika bangkrut, Rembrant yang karya etsanya terkenal bergaris lembut bak beludru – sehingga hanya jelas terlihat pada 25-40 cetakan pertama- ternyata mencetak ulang gambar-gambar lama dan memasarkannya. Sementara Kompas, awal Mei lalu, memberitakan bahwa diantara warisan Picasso yang diperebutkan para ahli warisnya, ada 17.411 prints berikut 1.723 “lempengan cetak” nya, serta 6.121 litografi berikut 453 “batu cetak” nya. Padahal, dalam seni Grafis ada semacam etika untuk membatasi penggandaan dengan menghancurkan cetakan setelah target terpenuhi.
Lalu bagaimana di Tanah Air? Adakah masyarakat menganggap grafis itu seni kelas dua? Boro-boro punya anggapan begitu, tahu saja tidak. Buktinya, dalam diskusi-diskusi mereka selalu bertanya: apa itu Seni Grafis, cetak tinggi (cukil kayu, lino), cetak dalam (dry point, etsa dan akuatint), cetak datar (litografi dan cetak saring). Juga, selain dikenal sebagai pelukis, para pelopor seni Grafis modern – antara lain Mochtar Apin, Baharudin MS, AD Pirous- jarang berpameran grafis. Kalaupun berpameran ramai-ramai dan yang tampil cukilan kayu melulu.
Betulkah masyarakat tahu bahwa seni Grafis yang dibelinya itu bisa saja “asli tetapi palsu”, lalu mereka enggan mengapresiasinya? Pada paruh kedua 1970an, permintaan akan karya grafis banyak berdatangan dari bank, kamar hotel dan perumahan. Tetapi yang tampak giat “memanfaatkan” peluang itu hanya kelompok Decenta Bandung. AD Pirous, G. Sidharta, T Sutanto, Priyanto S. dan Diddo Kusnidar. Tetapi ketika karya-karya mereka itu digelar di TIM, para pengamat seni rupa yang tekun dengan ketajaman mencatat: kesannya beragam, bahkan kombinasi warna yang mereka gunakan pun terkesan sama, sehingga khalayak gampang mengira bahwa karya mereka itu keluar dari “satu pabrik” untuk mengejar target pesanan. Dan mereka juga menggunakan media grafis yang sama, cetak saring alias serigrafis alias sablon. Maka pengetahuan masyarakat akan seni Grafis pun bertambah : ternyata karya sablon itu juga termasuk seni Grafis.
Lalu bagaimana denga etsa dan litografi? Yang menonjol menekuni jenis ini yaitu Setiawan Sabana dan Tisna Sanjaya, yang kebetulan dosen seni Grafis di ITB. Dengan begitu, mereka bisa memanfaatkan fasilitas bengkel grafis di perguruan tinggi tersebut. Dulu pernah ada Aten Waluya, pegrafis yang etsanya bisa diandalkan. Tetapi selesai kuliah, selesai sudah. Ia kini mencoba berkarya dalam wujud ilustrasi, tetapi pencapaian artistiknya tak mampu mengejar mutu pictorial etasanya yang khas.
Dalam hubungan ini perlu juga dicatat kenyataan menarik: DKJ di zaman Zaini pernah menyediakan fasilitas studio bagi para pegrafis. Tetapi akhirnya alat itu rusak karena menganggur terlalu lama- karena tak seorang pun pegrafis yang memanfaatkannya.
Begitulah adanya. Para pegrafis mengeluh masyarakat menyepelekan seni Grafis, tetapi kenyataannya, masyarakat tak kenal seni Grafis karena senimannya tak pernah memunculkan diri. Kalau catatan saya cermat, Cuma ada empat pegrafis kita yang pernah (bukan sering) pameran tunggal: T. Sutanto, 58 (1976 dan 1990), Setiawan Sabana, 48 (1986 dan 1989); Marida Nasution, 42 (1991); Tisna Sanjaya, 41 (1988). Padahal, pada 1991, ketika Galery Yasri yang dimotori Jim Supangkat mengundang mereka berpameran, munculah 52 pegrafis; Bandung (24), Yogya (13), Jakarta (10), Solo (3) dan Surabaya (2). Tetapi, and the rest in silence, dan selebihnya sepi.
Apalagi ketika harga lukisan membumbung tinggi, disusul demam seni instalasi, “sindrom rendah diri” pegrafis pun makin menjadi jadi. Kaboel Suadi, misalnya, malah menggelar pameran tunggal lukisan diakhir 1993. Padahal ia seorang pelopor seni grafis modern di negeri ini, an sehari-harinya pun berkecimpung di dunia seni Grafis, dengan memanfaatkan efek mirip goresan pada cukilan kayu atau lino, serta efek puritan bertumpuk pada karya cetak saring. Maka, jadilah pameran itu seolah tempat menggelar ketidakpercayaan diri seorang Kaboel Suadi sebagai pegrafis.
Dan kini di Teater Utan Kayu Jakarta para pegrafis generasi baru di ITB itu berkeluh kesah; mempertentangkan tukang cetak dan seniman; seolah mereka tak tahu bahwa karya grafis jelas memerlukan pengetahuan tehnik grafis yang cermat. Soalnya, dalam grafis, teknik mampu menghadirkan bobot, yang sulit dihadirkan seandainya digunakan teknik pictorial lain.
Mereka berkeluh kesah bahwa seni Grafis tidak mampu masuk ke wilayah seni kontemporer, atau mengikuti paradigma-paradigma baru. Padahal, tak perlu mereka berucap begitu seandainya mereka mau mengingat pertengahan tahun 1989, ketika Setiawan Sabana menggelar pameran yang menggugat kelaziman pandangan dan perlakuan terhadap seni Grafis.
Di masa mabuk seni instalasi belum menjadi-jadi hingga mengusung anarki, dosen seni Grafis ITB itu telah melangkah jauh. Ia memajang sekaligus 60 eksemplar cetakan etsa-akuatin 27x39 cm di dinding dan lantai- menjadi sebuah karya yang utuh. Memasuki ruang pameran, kita pun seolah-olah memasuki ruang angkasa dengan benda-benda langit di segala penjuru. Buat Setiawan, grafis punya dua sisi: uangkapan dua dimensi melalui proses cetak, dan jumlahnya banyak (jamak). Jadi, sah-sah saja karya seni Grafis tampil utuh “sebagai suatu ekspresi yang jamak-uangkapan rampak”. Dengan gugatan Setiawan itu, para pegrafis ditantang untuk bergerak dan melangkah maju memasuki paradigma-paradigma baru.
Sementara itu, di tingkat dunia, seni Grafis cukil kayu Jepang kuno, ukiyo-u, ditangan empu macam Kitagawa Utamaro (1750-1806), Katsushita Hokusai (1760-1849) dan Hiroshige (1787-1858), tak hanya berpengaruh besar terhadap perkembangan seni lukis modern Barat di masa Impresionisme, melainkan juga mampu mendudukkan perupa Jepang yang berkarya di Amerika, Masami Teraoko (63), ke kursi perupa internasional di zaman post modernisme.
Jadi,kalau para pegrafis hanya bermaksud memelihara “sindrom rendah diri” yang tak jelas dari mana asalnya, lalu menyerah, ya kesimpulannya pasti: “stagnan”, “bubarkan”. Dan itu tak guna kita sedihkan.
Eddy Soetriyono (Kompas, Minggu 20 Januari 1999)
Pandangan bahwa Seni Grafis adalah “warga kelas dua” rasanya tak perlu dibahas lagi. Sebab, begitulah sejarahnya, dalam wacana seni rupa Barat yang mengagungkan seni Lukis dan Patung. Pada mulanya, seni Grafis memang diniatkan menjadi semacam kiat untuk memecahkan masalah-masalah praktis –ekonomis. Para perupa butuh hidup. Namun, dengan lukisan-lukisan berukuran besar mustahil mereka dapat menjaring lebih banyak orang untuk memilikinya.
Oleh karena itu, kita menyaksikan banyak pelukis dan pematung masyhur nyambi jadi pegrafis. Sebut saja, Rembrandt van Rijn (Belanda), Pablo Picasso (Spanyol), George Braque (Perancis), Marc Chagall (Rusia), Joan Miro (Spanyol), ataupun Alexander Calder (AS). Tetapi nyambi-nya Picasso dan Chagall, misalnya, menghasilkan serial litografi yang kualitas artistiknya tidak lebih rendah ketimbang lukisan mereka. Bahkan dalam perjalanan sejarah, mereka juga menghasilkan pegrafis tulen, semacam Katie Kollwitz, yang karyanya pernah digelar di Jakarta pada Maret 1991. Dengan memanfaatkan secara cermat teknik grafis, baik litografi, etsa maupun cukil kayu, seniwati Jerman itu diakui berhasil menciptakan “ikon-ikon visual” dunia, dengan bobot yang tak tergantikan bahkan oleh seni lukis. Di tangannya yang sering belepotan tinta bak “tukang cetak” itu Seni Grafis menjadi otonom – bukan lagi Seni Lukis yang diperbanyak lewat teknik cetak mencetak.
Tentu saja, ekses selalu muncul. Ketika karya seni rupa menjadi komoditas perdagangan internasional, soal “perbanyakan” ternyata juga mengusung kerepotan: memberi peluang untuk melakukan kecurangan dan pemalsuan, baik oleh senimannya sendiri atau pihak lain. Inilah yang diceritakan Jais hadiana, hampir sebulan berselang sepulangnya ia dari mengikuti “pasar seni” di Paris. Art dealer pemilik Darga Gallery di Bali dan Darga Lansberg Gallery di Paris ini memang memperdagangkan lukisan Renoir, Miro, ataupun Chagall. Tetapi, karya lito, no. “Rumit. Susah sekali menentukan orisinalitasnya, sehingga jarang art dealer yang berani,” kata Jais.
Cerita Jai situ wajar. Maklum. Ketika bangkrut, Rembrant yang karya etsanya terkenal bergaris lembut bak beludru – sehingga hanya jelas terlihat pada 25-40 cetakan pertama- ternyata mencetak ulang gambar-gambar lama dan memasarkannya. Sementara Kompas, awal Mei lalu, memberitakan bahwa diantara warisan Picasso yang diperebutkan para ahli warisnya, ada 17.411 prints berikut 1.723 “lempengan cetak” nya, serta 6.121 litografi berikut 453 “batu cetak” nya. Padahal, dalam seni Grafis ada semacam etika untuk membatasi penggandaan dengan menghancurkan cetakan setelah target terpenuhi.
Lalu bagaimana di Tanah Air? Adakah masyarakat menganggap grafis itu seni kelas dua? Boro-boro punya anggapan begitu, tahu saja tidak. Buktinya, dalam diskusi-diskusi mereka selalu bertanya: apa itu Seni Grafis, cetak tinggi (cukil kayu, lino), cetak dalam (dry point, etsa dan akuatint), cetak datar (litografi dan cetak saring). Juga, selain dikenal sebagai pelukis, para pelopor seni Grafis modern – antara lain Mochtar Apin, Baharudin MS, AD Pirous- jarang berpameran grafis. Kalaupun berpameran ramai-ramai dan yang tampil cukilan kayu melulu.
Betulkah masyarakat tahu bahwa seni Grafis yang dibelinya itu bisa saja “asli tetapi palsu”, lalu mereka enggan mengapresiasinya? Pada paruh kedua 1970an, permintaan akan karya grafis banyak berdatangan dari bank, kamar hotel dan perumahan. Tetapi yang tampak giat “memanfaatkan” peluang itu hanya kelompok Decenta Bandung. AD Pirous, G. Sidharta, T Sutanto, Priyanto S. dan Diddo Kusnidar. Tetapi ketika karya-karya mereka itu digelar di TIM, para pengamat seni rupa yang tekun dengan ketajaman mencatat: kesannya beragam, bahkan kombinasi warna yang mereka gunakan pun terkesan sama, sehingga khalayak gampang mengira bahwa karya mereka itu keluar dari “satu pabrik” untuk mengejar target pesanan. Dan mereka juga menggunakan media grafis yang sama, cetak saring alias serigrafis alias sablon. Maka pengetahuan masyarakat akan seni Grafis pun bertambah : ternyata karya sablon itu juga termasuk seni Grafis.
Lalu bagaimana denga etsa dan litografi? Yang menonjol menekuni jenis ini yaitu Setiawan Sabana dan Tisna Sanjaya, yang kebetulan dosen seni Grafis di ITB. Dengan begitu, mereka bisa memanfaatkan fasilitas bengkel grafis di perguruan tinggi tersebut. Dulu pernah ada Aten Waluya, pegrafis yang etsanya bisa diandalkan. Tetapi selesai kuliah, selesai sudah. Ia kini mencoba berkarya dalam wujud ilustrasi, tetapi pencapaian artistiknya tak mampu mengejar mutu pictorial etasanya yang khas.
Dalam hubungan ini perlu juga dicatat kenyataan menarik: DKJ di zaman Zaini pernah menyediakan fasilitas studio bagi para pegrafis. Tetapi akhirnya alat itu rusak karena menganggur terlalu lama- karena tak seorang pun pegrafis yang memanfaatkannya.
Begitulah adanya. Para pegrafis mengeluh masyarakat menyepelekan seni Grafis, tetapi kenyataannya, masyarakat tak kenal seni Grafis karena senimannya tak pernah memunculkan diri. Kalau catatan saya cermat, Cuma ada empat pegrafis kita yang pernah (bukan sering) pameran tunggal: T. Sutanto, 58 (1976 dan 1990), Setiawan Sabana, 48 (1986 dan 1989); Marida Nasution, 42 (1991); Tisna Sanjaya, 41 (1988). Padahal, pada 1991, ketika Galery Yasri yang dimotori Jim Supangkat mengundang mereka berpameran, munculah 52 pegrafis; Bandung (24), Yogya (13), Jakarta (10), Solo (3) dan Surabaya (2). Tetapi, and the rest in silence, dan selebihnya sepi.
Apalagi ketika harga lukisan membumbung tinggi, disusul demam seni instalasi, “sindrom rendah diri” pegrafis pun makin menjadi jadi. Kaboel Suadi, misalnya, malah menggelar pameran tunggal lukisan diakhir 1993. Padahal ia seorang pelopor seni grafis modern di negeri ini, an sehari-harinya pun berkecimpung di dunia seni Grafis, dengan memanfaatkan efek mirip goresan pada cukilan kayu atau lino, serta efek puritan bertumpuk pada karya cetak saring. Maka, jadilah pameran itu seolah tempat menggelar ketidakpercayaan diri seorang Kaboel Suadi sebagai pegrafis.
Dan kini di Teater Utan Kayu Jakarta para pegrafis generasi baru di ITB itu berkeluh kesah; mempertentangkan tukang cetak dan seniman; seolah mereka tak tahu bahwa karya grafis jelas memerlukan pengetahuan tehnik grafis yang cermat. Soalnya, dalam grafis, teknik mampu menghadirkan bobot, yang sulit dihadirkan seandainya digunakan teknik pictorial lain.
Mereka berkeluh kesah bahwa seni Grafis tidak mampu masuk ke wilayah seni kontemporer, atau mengikuti paradigma-paradigma baru. Padahal, tak perlu mereka berucap begitu seandainya mereka mau mengingat pertengahan tahun 1989, ketika Setiawan Sabana menggelar pameran yang menggugat kelaziman pandangan dan perlakuan terhadap seni Grafis.
Di masa mabuk seni instalasi belum menjadi-jadi hingga mengusung anarki, dosen seni Grafis ITB itu telah melangkah jauh. Ia memajang sekaligus 60 eksemplar cetakan etsa-akuatin 27x39 cm di dinding dan lantai- menjadi sebuah karya yang utuh. Memasuki ruang pameran, kita pun seolah-olah memasuki ruang angkasa dengan benda-benda langit di segala penjuru. Buat Setiawan, grafis punya dua sisi: uangkapan dua dimensi melalui proses cetak, dan jumlahnya banyak (jamak). Jadi, sah-sah saja karya seni Grafis tampil utuh “sebagai suatu ekspresi yang jamak-uangkapan rampak”. Dengan gugatan Setiawan itu, para pegrafis ditantang untuk bergerak dan melangkah maju memasuki paradigma-paradigma baru.
Sementara itu, di tingkat dunia, seni Grafis cukil kayu Jepang kuno, ukiyo-u, ditangan empu macam Kitagawa Utamaro (1750-1806), Katsushita Hokusai (1760-1849) dan Hiroshige (1787-1858), tak hanya berpengaruh besar terhadap perkembangan seni lukis modern Barat di masa Impresionisme, melainkan juga mampu mendudukkan perupa Jepang yang berkarya di Amerika, Masami Teraoko (63), ke kursi perupa internasional di zaman post modernisme.
Jadi,kalau para pegrafis hanya bermaksud memelihara “sindrom rendah diri” yang tak jelas dari mana asalnya, lalu menyerah, ya kesimpulannya pasti: “stagnan”, “bubarkan”. Dan itu tak guna kita sedihkan.
Eddy Soetriyono (Kompas, Minggu 20 Januari 1999)
Sinergikan Seni Melalui Pendidikan
Upaya Dewan kesenian Jakarta (DKJ) menumbuhkan apresiasi seni sejak dini dan melembaga melalui pendidikan mendapat respons positif dari Sampoerna Foundation. Rabu (13/2) di kantor DKJ, Cikini Raya, Jakarta, mereka sepakat menandatangani nota kesepahaman kerja sama, yang bertujuan menyinergikan seni melalui pendidikan dan pendidikan melalui seni.
“Visi kerja sama ini menjadikan seni sebagai bagian penting dalam proses pendidikan di sekolah. Pengalaman menunjukkan tak ada pemain tunggal yang dapat membuat sebuah perubahan yang melembaga dan berkelanjutan. Kerja sama adalah awalan yang harus diciptakan, “ kata ketua DKJ Marco Kusumawijaya.
DKJ adalah salah satu lembaga yang dibentuk masyarakat seniman dan dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, 17 Juni 1969.
Marco menjelaskan, seni melalui pendidikan ditujukan untuk membuka lahan subur bagi tumbuhnya apresiasi seni sejak dini dan melembaga. Melalui pendidikan, seni membina komunitas pendukungnya. Seni tanpa penikmat yang menghargai, tak memiliki komunitas pendukung.
Bersamaan dengan itu, seni memberi kesempatan menenal dan mengalami hakikat kebhinekaan secara positif. Saat ini kebhinekaan menjadi hal penting bagi bangsa Indonesia yang mengalami kesempatan sejati untuk transisi demokratis.
CEO Sampoerna Foundation Lin Che Wei mengatakan, kepedulian sampoerna Foundation kepada seni dan pendidikan karena pendidikan melalui seni bertujuan untuk menjadikan seni sebagai sebuah medium dalam proses belajar-mengajar secara kreatif.
“Seni adalah wahana untuk mengasah kepekaan dan kemampuan dasar manusia. Makin baik bila diajarkan pada usia sedini mungkin,” ujarnya.
Menurut dia, untuk mencapai visi yang diharapkan dari kerjasama ini, rumusan program yang digulirkan mengusung dua misi utama, yaitu pertama, meningkatkan apresiasi seni di kalangan pelajar melalui program yang dijalankan guru. Kedua, merevitalisasi kebijakan pendidikan kesenian di sekolah.
Kompas (14 Februari 2008)
“Visi kerja sama ini menjadikan seni sebagai bagian penting dalam proses pendidikan di sekolah. Pengalaman menunjukkan tak ada pemain tunggal yang dapat membuat sebuah perubahan yang melembaga dan berkelanjutan. Kerja sama adalah awalan yang harus diciptakan, “ kata ketua DKJ Marco Kusumawijaya.
DKJ adalah salah satu lembaga yang dibentuk masyarakat seniman dan dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, 17 Juni 1969.
Marco menjelaskan, seni melalui pendidikan ditujukan untuk membuka lahan subur bagi tumbuhnya apresiasi seni sejak dini dan melembaga. Melalui pendidikan, seni membina komunitas pendukungnya. Seni tanpa penikmat yang menghargai, tak memiliki komunitas pendukung.
