Minggu, 25 Mei 2008

Grafis Hari ini: dari Pemenang sampai Juri

Mengayuh Kehidupan (Wood cut on canvas, 2008)
karya : Rindy Atmoko

Inilah upaya sambung-menyambung oleh Bentara Budaya untuk “mempopulerkan” seni Grafis. Dimulai pameran Setengah Abad Seni Grafis (2000), lalu pameran seni Grafis Penjelajahan Media dan gagasan (2002), disambung Trienal Seni Grafis I (2003), kemudian Trienal Seni Grafis II (2006). Lalu pameran yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta 14-23 Mei ini (dilanjutkan di Bentara Budaya Yogyakarta 14-23 Juni 2008), “Grafis Hari Ini”.

Dua pameran pertama diikuti- boleh dikata- seluruh pegrafis kita. Dua trienal diikuti peserta yang lebih sedikit, dan “Grafis Hari ini” (GHI) menampilkan karya pemenang trienal (kecuali Agus Suwage yang tak serta) dan dua yang masuk final, serta empat pegrafis “senior” yang pernah dilibatkan dalam trienal sebagai juri: Haryadi Suadi, Setiawan Sabana, Tisna Sanjaya dan Agung Kurniawan.

Apa hasilnya? Dibandingkan dengan karya-karya final dua trienal, pameran ini terasa lebih kaya dan lebih tinggi dari sisi teknis dan gagasan. Misalnya, karya Agus Prasetyo, pemenang kedua Trienal II. Dua karyanya yang masuk final cenderung monokrom, menyajikan fantasi bentuk flora. Karyanya dalam GHI merupakan penggalian lebih jauh fantasinya. Berbagai bentuk ia tata menjadi “dunia fantasi” yang kaya: seolah kita diajak memasuki sebuah pora warna dan bentuk, dan bagi saya, tersaji juga “musik” imajiner dari benturan-benturan bentuk dan warna itu.

Lalu pemenang pertama trienal, AC Andre Tanama, dalam GHI tak menampilkan karya cetak digital seperti karya menang, melainkan monoprint di kanvas. Dulu, karya cetak digitalnya dipilih antara lain karena kemampuannya menggarap teknik digital serasa cukilan lino. Kesan saya, ia seperti hendak melawan kesan datar yang lazimnya melekat pada karya cetak digital. Teknik yang dicapainya sedemikian rupa sehingga karyanya seolah asli. Tentu, kemenangan itu juga didukung factor lain: penjelajahan gagasannya dan penggalian bentuk-bentuk.

Sedangkan monoprint Andre sungguh berbeda sama sekali dengan karya cetak digitalnya. Ia menampilkan sebuah serigrafi dalam bentuk yang kita kenali (figure, seorang anak perempuan dan ruang). Serigrafi ini mengesankan satu perencanaan yang meminimalkan factor kebetulan (yang dalam seni Grafis sering kali tak bisa dihindari, bahkan kemudian dimanfaatkan). Maka, sepatu anak itu merah dengan demikian tetap muncul walau dilator gelap. Latar belakang yang membentuk tangga atau tembok direncanakan sangat rapi; disini unsur kebetulan pasti ada menurut pikiran kita, tetapi kesan rasa yang muncul menghilangkan pikiran itu. Menurut saya ini salah satu pencapaian monoprint yang utuh, cermat dan bentuk-bentuk itu berkisah dengan indah.

Yang juga mengundang perhatian di GHI adalah karya cukilan kayu Syahrizal Pahlevi, finalis di kedua trienal yang belum beruntung menjadi pemenang. Karya Rizal membuktikan bahwa seni Grafis pun bisa membawakan “jiwa tampak” nya Sudjojono. Bila karya-karya pegrafis yang lain menunjukkan terutama “penataan”, Rizal menuguhkan “emosi”. Ini terutama dicapai dalam karya besarnya (124 x 500 cm), dan tak terasa pada karya-karya mininya. “Jejak emosi” itulah kekuatan cukilan kayu ini.

