Kamis, 28 Februari 2008

Sesudah Ujian Tugas Akhir S1 yang bikin klenger.
Lokasi kampus masih di FSRD Gampingan.
Dari kiri ke kanan: Jumari (alm), Megasari (punya vila "Dewangga" & art galery di Ubud Bali),
Harko Yanariswanto (Direktur Sanigraha adv di Semarang),
Rindy Atmoko (masih aktif mencari remah-remah roti di rimba beton metropolitan Jakarta)

Sedang mengerjakan billboard 7 m x 5 m

Profil dari Lapendoz ..... Laki-laki penuh doza ...

Pameran Grafis dalam Sejarah

Sebuah pameran seni yang akan dimulai pekan ini di Jakarta memetakan Seni Grafis di dalam perspektif sejarah. Selama ini beredar anggapan bahwa grafis adalah seni pinggiran, yang tertinggal jauh dari jenis seni rupa lain seperti lukisan atau patung, sementara pameran ini justru akan merayakannya sebagai jenis seni mandiri yang terus hadir dan selalu berhubungan dengan pencapaian teknologi.

Pameran “Seni Grafis Indonesia: Dari Cukil sampai Stensil” hasil kerja sama Bentara Budaya, Dewan Kesenian Jakarta dan Galeri Nasional ini akan menampilkan koleksi dari tiga lembaga kebudayaan tersebut. Sekain itu, juga karya-karya yang diambil dari berbagai majalah yang memuat karya-karya grafis sejak tahun 1940-an, dilengkapi karya-karya masa kini dari 19 seniman perorangan/ kelompok.

Diresmikan di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), jalan Palmerah Selatan 17, Kamis (1/11) malam, pameran berlangsung di dua tempat, yaitu di BBJ sampai 15 November dan di Galeri Nasional, Jalan Medan Merdeka Timur 14, Jakarta, pada 2-11 November . Kegiatan ini diisi dengan lokakarya di Galeri Nasional hari Selasa (6/11) pukul 15.00 serta diskusi bersama Aminudin Th Siregar, Agung Kurniawan dan Ade Dharmawan di BBJ, 8 November pukul 14.00.

Pengunjung pameran akan mendapati berbagai teknik dan medium yang sudah lama dikenal, seperti cukil kayu, cukilan lino atau etsa, sejak karya Suromo, Mochtar Apin atau Baharudin MS dan buah tangan para penggiat Decenta. Tampil pula Grafis yang paling mutakhir berupa cetak cigital hingga cetak stensil garapan para perupa dari generasi terbaru. Beberapa karya ditampilkan sebagai karya seni instalasi, disamping garapan perupa yang mengerjakannya diatas bidang transparan sehingga mendapatkan efek visual khas.

Upaya “mengangkat” Seni Grafis sudah sering dilakukan. Lomba dalam Trienal Seni Grafis yang sudah dua kali (2003 dan 2006) diselenggarakan oleh BBJ menopang upaya tersebut. Pameran bersama tiga lembaga kebudayaan ini diharap lebih mendorong apresiasi publik, yang belum menggembirakan.

Aplikasi Seni Grafis sesungguhnya sangat dekat dengan keseharian kita, bahkan gampang dijumpai dalam tampilan barang-barang seperti sablon di poster, kaus, spanduk, cetakan di tas atau cangkir souvenir. Sebagai “seni”, grafis sering dikatakan sebagai praktik seni rupa paling demokratis. Ciri lain, hubungannya amat erat dengan teknologi dan media masa.

Sifatnya yang terbuka dan bisa diperbanyak ini antara lain yang membedakannya dengan Seni Lukis, yang bersifat tunggal.

Pada kenyataannya, boom Seni Lukis akhir 1980-an tidak menyentuh dunia Seni grafis, yang sampai sekarang belum dihargai tinggi secara ekonomi.

(Kompas, 31 Oktober 2007)

Rabu, 27 Februari 2008

“Booming”, antara Momentum dan Pemiskinan


Tahun 2007 adalah tahun yang bergemuruh bagi dunia seni rupa kontemporer Indonesia. Karya-karya seniman muda mencatat harga ratusan juta hingga miliaran rupiah di ajang lelang di Singapura dan Hongkong, kemudian mendongkrak pasar local serta regional. Muncul kekhawatiran, godaan ekonomi ini bisa memiskinkan kreativitas.

“Booming” seni rupa kontemporer tahun ini, antara lain, dipicu melejitnya harga lukisan Putu Sutawijaya berjudul Looking for Wings yang terjual 95.000 dollar Singapura (sekitar Rp. 560 juta) pada lelang Sotheby’s di Singapura, April lalu. Sebulan kemudian, pada lelang Christie’s di Hongkong, karya I Nyoman Masriadi, Dance, terjual 540.000 dollar Hongkong (sekitar Rp. 640 juta).

Para perupa dari kelompok Jendela, yaitu Jumaldi Alfi, Rudi Mantofani, Yunizar, Handiwirman, Yusra Martunus, juga memperoleh apresiasi pasar tinggi. Harga paling fantastis diraih Nyoman Masriadi lewat lukisan Jangan Tanya Saya Tanya Presiden yang mencapai hargai 360.000 dollar Singapura (sekitar Rp. 2,2 miliar), pada lelang Sotheby’s di Singapura, September lalu.

Lonjakan harga pada lelang itu memanaskan pasar. Kalangan kolektor, kolekdol, art dealer, broker dan pedagang seni yang mencium aroma keuntungan pun keluyuran di kantong-kantong seni demi “berburu” lukisan kontemporer dari seniman muda yang menjanjikan.

Galeri semakin giat menyelenggarakan berbagai pameran yang marak selama tahun ini. Kalau dulunya dalam hubungan dengan seniman mereka sangat “superior”, kini galeri makin “tahu diri”. Beberapa pameran sukses menjual semua karya, bahkan sebelum pembukaan resmi. Sebagian seniman muda yang “naik daun” mencicipi kesejahteraan hidup, dan sebagian lagi aktif mengikuti pameran di manca Negara.

Inilah booming seni rupa gelombang ketiga di tanah air. Gelombang pertama berlangsung tahun 1980-an, sedangkan kedua tahun 1990-an. Jika dua gelombang awal ditopang para kolektor atau kolekdol local, gelombang ketiga ini berskala luas dengan pembeli asal Asia, terutama Singapura, Hongkong, Malaysia, Filipina dan Cina.

Gelombang ini hasil imbas booming seni rupa kontemporer Cina yang sudah meledak sejak awal tahun 2000-an. Saat harga lukisan disana kelewat tinggi, pasar melirik karya dari Negara Asia yang harganya relative lebih rendah, seperti Korea, India dan Vietnam, juga Indonesia. Seperti dilansir majalah Time (edisi November), banyak kalangan optimis inilah awal kebangkitan pasar seni rupa Asia.

Momentum

Gairah ini sejatinya bias direspons sebagai momentum yang menguntungkan. Pasar yang atraktif mengundang banyak pihak untuk turut menggerakkan roda seni rupa. Idealnya, para stake hlders (seniman, kolektor/pemilik galeri, lembaga pendidikan, pengamat/curator, museum dan pemerintah) mau memanfaatkan kesempatan ini untuk menggalang kerja sama. Tujuannya, membangun infrastruktur dan suprastruktur seni rupa di Tanah Air.

Dengan dukungan pasar, para seniman hidup layak sehingga lebih berkonsentrasi menempa gagasan dan kreativitas kekaryaan. Pengamat mengembangkan wacana untuk pegangan pasar, sedangkan museum jadi barometer pameran. Para pemilik galeri menjalankan bisnis sekaligus mempromosikan seniman pada jaringan kolektor di dalam dan luar negeri.

Lembaga pendidikan menggembleng para calon seniman serta memperkuat basis penelitian akademis. Pemerintah menjembatani kepentingan semua stakeholder itu dan merancang kebijakan dengan visi pengembangan seni rupa sebagai bagian dari strategi budaya bangsa.

Hubungan dialektis semacam itu sudah berlangsung berabad-abad di Eropa, kemudian Amerika, sehingga memapankan seni rupa di dua kawasan itu. Setiap elemen seni berfungsi dan saling mendukung. Satu lukisan, misalnya, hanya dapat meraih harga tinggi di pasar kalau ditopang wacana kritik seni yang argumentative dari para ahli.

Tentu, seni rupa Indonesia yang baru berumur sekitar 200 tahun (jika dihitung sejak kelahiran Raden Saleh Syarif Bustaman, tahun 1807) masih perlu menempuh jalan panjang lagi. Namun, kalaulah dialektika itu dapat terus diperkuat, setidaknya situasi bakal membaik.

Pemiskinan

Kenyataannya, gelora pasar Asia menerpa ketika infrastruktur dan suprastruktur seni di sini masih lemah. Alih-alih menyamakan visi atau menyepakati aturan main, setiap kelompok dari stakeholders seni justru sibuk bermain dan mengurusi kepentingan sendiri.

Dalam suasana tak menentu itu, pasar cenderung menggeliat liar, tanpa standar harga, tanpa sokongan wacana. Harga karya-karya seni bias melambung begitu saja di ajang lelang meski senimannya tidak dikenal punya proses kreatif dan reputasi meyakinkan. “Akibatnya, kita hanya punya buku catatan hasil lelang yang tebal, penuh daftar harga, tetapi miskin wacana,” kata pengamat seni rupa, Hendro Wiyanto.

Kiprah balai lelang yang kelewat terbuka memang potensial merangsang spekulasi investor. Para seniman terjebak di antara harga lelang yang kelewat tinggi dan harga jual riil dari tangannya sendiri. “Seharga berapa pun karya baru dilepas, spekulan tetap tergoda untuk membeli dan langsung melepasnya ke balai lelang dengan iming-iming untung besar,” kata Oei Hong Djien, kolektor asal Magelang.

Bagaimana dengan seniman? Sebagian kalangan cemas, jika tak direspons secara hati-hati, godaan pasar malah dapat merangsang tumbuhnya budaya manerisme. Menurut pengamat seni rupa, Enin Supriyanto, gejalanya sudah terlihat dari adanya sejumlah seniman yang sengaja mendekatkan karyanya pada gaya atau corak langgam tertentu yang dapat direspons baik di pasar.

Seniman cenderung malas untuk menyusun gagasan baru, mencari hal-hal unik, atau mengulik persoalan artistic yang segar. Mereka puas dengan membuat karya yang biasa, mengulang, atau bahkan mengopi gaya lama, tetapi laris di pasaran. “Pasar memang bisa meruntuhkan kreativitas seni rupa sendiri,” katanya.

Akan tetapi, jangan terlalu pesimistis. Pada akhirnya, bakal terjadi juga seleksi alam yang menyaring seniman-seniman yang baik.

Toh, masih banyak seniman yang terus merambah eksplorasi seni yang tak selalu didikte pasar. Sebutlah beberapa di antaranya, seperti Ugo Untoro, S Teddy D, Heri Dono, Handiwirman Saputra, Tisna Sanjaya, Dikdik Sayahdikumullah, Arahmaiani, Titarubi dan Anusapati. Kemunculan komunitas seniman muda di beberapa daerah menggiatkan seni sebagai ruang penyadaran seni sebagai ruang penyadaran sosial, seperti Ruang Rupa di Jakarta, Common Room dan Button di Bandung, serta Mess-56 di Yogyakarta.

Di luar itu, masih ada pameran di daerah, seperti Biennale Jawa Timur II dan Biennale Jogja IX, yang memecah pemusatan seni rupa pada mainstream tertentu. Kehadiran Galeri Lontar, Bentara Budaya, Yayasan Seni Cemeti, dan pusat-pusat kebudayaan Negara asing di Indonesia masih menawarkan wahana alternative di luar pasar. Dengan begitu, karya-karya eksperimental, berbasis tradisi, atau lahir dari proyek penelitian yang serius tetap mendapat tempat.

Ilham Khoiri (Kompas, 30 Desember 2007)

Selasa, 26 Februari 2008

Tonggak, oil on canvas

Kembali ke Propaganda

Seorang pemuda mengepalkan tangan. Raut mukanya bersemangat. Di atas kepalanya tertera kalimat: “Anak-anak negeri anak-anak merdeka”. Ada lagi gambar tengkorak manusia dengan mulut menganga. Di samping kerangka itu tercetak kata-kata: F**k system boesoek”.

Dua slogan yang dilengkapi ilustrasi itu tercetak diatas dua kaus berlengan pendek (T-shirt). Huruf-huruf dan gambarnya tercetak dengan jelas dan bersahaja. Pesannya pun gampang ditangkap: para pemuda di negeri ini selalu punya kebebasan untuk berekspresi dan segala system yang brengsek mesti dibenahi.

Dua desain di atas kaus itu hasil karya komunitas punk-rock bernama Marjinal yang berbasis di Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Karya mereka banyak dibuat dengan teknik cukil kayu yang dicetak di atas T-shirt dengan label Taringbabi. Kelompok ini digerakkan para pemuda kreatif yang menggeluti seni komunikasi visual secara otodidak.

Semangat serupa juga mucul dari beberapa komunitas lain, seperti Stenzilla, Sakit Kuning Collectivo, Propagrafic Movement dan Rumah Kotak. Hasil kerja mereka turut digelar dalam pameran bertajuk “Seni Grafis, dari Cukil sampai Stensil” di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), 1-15 November, dan di Galeri Nasional, Jakarta, 1-11 November. Pameran juga menampilkan karya puluhan seniman lain yang dikoleksi BBJ, Galeri Nasional, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) serta karya seniman undangan.

Penampilan generasi muda itu cukup menarik karena dengan lantang menempatkan Seni Grafis sebagai propaganda untuk menggalang kesadaran sosial. Isu yang diangkat bisa apa saja yang tengah menggejala di tengah masyarakat, mulai dari perkara politik, ekonomi, sosial, budaya, sampai soal-soal kecil. Mereka meneriakkan suara-suara yang terpendam, yang sebagian menyempal dari arus wacana umum.

Di tengah rutinitas kehidupan masyarakat urban, suara-suara itu menjadi pengingat yang bernada menggugat, menyentil, mencerahkan, atau hanya menyindir situasi kehidupan yang makin absurd dan paradoks ini. Estetika visualnya berjarak dengan pencapaian artistic oleh tangan-tangan seniman mapan. Tetapi para pemuda ini jelas lebih merdeka memproduksi poster, mural, stiker atau graffiti sambil bermain-main dengan bermacam teknik grafis yang relative gampang dan cepat, terutama cukil kayu, stensil, fotokopi, sablon, atau cetak digital.

Lewat tangan mereka, Seni grafis menjadi lebih inklusif, massal dan terbuka terhadap arus bawah. Sebagian hasil kerja mereka memasuki ranah seni jalanan (street art) dengan mengambil ruang terbuka di jalanan atau direproduksi massal lantas disebarkan di tengah masyarakat.

“Kami ingin merebut ruang public dan jalanan kota dari cengkeraman iklan serta program pemerintah, lalu menjadikannya sebagai galeri terbuka,” kata Bob Oi, pemuka kelompok Marjinal.

Propaganda

Fenomena terkini dalam ranah budaya urban itu memperkaya wacana dan praktik Seni Grafis yang lebih “membumi”. Kreativitas mereka menghidupkan kembali ruh penyadaran sosial sebagaimana mengental dalam ideology seni rupa tahun 1940-an. Saat itu para seniman menjadikan grafis sebagai alat propaganda untuk mengobarkan semangat nasionalisme dan kemerdekaan Republik Indonesia (RI).

Tahun 1946, Mochtar Apin dan Baharudin MS membuat album grafis cukil-lino untuk Peringatan Satu Tahun Kemerdekaan Indonesia yang diterbitkan Urusan Pemuda Perhubungan RI dan dikirim ke sejumlah Negara. Kedua seniman itu memotret kehidupan sosial saat itu, seperti penari, arak-arakan dan suasana pelacuran.

Karya pelukis Affandi, Boeng Ajo Boeng menjadi contoh yang terkenal. Poster yang dibuat dengan teknik litografi dan dimuat di majalah Seniman (tahun 1947) itu menggambarkan seorang laki-laki memutuskan borgol di tangan sambil berteriak dan mengangkat bendera Merah Putih. Terang sekali, karya ini berusaha memompa gelora perjuangan kemerdekaan.

Surono juga banyak menghasilkan cukilan kayu yang mengangkat kehidupan sehari-hari dan perjuangan kemerdekaan. Beberapa karyanya melukiskan suasana perang gerilya, seperti karya Tiga Gerilyawan yang dimuat majalah Zenith (1947).

Begitulah, pangkal sejarah tahun 1940-an dan ujung pertumbuhan Seni Grafis tahun 2000-an ternyata sama-sama bertemu pada pijakan ideologi seni sebagai alat komunikasi visual yang terbuka bagi masyarakat luas. “Fenomena ini menyegarkan dunia seni rupa kita yang telanjur elitis, berorientasi pasar, dan hanya beredar dari galeri ke galeri” kata Ketua Komite Seni Rupa DKJ Bambang Bujono.

Bagaimana dengan praktik Seni Grafis tahun 1970-an sampai tahun 1990-an? Masa itu menawarkan corak yang lebih beragam. Tahun 1970-an muncul kelompok Desenta di Bandung yang dimotori para perupa dari ITB, antara lain Mochtar Apin, G Sidharta, AD Pirous, T Sutanto, Diddo Kusdinar, Priyanto Sunarto dan Sunaryo.

Karya periode ini menyodorkan tema yang beragam dan bersifat lebih individual. Beragam tema muncul, seperti kaligrafi Arab (AD Pirous), corak dekoratif (T Sutanto), impresi pemandangan (Zaini, Nashar), ikon-ikon tradisi Jawa (G Sidharta), serta abstrak (Ahmad Sadali, Umi Dahlan).

Tahun 1990-an, tema sosial politik juga masuk dalam ranah Seni Grafis sebagaimana dikerjakan Tisna Sanjaya di Bandung dan kelompok Taring Padi di Yogyakarta. Namun, saat itu, sebagian besar seniman masih memperlakukan Seni Grafis sebagai sampingan yang menguntit kerja pokok Seni Lukis yang memang tetap berjaya pada arus utama seni rupa.

Lengkap

Pameran “Seni Grafis, dari Cukil sampai stensil” penting karena menyajikan karya grafis para seniman Indonesia secara lengkap. Pergelaran ini menyertakan karya 70 seniman dan lima komunitas seni di Jakarta. Hampir semua karya seniman yang pernah membuat grafis tahun 1940-an sampai tahun 2000-an terwakili.

Pengunjung juga bisa menikmati karya Seni Grafis yang diterbitkan beberapa majalah kebudayaan tahun 1940 sampai 1970-an, seperti majalah Zenith, Zaman baru, Horison, Indonesia, Mimbar Indonesia, Budaya, Seniman, dan Pembangunan. Arsip ini hasil penelusuran tim kuratorial dari Pusat Data dan Dokumentasi DKJ, Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin dan Perpustakaan Nasional.

“Kami hanya bisa men-scan dan menampilkan kembali karya-karya lama itu dalam bentuk cetak digital karena karya aslinya hampir pasti tak dapat ditemukan lagi. Tetapi, itu cukup berharga sebagai bahan studi,” kata kurator pameran, Hafiz.

Ilham Khoiri (Kompas, 4 November 2007)

Senin, 25 Februari 2008

Perjuangan Terakhir


Cerpen & ilustrasi Rindy

Ketika aku pulang sekolah, aku menjumpai seorang gadis berwajah pucat, tetapi disamarkan dengan merah delima bibirnya, sedang duduk di kursi tamu rumahku. Dia ditemani ibuku dan dia segera menyambutku dengan omongan basa-basi.

Kemudian ibu meninggalkan kami untuk memberi kami keleluasaan yang justru membuatku risau dalam kepedihanku yang mulai tumbuh.

“Aku minggat dari rumah”, katanya pada suatu saat, “Kau tahu ‘kan masalahnya.”

“Tidak …” kataku berbohong.

Dia memandangku lurus dan tajam ; dia tahu aku berbohong.

Lama kami saling berpandangan dan dia memandangku dengan tidak berkedip dan ketika hendak mengucapkan sesuatu, bibirnya hanya mampu bergetar. Tiba-tiba dia merangkulku sambil menangis terisak-isak. Aku hanya mampu membenamkan wajahnya di dadaku dan rambutnya kuelus dengan jemariku sambil kutempelkan bibirku pada ubun-ubunnya.

Sore harinya aku mendatangi rumah orang tuanya. Ibunya menerimaku dengan perasaan curiga yang biasa ditunjukkan oleh seorang ibu yang sedang terluka.

“Nakmas teman putriku yang dahulu sering kesini, bukan?”

“Ya, bu …” kataku setelah duduk. “Saya mempunyai keperluan yang sangat penting mengenai putri ibu.”

“Sudah kuduga”

Betapa singkat dan mustajab kedengkian kalimat yang membuatku tersinggung.

“Apa maksud ibu dengan … sudah kuduga?”

“Suatu hal yang membutuhkan tanggung jawab, bukan?”

“Coba … Apakah putri ibu pernah menyebut nama saya ketika dia menangis?” kataku.

“Maafkan ibu nakmas” kata beliau sambil menangis,”Ibu bingung nakmas … Ibu terhina …”

“Tenanglah ibu,” kataku menenteramkan kerisauan “Putri ibu berada dirumah saya.”

“Jadi, anak malang itu ada disana?” kata beliau mulai riang “Syukurlah, ada yang sudi merawatnya.”

Ketika aku berpamitan, beliau mengantarku sampai dipagar teralis besi sambil mengatakan dengan lirih dan tersendat-sendat; “Beritahu kami, jika anak itu telah melahirkan.”

Setiap sehabis periksa kandungan di dokter praktek, dia sering kuajak berjalan-jalan sambil membeli racikan jamu Jawa, agar stamina tubuhnya selalu terjaga dan untuk kesehatan bayi yang dikandungnya.

Terasa olehku bahwa teman-teman mulai mencurigaiku sebagai yang membawa aib pada diri seorang gadis muda.

Mereka selalu mengingatkan pada masa lampau kami yang manis.

Dan yang membuat kenangan pada diriku yaitu mengenai bertumpuknya penyesalan dan kepedihan yang merambah kedalam jiwaku setelah lama aku berpisah dengannya.

Mereka selalu menyudutkanku. Mereka menutup mata dan telinga rapat-rapat. Mereka menyamarkannya melalui fitnah tentang hubunganku yang sebenarnya.

“Apakah aku masih mencintainya?” bentakku risau.

“Seorang gadis yang sedang jatuh cinta, mudah sekali dibuat mengandung,” cemooh mereka.

Sebagai seorang gadis muda, dengan segala kelebihan dan kelemahannya, dengan sifat yang tidak kusukai maupun yang kusukai, ia mempunyai firasat seksama bila melihat perubahan sikapku yang agak tidak biasa kutunjukkan apabila aku sedang bersamanya.

Dengan cemas dan sambil memegang kedua tanganku, dipaksanya aku agar banyak tersenyum.

“Banyak penderitaan yang kau alami karena aku. Sepertinya aku merepotkanmu, ya !”

“Sama sekalli tidak. Kau jangan berprasangka yang bukan-bukan tentang sikapku.”

Dan dia sangat percaya pada kata-kataku.

Pada suatu sore yang segar, dengan kemilau sinar senjakala, kami duduk diteras sambil mengenang masa lampau kami yang memedihkan.

“Kau benar …” katanya pada suatu saat “Aku merupakan mahluk emosional yang mengharukan.”

“sudahlah” kataku mulai risau “Kau sudah menyelesaikan empat baju bayi dalam rajutanmu yang luwes, bukan. Kau cepat bisa. Setelah itu kau harus membuat topi dan sepatu.”

Tetapi dia tidak menghiraukan gurauanku yang risau.

“Setelah kita berpisah” demikian katanya selanjutnya “Tidak lama kemudian aku menjalin hubungan dengan seorang cowok. Dan kunyalakan gairah itu dan kuletubkan perasaanku. Yeah, kami menikmatinya dengan segala perasaan mesra melalui pancaran cinta yang selalu kau ributkan. Kami diliputi kebahagiaan dalam menikmati gayutan cinta. Tidurku sangat nyaman apabila dalam pelukannya. Aku selalu menuangkan secangkir kopi dan sarapan pagi apabila kami hendak berangkat sekolah."

Sampai tiba saatnya aku harus mengatakan kepadanya: Apa kamu ingin bayi? Tetapi hari naas dan cangkir melayang yang kudapati. Aku bebal, selama itu aku tidak pernah merasa bahwa diriku hanya seorang pelacur bagi dia. Betapa sakit hati dan malu. Lebih pedih dari sepuluh jari tangannya yang membekasi pipiku. Apakah aku dimatanya seperti hendak menagih uang bayaran ? Apakah begitu cinta lelaki ?”

Aku memeluk tubuhnya yang berguncang oleh tangisnya. Berangsur-angsur dia meninggalkan tangisnya. Wajah kami berdekatan dengan mesra. Tetapi aku tahu, bahwa dia menderita. Sangat menderita. Kehidupannya hancur. Keluhurannya hancur. Hatiku patah. Berkeping-keping. Pucat. Terhuyung-huyung.

Pada suatu malam, dengan gugup, aku berlari menuju telepon umum.

“Ada seorang gadis hendak melahirkan,” kataku dengan panik pada petugas rumah sakit.

Aku juga menelpon ibunya.

Meskipun di rumah sakit, aku tetap menggenggam tangannya. Sambil mengeluh, dia memandangku; tetapi aku tidak mampu lama membalas pandangannya.

Sementara itu, dia hampir tidak sadar dengan dirinya. Dia merasa harus terbebas dari rasa sakit yang mengganggunya. Rasa nyeri yang memedih pedih. Segala yang membuat hidup manusia menjadi berarti sedang dia pertaruhkan. Sedang dia perjuangkan dengan segenap kekuatan pengampunan. Aku merasa tidak sampai hati melihatnya melahirkan.

Di depan pintu, disuatu ruang yang merupakan tempat dimana dia harus melahirkan, dia mengharap, dengan kata-kata yang mirip desau kepiluan, agar aku diperbolehkan mendampinginya.

Dia memegang tanganku semakin kuat. Aku hampir tidak dapat menahan diri untuk tidak menangis; aku hanya menggigit bibirku erat-erat.

Tiba-tiba lengan baju kokoku robek karena dia sangat kuat dalam meronta. Pergelangan tanganku terdapat banyak barut dan dari barut itu terlihat darah mrentul dari permukaannya dan mulai menetes. Menetesi bibirnya yang memutih; yang kemudian dengan tanpa sadar dijilatnya.

Tiba-tiba tangannya merangkul leherku kuat-kuat. Dia sedang dalam puncak kesakitan, pikirku menangis.

Seluruh wajahku diciuminya dengan panik.

Bibirku singgah lama dipipinya. Aku menciumnya dengan hangat agar dia tampak lebih tenang.

Sambil menangis dan tersenyum bergetar, dia membelalakkan matanya dan berseru ;

“Aku belum ingin mati. Aku takut mati.”

Tiba-tiba dia lunglai.

“Pendarahan” kata pak dokter “Sebenarnya dia belum saatnya mengandung.”

Aku memandanginya dengan lembut; rambut ikalnya tergerai diatas bentuk wajahnya yang indah, cantik dalam kepucatan yang diterangi cahaya lembut lampu kamar. Dia mendengar aku mendekat dan dia membuka matanya dengan lemah sambil memandangiku. Dengan gemetar, dia membuka bibir mungilnya. Dengan suara yang mengharukan, dia membuatku merendahkan kepala dan mendekatkan telinga dengan hikmat.

“Maukah engkau menerima maaf dariku. Maukah engkau untuk tidak meninggalkanku. Kau harus meninggalkanku. Kau harus memilih istri seorang gadis baik-baik agar kau bahagia. Aku akan selalu mendoakan agar kau bahagia dengan istrimu kelak …” katanya dengan tersengal-sengal memilukan. Sementara itu air matanya meleleh bercampur dengan darahku.

“Tidak” kataku “Aku mencintaimu. Aku menyesal dahulu selalu menyakiti hatimu. Percayalah kau akan hidup berbahagia bersamaku dengan anak itu.”

“Jangan” lenguhnya “Kau haus kawin dengan seorang gadis baik-baik agar kau bahagia.”

Tetapi pak dokter mencegahku agar aku tidak terlalu lama berbicara.

“Secepatnya akan dilakukan tindak operasi …ada yang bermasalah pada bayinya …” kata pak dokter.

“Bayinya, dokter …”

Aku mondar mandir diteras, dilantai yang dingin dan licin sambil memandang kehujan yang semakin deras dan yang membuat kabut melimbah pekat keseluruh dataran. Dan pepohonan yang rungkut menjadi bias yang mengharukan.

Aku berjalan mondar mandir dari lorong kelorong dengan tidak menyadari bahwa untuk apa kaki itu dibuat sedemikian rupa sehingga orang tidak perlu bersusah payah untuk menghampiri keinginan-keinginannya; yaitu tentang sanubari yang bagaimana, atau macam apa, sehingga kaki-kaki dan keinginan itu mempunyai kemungkinan untuk bertentangan.

Tetapi secara gamblang aku menyadari bahwa diriku sedang terancam atau tersudut pada suatu pilihan, yang sekurang-kurangnya, melalui sanubariku, mengharapkan kepadaku bahwa aku tidak mungkin dapat membebaskan diriku mengenai kepentingan pribadi; yaitu mengenai hubunganku dengannya yang tanpa kusadari telah mengalir kembali dengan hangat.

Akhirnya aku menghampiri ibunya, yang senantiasa selalu memandangku, dan ibunya memelukku dengan segenap kehangatan seperti yang biasa beliau berikan kepada anak-anaknya.

Tiba-tiba pintu operasi dibuka lambat-lambat. Dan seorang dokter berjalan mendekat. Pak dokter yang tampak lelah, diam mematung dan memandangku dengan tanpa nyala api kemauan.

Kami bangkit berdiri dengan keinginan untuk menyongsong takdir yang menggigilkan.

Dan kataku lambat-lambat;

“Dia seorang gadis muda pemberani yang dapat dikalahkan; dia telah kalah dalam melawan kemudaannya.”

Sedangkan mataku tetap terpaku pada ruang operasi yang telah sunyi.

Rindy Atmoko, 1982

(Didedikasikan untuk seorang teman yang telah kalah dalam melawan kemudaannya).

Sabtu, 23 Februari 2008

Kecantikan yang mengharukan


Cerpen & ilustrasi by Rindy

Dia seorang gadis yang kecantikannya dapatlah disepadankan dengan gambaran kecantikan yang selalu dipergunjingkan oleh para pujangga.

Semula, karena dia merupakan murid baru di kelasku, dia kuanggap tidak lebih seperti murid lainnya. Tetapi semenjak aku merasakan kelainan pada tingkah lakunya, yang menakjubkan, aku mulai menganggap bahwa kehadirannya membuatku selalu bertanya-tanya. Kecantikan memang suatu teka-teki. Suatu hal yang patut diperdebatkan.

Matanya. Aku suka apabila melihat keindahannya. Biarpun di dalam kedalaman matanya tercantum keliaran yang disembunyikan, tetapi matanya tetap mengandung keindahan yang mencurigakan; suatu kegelisahan yang menjadi menakjubkan daya tarik. Aku selalu memaki-maki dalam hati, apabila pandangan kami saling berbenturan.

Pada suatu hari, ketika sedang berlangsung pelajaran agama, yang mungkin membuatnya terharu, dia kelihatan termenung.

Sambil menumpangkan dagunya melalui tangan kanannya dan menggigit ballpoint yang diletakkan dalam posisi empat puluh lima derajat; dia sedang melupakan dirinya. Matanya memandang lurus kedepan; didalam kedalaman matanya tidak ada kegairahan yang biasa nampak pada gadis muda. Kegairahan itu telah lenyap dan berganti dengan kemuram durjaan yang merupakan penampilan paling dukana yang pertama kalinya kulihat sejak dia duduk dibangku sekolahku.

Lama kelamaan, matanya yang indah itu berkaca-kaca, dan kelihatanlah bahwa dia seperti sedang berjuang melawan sesuatu yang tidak tampak melalui pikirannya. Bibirnya juga bergetar.

Kukira hatiku, tanpa kusadari, telah ikut hanyut dalam suatu gelora yang tidak sabar dan memaksaku bergerak melawan kepercayaan diri.

Pada suatu pagi, aku sarapan pagi di kantin sekolah. Kantin sangat ramai. Tetapi disebelah pojok kulihat kursi masih kosong. Aku melihat sekeliling sebentar sebelum aku mulai menyantap.

Dan karena tempat duduk disampingnya sudah ditempati seorang temannya, maka aku hanya memandangnya dari jauh. Dan ketika dia melihatku bahwa aku memandangnya dengan pandangan ramah, yang tidak biasa kuperlihatkan pada gadis manapun, maka dia segera mengucapkan selamat pagi sambil melambaikan tangan yang menggenggam sapu tangan.

“Berapa kira-kira harga yang pantas untuk semangkok mie rebus dan segelas the kelebihan gula”, kataku kepada mbok Arjo, setelah aku selesai sarapan.

Tiba-tiba dia mendekatiku dari belakang sambil menyentuhkan jarinya dengan lembut kebahuku.

“Tidak perlu repot-repot meikirkan sarapan pagimu” katanya lembut.

Kami menjadi berbantahan dalam persoalan pembayaran. Tidak harus selalu lelaki yang membayari cewek, katanya. Dia berusaha mendekatiku, dan aku berusaha mengenal dirinya dengan lebih mendasar.

Akhirnya kami dilerai agar membayar sendiri-sendiri saja. Sambil malu-malu, aku tertawa terbahak-bahak.

Kemudian kami berjalan lambat-lambat berdampingan melalui lorong-lorong sekolahan menuju kelas, sambil dia bercerita panjang lebar tentang kehidupan dan kemajuan jaman.

Tetapi aku tidak peduli lagi. Suatu perasaan aneh, yang baginya mungkin tidak disadari oleh suatu kepentingan kewaspadaan, telah mengungkungku bagai kemuakan sekaligus rasa sayng.

Bila kusentuhkan lenganku pada bahunya, dan kuhirup udara sekeliling dengan hikmat, terciumlah bau susu dari susu seorang ibu yang menyusui. Tersamar pula dengan aroma minyak telon. Gila ! Apakah tapsiranku menjadi kenyataan ?

Segera setelah itu, satu minggu sesudahnya, kuterbitkan sebuah cerita pendek dengan judul “Kecantikan yang mengharukan” pada majalah sekolah yang kupimpin.

Dan kecemasanku telah menjadi kenyataan yang tegar dan kepedihan yang melemaskan. Tidak kusangkal, dalam menjawab komentar guruku mengenai cerpenku, yaitu yang disebutnya sebagai “ketidak percayaan, kesuraman dan kesia-siaan.”

Tetapi aku tidak mempedulikan suatu kemenangan yang pucat. Seperti sebuah tepuk tangan yang menyakitkan.

Dia mungkin tidak akan menganggapku sebagai yang mencurahkan kalbu tersamar yang menghantam menara peradaban. Atau mungkin di pura-pura tidak tahu.

Dengan sikapnya yang tulus ikhlas, dia senantiasa memberikan salamnya. Disertai kerlingnya. Dengan lagaknya yang mengandung kelembutan langkah gadis muda, dia menghidupkan semangatku untuk mencintainya; memberikan kepadaku ssuatu kegetiran yang kucoba kulangkahi agar membuatku memandangnya dengan rasa welas asih.

Dia tidak melengoskan muka apabila kupandang; bila kutatap dengan tajam. Dia tidak memberikan kepadaku suatu sikap permusuhan sekaligus perlawanan.

Sifat maha penyayangnya terkadang muncul bagai suatu kewajiban ketika melihatku termenung.

Demikian juga pada suatu hari.

Setelah berbasa basi tentang pelajaran yang memusingkan dan sedikit menyesali kegaduhan teman-teman yang mulai kelaparan, dia bertanya;

“Aku sangat tertarik dengan cerpenmu, gadis mana yang menjadi sumber inspirasimu?” katanya sambil melahap dengan sopan kue lapis legitnya.

Karena aku tidak memberikan jawaban, dia melanjutkan kegilaannya.

“Oh, mengapa kau suka mendalami hal-hal seperti itu?” katanya sambil memegang tanganku dengan lembut.

Sambil meremas tanganku, “Eh, kapan kamu mau maen kerumahku?” katanya berbisik.

Tentunya dia mempunyai kesan yang menarik sekali tentang diriku, pikirku gemetar.

Pada suatu sore yang mendung, aku menuju rumah kontrakannya yang sederhana.

Aku menjumpainya ketika dia sedang duduk diteras rumah sambil menimang bayinya.

Aku berjalan semakin lambat dan berhenti didekatnya.

Apakah yang dpat dia berikan melalui pandangannya yang memelas kepadaku kecuali hanya menambah kebimbanganku mengetahui lebih dalam tentang dirinya yang sebenarnya.

Setelah menghela napas dan menguatkan hati dalam memperlakukan suatu sikap menghampiri yang biasa ditunjukkan pada pertemuan antar sahabat, maka aku mencobai suatu perasaan yang menarik sekali tentang kelemahan hati. Tentang pukauan kecil dari ketidak percayaan yang telah berubah menjadi kenyataan.

Setelah aku dipersilahkan duduk dan setelah dia menidurkan bayinya dalam tempat tidur bayi, dia menghampiriku dan duduk disampingku dan memeluk lenganku dengan manja.

Aku, yang dapat menilai bahwa diriku seorang yang kaku, toh, tidak bias lagi bersikap apa adanya lagi terhadapnya. Aku gemetar, muak, terhina, marah, menangis, pedih, putus asa yang tanpa dapat kubendung lagi.

Dia berkata-kata yang sekurang-kurangnya telah membuatku mengingat tentang cerpenku yang sangat mengena itu. Kukira hatiku ikut bergerak kearah pemahaman dan campuran antara keresahan dan keharuan.

Dia tampak bahagia mendekapku sore itu sambil membicarakan hal-hal yang riang. Dan senantiasa aku tersudut kaku tanpa daya.

“Cinta adalah hasrat naluriah”, katanya sambil mencium bibirku dengan lembut; seusai kami bersantap malam dengannya.

Kemudian kami menuju ruang tamu yang masih menyisakan aroma melati. Kursi itu masih hangat ketika kami duduki dengan santai, dan sorot lampu cozy yang romantis itu, telah menghipnotis kerusuhan hatiku.

Sementara hujan mulai merentaki genting sambil meningkah dengan rapi.

Dan seperti sudah selayaknya arti sebuah persahabatan yang dilapis empati, maka aku menggeletarkan kepentingan sikapku yang semakin tidak berdaya dalam menghadapi jiwaku yang kecewa dan serba sulit dalam melawan berbagai pertimbangan yang menusuk-nusuk.

Tiba-tiba sekelebat kalimat mengguncang ;

“Sanggupkah kau melihat dirimu bercermin sambil telanjang dan menyusui bayimu” bisikku didekat bibirnya.

Bibirnya bergetar.

“Apakah pernikahan sangat sakral bagimu?” katanya sambil tertawa bergetar.

Tiba-tiba aku sangat benci pada tawa semacam itu.

“Apakah seorang yang sedang dalam pelukan kekasihnya dapat berbicara dengan jujur?” kataku dengan tenang.

Tetapi dia tidak menjawabnya …

Tetapi, beberapa menit kemudian, setelah keheningan yang terasa berabad-abad, telah diberikannya jawaban melalui air matanya yang mulai kembeng-kembeng di dalam pelupuk matanya’ yang keluar dari dalam hatinya. Sungguhkah kepikir tentang apa adanya? Barangkali melalui air matanya telah kutemui resapan mawas diri dalam diri gadis muda yang berada disampingku; yang tergolek dalam pelukan hatiku.

Dia tersedu-sedu dan aku menjadi semakin kaku akan keadaan itu. Dia memegang erat-erat tanganku sambil diciumnya. Tetapi dilepaskannya tanganku dan dipeluklah pinggangku dan wajahnya dibenamkan didadaku.

Sementara air matanya membasahi dadaku; yang mendidih dalam hatiku.

Pada saat itu pula, kenekatannya yang dicoba diterangkan kepadaku telah menjadi keheningan yang bercampur dengan isak tangis.

Dalam pergulatan kehidupannya yang pedih, dia telah mencekamku dengan membuatku terharu.

By Rindy Atmoko

Yogyakarta, 1982

Kisah ini di inspirasikan dari seorang teman sekolah pindahan dari sekolah SMA lain. Dia pindah karena mempunayi seorang bayi diluar nikah dan aku sangat simpati kepadanya. Pertama karena dia cantik, kedua karena dia bodoh dan ketiga karena budaya Timur masih merugikan harkat wanita.

Jumat, 22 Februari 2008

7 Butir Renungan untuk Seni Grafis Indonesia


Definisi dan Sikap Kritis.

Seni Grafis umumnya didefinisikan sebagai bentuk ekspresi seni rupa dua dimensi yang memanfaatkan atau lahir dari proses cetak : cetak tinggi (relief print), cetak dalam (intaglio), cetak datar (planography lithography), dan cetak saring (serigraphy screenprint). Karena melalui proses cetak, maka dimungkinkan terjadinya suatu pengulangan pada apa yang dicetak, artinya hasil/karya cetak itu bias berjumlah lebih dari satu, bersifat jamak. Dalam konvensinya yang baku, setiap edisi/cetakan pertama hingga terakhir, dengan tanda-tanda tertentu, dinilai sebagai karya seni yang sejati/original dan berhak memperoleh apresiasi yang sama.

Selama ini Seni grafis identik dengan pernyataan terakhir dari definisi di atas, sebagai produk akhir yang didandani dengan bingkai kertas (passepartout) dan pigura yang rapih dan necis, yang dipajang dalam suatu ruangan (pameran) dengan gaya penataan tertentu. Sikap memandang dan memperlakukan karya Seni grafis seperti itu cenderung mengabaikan segi-segi lain yang potensial dari kerja grafis secara keseluruhan. Potensi-potensi itu akan terungkap bila pegrafis-pegrafis kita bersikap kritis terhadap apa yang tersirat dan tersurat dalam definisi yang dikemukakan di atas.

Menyikapi Berbagai Potensi

Paling tidak, sejumlah pertanyaan bisa diajukan. Mungkinkah pegrafis kita menyikapi keragaman bahan, teknik, tahapan proses cetak, berbagai cetak-coba (proofs), pengulangan, multiplikasi, pluralitas, ukuran kecil karena kapasitas peralatan cetak, dsb. Sebagai pendekatan-pendekatan berkarya yang mandiri? Bagian-bagian tertentu dari proses, prosedur kerja grafis, atau kaarakteristik lain yang berasal atau sebagai akibat dari kerja mencetak berpotensi untuk diungkapkan sebagai suatu ekspresi yang utuh, tidak lagi sebagai suatu proses, atau bagian yang selama ini sering disembunyikan oleh senimannya.

Haruskah karya grafis selalu menempel pada dinding, mungkinkah ia sekedar bersandar, bahkan tergantung dari langit-langit atau tersebar berserakan di atas lantai? Karya grafis itu selalu berbingkai dan dipajang di dalam ruangan, bolehkah ia dikemas tak berbingkai dan diletakkan di luar ruangan? Bila dipajang di luar memang ada resiko terganggu atau rusak oleh kondisi cuaca (alam) atau manusia, tetapi haruskah suatu karya seni itu abadi secara fisik?

Dari pendekatan kreatif seperti itu bias saja lahir ungkapan-ungkapan seni yang tidak bercirikan 100% karya grafis secara konvensi, tapi haruskah suatu karya seni yang sejati terikat ketat dengan aturan-aturan yang bias jadi sudah tidak lagi sesuai dengan tempat, atau semangat, nilai-nilai dan aspirasi jaman dimana seniman itu hidup?

Kontekstualitas

Apresiasi Seni grafis seringkali berkisar pada permasalahan teknis disekitar karya. Itu satu hal memang, tapi kedepan rentang apresiasi harus lebih dari itu. Karya-karya Seni grafis sepantasnya juga semakin berbobot dalam tema-temanya, turut merenungkan dan menyuarakan pesan nurani tentang berbagai permasalahan kesenian, kebudayaan dan kehidupan itu sendiri dalam maknanya yang luas dan mendalam.

Pegrafis-pegrafis kita dituntut untuk selalu mengikuti perkembangan dan tanggap terhadap berbagai fenomena seni rupa dan seni kontemporer pada umumnya yang semakin semarak, dinamis dan kreatif. Mereka jangan merasa cepat puas dengan statusnya sebagai pemeran-pemeran pelengkap (figuran) dalam pentas kolosal seni rupa Indonesia, tetapi harus mampu berperan sebagai pemain utamanya, yaitu bagian peran yang menentukan orientasi lakon dalam pentas itu.

Patriotisme

Perkenalan Seni grafis modern dalam percaturan seni rupa modern Indonesia dikaitkan dengan upaya dua seniman – Mochtar Apin (1923-1994) dan Baharudin Marasutan (1910-1988) – yang membuat suatu koleksi karya cukilan lino yang dicetak sejumlah 30 edisi. Karya kolaboratif itu dikirimkan oleh pihak pemerintah ke Negara-negara yang pada waktu itu telah mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Negara Republik Indonesia. Langkah penting ini terjadi pada tahun 1946, sebagai salah satu bentuk ungkapan untuk memperingati ulang tahun pertama kemerdekaan RI.

Yang layak dicatat disini adalah bahwa kedua seniman tersebut bukan saja mampu bertindak kreatif terhadap medium seni cetak, tapi sekaligus mampu menungkapkan suara hati yang paling dalam dan cita-cita yang luhur dari masyarakat dan bangsa Indonesia pada waktu itu, yaitu eksistensi kemerdekaan manusia-manusia, bangsa dan Negara yang telah berhasil melepaskan dirinya dari belenggu penjajahan. Jadi, Seni Grafis Indonesia lahir dari jiwa patriotic seniman perintisnya, sehingga pegrafis-pegrafis masa kini sepantasnya mewarisi kreativitas dan daya juang mereka.

Kontibusi Dunia Pendidikan

Perkembangan Seni Grafis di tanah air ini jelas mencatat kontribusi besar dari lembaga pendidikan formal seperti FSRD ITB, FSRD ISI, FSRD IKJ. Pendidikan di bidang seni rupa ini telah berjalan lebih dari 20 tahun, dan jumlah lulusannya telah mencapai angka ratusan. Dalam rentang waktu selama itu seharusnya jumlah pegrafis tak berbeda jauh dengan jumlah lulusannya. Ironisnya para pegrafis yang terbilang aktif masih sedikit dan hamper seluruhnya berada di lingkungan pendidikan formal, sebagai staf pengajar di sana. Para lulusan cenderung meluntur idealismenya ketika sudah terjun di masyarakat. Bermula dari kebutuhan ekonomi yang mendesak. Lantas keasyikan dan kemudian lalai akan nilai-nilai idealis keseniannya.

Tampaknya, dunia pendidikan dituntut untuk lebih progresif dan selalu meningkatkan upaya untuk merangsang iklim kerja dan prestasi kreatif insane-insan di lingkungannya: mahasiswa dan para pengajarnya. Dunia pendidikan seni diharapkan untuk mampu memproduksi lulusannya yang tetap memiliki motivasi dan semangat berkesenian yang tinggi ketika sudah terjun di masyarakat.

Hegemoni

Kualifikasi karya Seni Grafis dalam forum Internasional sering dikaitkan dengan kualitas bahan (kertas dan tinta) yang biasanya tidak menjadi masalah bagi pegrafis-pegrafis dari negara maju, karena bahan-bahan berkualitas baik selalu tersedia. Sedangkan bagi dunia seni di Negara sedang berkembang, bahan-bahan tersebut masih merupakan barang impor. Ketika bahan impor itu menjadi mahal dan sukar terjangkau oleh para pegrafis kita, haruskah dengan begitu Seni grafis kita mandeg? Kalaulah kualifikasi karya Seni Grafis masih menggantungkan pada kemewahan bahan-bahan tadi, maka Seni Grafis hanyalah milik dunia seni rupa dari Negara-negara tertentu, yang pada umumnya telah memiliki latar sejarah dan tradisi Seni grafisnya yang panjang.

Kalau target kualitatif seperti itu yang ingin dicapai oleh Seni grafis kita, tidak terbayangkan kapan prestasi itu mampu diraih. Haruskah kita menunggu berabad-abad untuk itu? Saya piker, kita harus segera berani melonggarkan kalaupun belum bias melepaskan diri dari hegemoni seperti itu.

Perlu Langkah Terobosan

Saya menyimpulkan bahwa Seni Grafis Indonesia memerlukan terobosan-terobosan yang progresif, kalau perlu melakukan redefinisi, re-interpretasi dan re-evaluasi terhadap seluruh kerja seni yang memanfaatkan metode cetak ini, termasuk keterkaitannya dengan berbagai pranata pendukungnya dalam konstelasinya dengan dunia seni rupa kontemporer dan kebudayaan Indonesia secara umum. Kalau tidak, pegrafis-pegrafis kita hanyalah sedang berusaha menumbuhkan sejenis seni rupa cangkokan dari barat yang boleh jadi sebetulnya tidak cocok dengan kualifikasi dan aspirasi masyarakat seni dan kebudayaan Indonesia. Mari kita renungkan bersama.

Setiawan Sabana

(Katalog Pameran Seni Grafis Indonesia, 1999)

Kamis, 21 Februari 2008

Undangan Pameran Seni Rupa Alumni ASRI, FSRD-ISI 2008

Dengan hormat,
Tidak terasa sudah 10 X Paguyuban Senirupa ALUMNI/ EX ASRI/ STSRI/ FSRD/ ISI Yogyakarta berpameran bersama. Kali ini untuk yang ke 11 kalinya kami ingin mengajak rekan2 kembali untuk mengikuti pameran tahunan yang akan kami selenggarakan pada :
Tanggal : (Selasa-Minggu) 1 - 6 April 2008
Pembukaan Pameran : Selasa, 1 April 2008
Jam : 19.30 WIB
Tempat :
Senayan City G 10 Ground Floor
Jl. Asia Afrika Lot 19
Jakarta 10270

Berhubung tempat sangat terbatas, maka diharapkan segera mendaftar secepatnya kepada :
- Lugiono telp. 021. 8470658, 08128011610
- Agus Swasono telp. 021. 84970538 (office), 021. 84972651 (Home), 0817882206
- Wahyu Geiyonk telp. 021. 7890902, 08174895863

Bagi yang tidak mengikuti pameran, maka surat ini juga merupakan Undangan untuk rekan2 sekalian untuk hadir pada malam Pembukaan Pameran sambil temu kangen dengan rekan2 lama. (mohon ketok tular)

Terimakasih.

Rabu, 20 Februari 2008

Seni Grafis : Apakah itu ?


Selama ini, secara umum orang lebih mengenal visualisasi dari ekspresi seni rupa adalah seni lukis dan seni patung. Hiruk pikuk dan “rejeki nomplok” pameran seni rupa, sepertinya hanya menghadirkan 2 mashab itulah yang dianggap merepresentasikan ekspresi jiwa seniman. Pada hal dalam peta percaturan seni rupa modern, ada media ekspresi yang tidak kalah menantangnya. Yaitu, Seni grafis.

Yang dimaksud dengan Seni Grafis adalah, salah satu “cabang” dari seni rupa.

Seni Grafis sebenarnya sudah dikenal lama. Karya cetak cukilan kayu (wood cut), misalnya, diperkirakan sudah muncul di Cina kira-kira pertengahan abad VII. Di Eropa, cukilan kayu mulai dikenal sekitar awal abad XV.

Seniman Grafis mengungkapkan gagasan dan ekspresi seninya dalam bentuk goresan, cukilan, torehan, guratan, sapuan dan sebagainya, diatas permukaan lempengan yang rata, yang kelak digunakan untuk mencetak, misalnya kayu, lempeng batu, atau logam.

Seniman, kemudian mencetak sendiri karya tersebut. Karena itu karya seni Grafis dikenal sebagai produk cetak eksklusif, limited edition.

Pada mulanya, kegiatan cetak mencetak karya Seni Grafis ini bertujuan untuk membuat reproduksi gambar. Tetapi tuntutan perkembangan jaman, telah menempatkan Seni grafis sejajar dengan cabang seni rupa lainnya, seperti Seni Lukis dan Seni Patung.

Semua produk cetak tersebut disebut karya seni “asli” yang ditandatangani senimannya dan nilainya sama dengan sebuah lukisan.Bila dibandingkan, hasil cetak offset dan foto mekanis tidak bias dianggap sebagai karya grafis, bagaimanapun tepat dan sempurna hasilnya dilihat dari sudut teknis maupun dari sudut estetisnya. Produk cetak ini tidak dapat diterima sebagai karya seni “asli”.

Ada dua pendapat yang berbeda tentang perlakuan terhadap karya seni grafis. Pendapat yang satu berpegang pada prinsip, hanya ada “satu” karya asli, selebihnya reproduksi. Namun pendapat yang lebih umum dipegang dalam “peraturan” Seni Grafis adalah pendapat yang percaya ada lebih dari satu “asli”.

Untuk mengesahkan keaslian ini, pada hasil cetakan si seniman membubuhkan tanda tangannya di sebelah kiri bawah karya, berikut nomor urut dan jumlah total cetakan. Lazimnya ditulis dengan pensil. Selain sudah tradisi yang mendunia, ada kesan goresan pensil sudah cukup untuk menjamin keaslian karya.

Ada kalanya seniman grafis, untuk keperluan sendiri menuliskan tambahan “artist’s proof” atau “epreuve d’artist” disebelah tanda tangannya. Ini dimaksudkan sebagai karya dokumentasi pribadi dan tidak diperdagangkan.

Kelebihan karya seni grafis dari misalnya lukisan adalah jumlahnya yang lebih dari satu. Keadaan ini memungkinkan karya grafis dapat dikoleksi oleh lebih banyak kolektor. Juga bisa dibeli dengan harga relative lebih murah dari pada harga sebuah lukisan atau patung.

Berdasarkan Teknik pengerjaan, Seni Grafis dapat dibagi dalam 5 proses pengerjaan; cetak tinggi, cetak dalam, cetak datar, cetak saring dan cetak digital.

Cetak tinggi adalah teknik cetak dimana permukaan plat cetak yang lebih tinggi yang dikenai tinta, kemudian permukaan tersebut yang akan memindah tinta keatas kertas. Teknik yang tergolong cetak tinggi adalah cukilan kayu (wood cut), toreh atau tera kayu (wood engraving) dan cukilan lino.

Sekedar catatan, perbedaan cukilan dan tera kayu bukan karena perbedaan bahan yang digunakan, tetapi juga pada alat-alat untuk mengolahnya.

Dengan demikian nilai artistiknya berlainan pula. Pada umumnya kayu yang dipakai untuk cukilan kayu adalah kayu yang berpenampang vertical. Mencukil tidak sesulit menoreh kayu atau menera kayu, karena kayu yang digunakan pada tera kayu berpenampang horizontal. Untuk mengerjakan karya Grafis tera kayu diperlukan alat yang lebih runcing dan tajam. Tetapi pengguna teknik wood cut lebih menyukai menggunakan hardboard (hardboard cut). Disamping lebih lunak, juga banyak tersedia di pasaran.

Cetak dalam (intaglio) adalah kebalikan dari cetak tinggi. Dalam kelompok teknik ini, garis atau bidang yang menerima tinta adalah garis dan bidang yang berada lebih rendah dari permukaan cetak. Dengan tekanan yang cukup kuat, tinta atau gambar akan berpindah keatas kertas. Disini daya hisap dan kualitas kertas sangat berpengaruh untuk mencapai hasil cetak yang sempurna.

Untuk teknik cetak dalam ini, dipergunakan lempengan tembaga atau seng yang digores atau ditoreh dengan semacam alat tajam (yang ujungnya runcing). Tujuannya untuk memperoleh alur-alur yang cukup dalam. Termasuk dalam cetak dalam antara lain; etsa, aquatint, goresan langsung (drypoint) dan mezzotin.

Lempengan logam yang digunakan untuk membuat sebuah karya etsa dilapisi terlebih dahulu dengan cairan aspal untuk melindungi dari gigitan asam. Diatas lapisan dasar ini si seniman membuat gambar memakai semacam jarum tajam dengan jalan menggores, menggurat dan menoreh. Maka terjadilah alur yang membuka lapisan aspal. Dengan demikian jalur-jalur ini dapat tergigit oleh asam. Hasilnya berupa alur pada logam yang nantinya berfungsi menampung tinta. Proses ini dilakukan berulang kali sesuai kebutuhan atau kreativitas si seniman untuk mencapai sasarannya.

Pelaksanaan proses aquatint, yang merupakan bagian dari teknik etsa, memungkinkan tercapainya nada warna (tone). Teknik etsa dan teknik aquatint sering dipakai secara kombinasi agar tercipta berbagai macam efek teknis maupun estetis.

Teknik aquatint dilaksanakan dengan menaburkan butiran-butiran halus semacam dammar (berwarna kecoklatan) yang apabila dipanaskan menjadi lumer tapi tak merata. Perbedaan lamanya proses pengasaman ini menimbulkan bermacam macam efek gigitan asam yang mengakibatkan perbedaan nuansa tone pada hasil cetak.

Cara lain mencapai tone warna adalah dengan teknik mezzotin. Pada teknik ini, dasar plat yang akan digambari dikasarkan dengan ampelas. Kualitas permukaan plat yang menyediakan nuansa warna dapat dengan mengubah arah alur garis kasar, kemudian dihaluskan kembali pada bidang tertentu. Suatu kesibukan yang mengasyikkan bagi seniman yang kreatif.

Proses cetak datar atau planografi batu litografi. Tapi belakangan ini dipakai juga lempengan logam/ seng yang selain praktis juga mudah didapat.

Diatas batu/ seng itu dibuat gambar yang akan dicetak dengan semacam pensil yang mengandung lemak. Gambar ini disapu beberapa kali dengan asam lemak. Batu litografi kemudian dibasahi dengan air, sebelum diberi tinta dengan menggelindingkan rol tinta beberapa kali. Dalam proses ini yang menerima tinta hanya bagian yang digambari dengan pensil lemak tadi. Dengan alat cetak khusus untuk litografi, gambar dan tinta dipindahkan keatas kertas.

Cetak saring, disebut pula serigrafi. Tapi orang lebih mengenalnya sebagai teknik sablon atau silk screen. Sebab alat utama pengerjaan menggunakan kain sutra. Teknik ini sebenarnya penggembangan dari teknik sablon. Untuk bisa mencetak gambar diatas kertas, tinta ditaruh diatas kain sutera yang di frame, kemudian disapukan dengan alat yang terbuat dari karet (rakel).

Satu hal yang patut menjadi perhatian adalah bahwa seni grafis tidak luput dari pengaruh perkembangan teknologi, serta pengaruh perkembangan kebudayaan dan kesenian pada umumnya. Masuknya teknologi fotografi bukan hal baru lagi di lingkungan seni grafis, dan mulai banyak dimanfaatkan oleh seniman grafis.

Mulai munculnya cetak digital (digital print), tak pelak, dapat menambah medium baru dalam berolah seni. Meskipun kehadirannya masih banyak diperdebatkan, tetapi eksistensinya di kancah seni rupa sudah tidak dapat dibendung lagi.

By : Rindy Atmoko

Sajak sederhana buat R

by Rindy

Meski baru turun dari kuda
Masih kujumpai kerikil-kerikil berlompatan
Menyongsong langkah yang kuseret
"Kau terus kemana?"

Buat R

by Rindy

Maka .....
Cukuplah sudah langkah kita
dalam menyelusuri pepohonan rindang
disebuah taman kesegaran
Cukuplah rasanya mengangkat bahu
sambil menyeruput secangkir kopi ;
tak bisa aku meminumnya tanpa menggelengkan kepala
Serupa kau membuka pintu tanpa menyapa
Cukuplah sudah kita melewati lengkung-lengkung jembatan
diantara sungai-sungai yang menderas
Karena kita telah melewati suatu masa
dalam kabut dan bayang-bayang yang selalu mendera kita
dan merubah rona wajahmu
Hingga kemilau halus wajahmu terbarut mutiara
yang menempel di bibirmu
Diatas kursi berukir dosa
kita berayun dan memejam mata
Dalam keangkuhan
Kita terus tersenyum
dan saling menciumi
... dosa-dosa kita ...
dan menjumlahnya dengan tawa

Senin, 18 Februari 2008

Kesaksian Hidup

Lebih baik mengayunkan langkah
menuju hujan
sambil menanti
sampai kapan batas hujan nampak rintik
hingga alur dikaca
tampak bening cemerlang

Aku Kembali

Aku kembali dari padang perburuan yang liar
untuk menggenggam napas yang bergetar ;
Inilah wajah sejati dari sebuah perbincangan yang marah
Inilah semboyan gemerlap dari aneka tepuk tangan yang hampa
Selain itu ...
Dusta bercabang dan beranak pinak
bagai virus kebimbangan yang bercampur sesal
... sementara aku berkelit menghindari segala tanya
dan melupakan luka segala luka
serta lebih benar lagi
dengan pelukan hampa ...

Perjalanan II

Terang terpikir
buai alun langkah satu - satu
(tik tok tik tok tik tok ...
... bunyi asing menggigit
dan merangkul kaprayitnan)
hayaaa ...
tidak ... tidak ...
bukan suatu apapun
bukan ...
(nora lali dak sisipi santi pepuji)
pangalembana, pakulinan, reka daya, asor budi, rasa pangrasa ;
merupakan manunggaling sukma sejati ?

Perjalanan I

Disebuah tikungan jalan aku menunggu kepulan debu
dalam desau suara yang memecah sepiku
"Inikah hidup?"
Kutiup debu
... dan kuhirup ...
dan kenangan gaib menusuk ;
dulu aku datang dan bernyanyi
berlari sambil memeluk angin
Sementara kini hanya kuingat satu keindahan yang menggodaku ....

Jumat, 15 Februari 2008

Sebuah Perjalanan di pagi hari

oleh: Rindy Atmoko
Sebuah perjalanan di pagi Hari
adalah keharuan untuk mengejar mimpi tentang siang hari
Sebuah perjalanan di pagi hari
adalah kilau daun berselimut embun
yang saling memagut dan menyalakan sukmaku
untuk menapaki tebing-tebing bercadas
dan gurau pohon yang tercelup air
menyanyikan matahari
dari ketinggian bukit-bukit yang terentang di depan;
disanalah hidupku berkubang