Bersamaan dengan itu, seni memberi kesempatan menenal dan mengalami hakikat kebhinekaan secara positif. Saat ini kebhinekaan menjadi hal penting bagi bangsa Indonesia yang mengalami kesempatan sejati untuk transisi demokratis.
CEO Sampoerna Foundation Lin Che Wei mengatakan, kepedulian sampoerna Foundation kepada seni dan pendidikan karena pendidikan melalui seni bertujuan untuk menjadikan seni sebagai sebuah medium dalam proses belajar-mengajar secara kreatif.
“Seni adalah wahana untuk mengasah kepekaan dan kemampuan dasar manusia. Makin baik bila diajarkan pada usia sedini mungkin,” ujarnya.
Menurut dia, untuk mencapai visi yang diharapkan dari kerjasama ini, rumusan program yang digulirkan mengusung dua misi utama, yaitu pertama, meningkatkan apresiasi seni di kalangan pelajar melalui program yang dijalankan guru. Kedua, merevitalisasi kebijakan pendidikan kesenian di sekolah.
Kompas (14 Februari 2008)
Delapan Watak Pemimpin Jawa
Setiap komunitas memiliki seperangkat pengertian dan perilaku, baik yang berasal dari generasi-generasi sebelumnya maupun dari pengalaman komunitas tersebut. Semacam kekuatan atau kemampuan komunitas itu untuk menyelesaikan secara baik dan benar berbagai persoalan serta kesulitan yang dihadapi.
Dalam proses waktu, rangkaian perilaku dan pengertian itu mengkristal dan menjadi sekumpulan nilai atau ajaran moral, yang kemudian secara umum dikenal sebagai local wisdom alias kearifan local. Dan secara praktis, kearifan local dapat dilihat dalam dua dimensi. Pertama adalah pengetahuan dan kedua adalah berupa pola-pola interaksi dan perilaku atau tindakan.
Jawa adalah salah satu etnik yang juga memiliki kearifan local. Juga dalam soal kepemimpinan. Bahkan soal ini mendapat perhatian yang cukup serius. Karena, ia selalu dikaitkan dengan nilai-nilai ideal yang berorientasi kepada dunia supranatural. Katakanlah semacam dewa, Tuhan, dan lainnya.
Hal itu, antara lain, tercermin dalam pandangan orang Jawa terhadap pemimpin, raja misalnya, yang dianggap sebagai “wakil/titisan” dewa atau Tuhan dimuka bumi. Tygas mulia seorang seorang pemimpin ini terutama menciptakan kehidupan yang harmonis antara manusia, alam dan Tuhan. Di mana salah satu pilar utama hidup harmonis itu adalah keadilan.
Oleh karenanya, pemimpin yang baik adalah dia yang mampu menerjemahkan nilai-nilai keadilan dalam praksis kehidupan. Orang-orang yang dipimpin harus mendapatkan rasa adil dan kesejahteraan lahir dan batin.
Dalam konteks ramainya kontes pemilihan umum, tingkat local dan nasional belakangan ini, mungkin baik menakar bagaimana kearifan local Jawa menawarkan standar kepemimpinan idealnya.
Astabratha
Sebagai etnik terbesar, Jawa memiliki konsep tersendiri tentang bagaimana kepemimpinan yang seharusnya. Konsep yang disebut Astabratha itu menilai pemimpin antara lain harus memiliki sifat ambek adil paramarta atau watak adil merata tanpa pilih kasi (Ki Kasidi Hadiprayitno, 2004). Secara rinci konsep ini terurai dalam delapan (asta) watak: bumi, api, air, angin, angkasa, matahari, bulan dan bintang atau dalam bahasa Jawa disebut; bumi, beni, banyu, angina, langit, surya, candra dan kartika.
Pertama, watak bumi yang harus dimiliki seorang pemimpin mendorong dirinya untuk selalu memberi kepada sesame. Ini berdasarkan analog bahwa bumi merupakan tempat untuk tumbuh berbagai tumbuhan yang berbuah dan berguna bagi umat manusia.
Kedua, geni atau api. Pemimpin harus memiliki sifat api. Api adalah energi, bukan materi. Api sanggup membakar materi apa saja menjadi musnah. Namun, api juga bisa mematngkan apa saja. Api dalam konteks ini bukan dalam pengertian yang destruktif, melainkan knstruktif.
Semangat api yang konstruktif yang harus dimiliki pemimpin, antara lain, adalah kesanggupan atau keberanian untuk membakar atau melenyapkan hal-hal yang menghambat dinamika kehidupan, misalnya sifat angkara murka, rakus, keji, korup, merusak dan lainnya.
Ketiga, banyu/air, adalah watak yang menggambarkan pemimpin harus selalu mengalir dinamis dan memiliki watak rendah hati, andhap asor dan santun. Tidak sombong. Tidak arogan. Sifat mengalir ini juga bisa diartikan bahwa pemimpin harus mampu mendistribusikan kekuasaannya agar tidak menumpuk/menggumpal yang merangsang ntuk korupsi. Selain itu, seperti air yang selalu menunjukkan permukaan yang rata, pemimpin harus adil dalam menjalankan kebijakan terkait hajat hidup orang banyak.
Berdemokrasi
Keempat, watak angina atau udara, watak yang memberikan hak hidup kepada masyarakat.
Hak hidup, antara lain, meliputi hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak (sandang, pangan, papan dan kesehatan), mengembangkan diri, mendapatkan sumber khidupan (pekerjaan), berpendapat dan berserikat (demokrasi) dan mengembangkan kebudayaa.
Kelima, Surya atau matahari, dimana pemimpin harus mampu menjadi penerang kehidupan sekaligus menjadi pemberi energi kehidupan masyarakat.
Keenam, watak bulan/candra. Sebagaimana bulan yang memiliki kelembutan menentramkan, pemimpin yang bijak selalu memberikan rasa tentram dan menjadi sinar dalam kegelapan. Ia harus mampu memimpin dengan berbagai kearifan sekaligus visioner (memiliki pandangan jauh ke depan); bukan pemimpin dengan gaya seorang tiran (otoriter) dan berpikiran dangkal.
Ketujuh, adalah bintang/kartika. Sebagaimana bintang menjadi panduan para musafir dan nelayan, pemimpin harus mampu menjadi orientasi (panutan) sekaligus mampu menyelami perasaan masyarakat.
Dan akhirnya, Jawa menuntut seorang pemimpin mesti memiliki watak langit atau angkasa. Dengan watak ini, pimimpin pun harus memiliki keluasan hati, perasaan dan pikiran dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa dan Negara. Tidak sempit pandangan, emosional, temperamental, gegabah, melainkan harus jembar hati-pikiran, sabar dan bening dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Bukankah inti atau substansi pemimpin adalah pelayan? Pemimpin yang berwatak juragan adalah penguasa yang serba minta dilayani dan selalu menguasai pihak yang dipimpin.
Indra Tranggono, KOMPAS, 16 Agustus 2008
Dalam proses waktu, rangkaian perilaku dan pengertian itu mengkristal dan menjadi sekumpulan nilai atau ajaran moral, yang kemudian secara umum dikenal sebagai local wisdom alias kearifan local. Dan secara praktis, kearifan local dapat dilihat dalam dua dimensi. Pertama adalah pengetahuan dan kedua adalah berupa pola-pola interaksi dan perilaku atau tindakan.
Jawa adalah salah satu etnik yang juga memiliki kearifan local. Juga dalam soal kepemimpinan. Bahkan soal ini mendapat perhatian yang cukup serius. Karena, ia selalu dikaitkan dengan nilai-nilai ideal yang berorientasi kepada dunia supranatural. Katakanlah semacam dewa, Tuhan, dan lainnya.
Hal itu, antara lain, tercermin dalam pandangan orang Jawa terhadap pemimpin, raja misalnya, yang dianggap sebagai “wakil/titisan” dewa atau Tuhan dimuka bumi. Tygas mulia seorang seorang pemimpin ini terutama menciptakan kehidupan yang harmonis antara manusia, alam dan Tuhan. Di mana salah satu pilar utama hidup harmonis itu adalah keadilan.
Oleh karenanya, pemimpin yang baik adalah dia yang mampu menerjemahkan nilai-nilai keadilan dalam praksis kehidupan. Orang-orang yang dipimpin harus mendapatkan rasa adil dan kesejahteraan lahir dan batin.
Dalam konteks ramainya kontes pemilihan umum, tingkat local dan nasional belakangan ini, mungkin baik menakar bagaimana kearifan local Jawa menawarkan standar kepemimpinan idealnya.
Astabratha
Sebagai etnik terbesar, Jawa memiliki konsep tersendiri tentang bagaimana kepemimpinan yang seharusnya. Konsep yang disebut Astabratha itu menilai pemimpin antara lain harus memiliki sifat ambek adil paramarta atau watak adil merata tanpa pilih kasi (Ki Kasidi Hadiprayitno, 2004). Secara rinci konsep ini terurai dalam delapan (asta) watak: bumi, api, air, angin, angkasa, matahari, bulan dan bintang atau dalam bahasa Jawa disebut; bumi, beni, banyu, angina, langit, surya, candra dan kartika.
Pertama, watak bumi yang harus dimiliki seorang pemimpin mendorong dirinya untuk selalu memberi kepada sesame. Ini berdasarkan analog bahwa bumi merupakan tempat untuk tumbuh berbagai tumbuhan yang berbuah dan berguna bagi umat manusia.
Kedua, geni atau api. Pemimpin harus memiliki sifat api. Api adalah energi, bukan materi. Api sanggup membakar materi apa saja menjadi musnah. Namun, api juga bisa mematngkan apa saja. Api dalam konteks ini bukan dalam pengertian yang destruktif, melainkan knstruktif.
Semangat api yang konstruktif yang harus dimiliki pemimpin, antara lain, adalah kesanggupan atau keberanian untuk membakar atau melenyapkan hal-hal yang menghambat dinamika kehidupan, misalnya sifat angkara murka, rakus, keji, korup, merusak dan lainnya.
Ketiga, banyu/air, adalah watak yang menggambarkan pemimpin harus selalu mengalir dinamis dan memiliki watak rendah hati, andhap asor dan santun. Tidak sombong. Tidak arogan. Sifat mengalir ini juga bisa diartikan bahwa pemimpin harus mampu mendistribusikan kekuasaannya agar tidak menumpuk/menggumpal yang merangsang ntuk korupsi. Selain itu, seperti air yang selalu menunjukkan permukaan yang rata, pemimpin harus adil dalam menjalankan kebijakan terkait hajat hidup orang banyak.
Berdemokrasi
Keempat, watak angina atau udara, watak yang memberikan hak hidup kepada masyarakat.
Hak hidup, antara lain, meliputi hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak (sandang, pangan, papan dan kesehatan), mengembangkan diri, mendapatkan sumber khidupan (pekerjaan), berpendapat dan berserikat (demokrasi) dan mengembangkan kebudayaa.
Kelima, Surya atau matahari, dimana pemimpin harus mampu menjadi penerang kehidupan sekaligus menjadi pemberi energi kehidupan masyarakat.
Keenam, watak bulan/candra. Sebagaimana bulan yang memiliki kelembutan menentramkan, pemimpin yang bijak selalu memberikan rasa tentram dan menjadi sinar dalam kegelapan. Ia harus mampu memimpin dengan berbagai kearifan sekaligus visioner (memiliki pandangan jauh ke depan); bukan pemimpin dengan gaya seorang tiran (otoriter) dan berpikiran dangkal.
Ketujuh, adalah bintang/kartika. Sebagaimana bintang menjadi panduan para musafir dan nelayan, pemimpin harus mampu menjadi orientasi (panutan) sekaligus mampu menyelami perasaan masyarakat.
Dan akhirnya, Jawa menuntut seorang pemimpin mesti memiliki watak langit atau angkasa. Dengan watak ini, pimimpin pun harus memiliki keluasan hati, perasaan dan pikiran dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa dan Negara. Tidak sempit pandangan, emosional, temperamental, gegabah, melainkan harus jembar hati-pikiran, sabar dan bening dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Bukankah inti atau substansi pemimpin adalah pelayan? Pemimpin yang berwatak juragan adalah penguasa yang serba minta dilayani dan selalu menguasai pihak yang dipimpin.
Indra Tranggono, KOMPAS, 16 Agustus 2008