Lalu cukilan hardboard Sri Maryanto (pemenang ketiga Trienal I), cukilan kayu Arief Prasetyo (mendapat penghargaan khusus di Trienal I dan finalis Trienal II), dan cukilan hardboard Agus yulianto (pemenang kedua trienal I) dibandingkan dengan karya mereka dalam trienal lebih tampil dalam teknik dan gagasannya. Terutama Sri Maryanto dalam “Kena Kepala”. Kecermatannya mencukil dan mewarnai mendukung humor yang hendak ditampilkan; seseorang yang tertawa lebar, sementara sebiji bom menghantam (dan meleleh) di kepalanya seolah berubah menjadi topi.

Akan hal para “senior” itu, karya media campuran Tisna Sanjaya yang segera menarik karena ukurannya yang besar, sekitar 200 x 200 cm. Pada pameran tunggal Tisna di Bentara Budaya, 2003, adalah karya-karya yang “jorok”, serampangan dan bau petai. Karya-karya di GHI menunjukkan kecenderungan Tisna yang baru; karya yang bersih, cemerlang dalam warna. Sabit-sabit yang dikolasekan (ditempelkan) di kanvasnya terlihat kebaruannya, tak lagi terkesan sebagai barang bekas seperti karya-karya dulunya. Namun, ia tetap sarkastik dalam humor-humornya. Kali ini, cetak saring campur gambarnya, “Si Kabayan Zarathustra”, paling mengundang gelak.

Karya cetak digital Setiawan Sabana dan Haryadi Suadi seperti hendak membuktikan bahwa teknologi ini bukan sesuatu yang perlu dipertentangkan, dikhawatirkan, dan lain sebagainya bahwa itu bakal mengurangi nilai seni Grafis. Tiap teknik dan media punya keistimewaan masing-masing. Karya Haryadi “kehilangan” factor kebetulan dalam hal teknik mencetak yang kurang rapi hingga ada cipratan tinta cetak, misalnya. Namun, dengan karya cetak digitalnya ini, kontras hitam putih lebih terasa dan dengan demikian, bentuk dalam karyanya lebih tegas. Setiawan Sabana terasa seperti sengaja memanfaatkan kesan datar pada cetak digital. Gerbang berbentuk huruf “U” terbalik yang putih itu berada di sati bidang dengan latar belakang yang gelap merah kehitaman. Kacaunya ihwal ruang itulah yang terceritakan dari karya berjudul “Gate to Nature: the Global Warming” ini.

Adalah sebuah gagasan besar Agung Kurniawan: “Adidas Tragedy”, sepatu bermutu internasional. Dua kotak sepatu terbungkus karya grafis Agung menggambarkan anak-anak berkerumun dan seseorang berkaus bergambar logo Adidas mengapit dua sepatu beneran yang di alas dalamnya ditempeli karya grafis. Mungkin karena ukuran, atau cara menaruh, “sepatu” ini baru menarik dalam jarak dekat, dan kita melongok ke dalam sepatu. Ketika itulah sebuah kesan atau cerita atau asosiasi-asosiasi baru muncul. Inilah karya yang menurut saya meminimalkan fungsi karya seni rupa sebagai hiasan.

Walhasil, upaya sambung-menyambung ini masih perlulah dilanjutkan, oleh Bentara atau oleh siapa saja. Agar, belenggu “keaslian” karya, tentang ada-tidaknya “aura” dalam seni garafis- seperti dikatakan Aminudin TH Siregar, curator pameran ini- juga soal direngkuhnya teknologi cetak digital, tak lagi perlu dimasalahkan.

Yang penting, penjelajahan setuntas mungkin dalam teknik dan gagasan, bukan hanya untuk seni Grafis, melainkan juga seni-seni yang lain.

Bambang Budjono (Kompas, 18 Mei 2008)

Tidak ada komentar: