Selasa, 26 Februari 2008

Kembali ke Propaganda

Seorang pemuda mengepalkan tangan. Raut mukanya bersemangat. Di atas kepalanya tertera kalimat: “Anak-anak negeri anak-anak merdeka”. Ada lagi gambar tengkorak manusia dengan mulut menganga. Di samping kerangka itu tercetak kata-kata: F**k system boesoek”.

Dua slogan yang dilengkapi ilustrasi itu tercetak diatas dua kaus berlengan pendek (T-shirt). Huruf-huruf dan gambarnya tercetak dengan jelas dan bersahaja. Pesannya pun gampang ditangkap: para pemuda di negeri ini selalu punya kebebasan untuk berekspresi dan segala system yang brengsek mesti dibenahi.

Dua desain di atas kaus itu hasil karya komunitas punk-rock bernama Marjinal yang berbasis di Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Karya mereka banyak dibuat dengan teknik cukil kayu yang dicetak di atas T-shirt dengan label Taringbabi. Kelompok ini digerakkan para pemuda kreatif yang menggeluti seni komunikasi visual secara otodidak.

Semangat serupa juga mucul dari beberapa komunitas lain, seperti Stenzilla, Sakit Kuning Collectivo, Propagrafic Movement dan Rumah Kotak. Hasil kerja mereka turut digelar dalam pameran bertajuk “Seni Grafis, dari Cukil sampai Stensil” di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), 1-15 November, dan di Galeri Nasional, Jakarta, 1-11 November. Pameran juga menampilkan karya puluhan seniman lain yang dikoleksi BBJ, Galeri Nasional, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) serta karya seniman undangan.

Penampilan generasi muda itu cukup menarik karena dengan lantang menempatkan Seni Grafis sebagai propaganda untuk menggalang kesadaran sosial. Isu yang diangkat bisa apa saja yang tengah menggejala di tengah masyarakat, mulai dari perkara politik, ekonomi, sosial, budaya, sampai soal-soal kecil. Mereka meneriakkan suara-suara yang terpendam, yang sebagian menyempal dari arus wacana umum.

Di tengah rutinitas kehidupan masyarakat urban, suara-suara itu menjadi pengingat yang bernada menggugat, menyentil, mencerahkan, atau hanya menyindir situasi kehidupan yang makin absurd dan paradoks ini. Estetika visualnya berjarak dengan pencapaian artistic oleh tangan-tangan seniman mapan. Tetapi para pemuda ini jelas lebih merdeka memproduksi poster, mural, stiker atau graffiti sambil bermain-main dengan bermacam teknik grafis yang relative gampang dan cepat, terutama cukil kayu, stensil, fotokopi, sablon, atau cetak digital.

Lewat tangan mereka, Seni grafis menjadi lebih inklusif, massal dan terbuka terhadap arus bawah. Sebagian hasil kerja mereka memasuki ranah seni jalanan (street art) dengan mengambil ruang terbuka di jalanan atau direproduksi massal lantas disebarkan di tengah masyarakat.

“Kami ingin merebut ruang public dan jalanan kota dari cengkeraman iklan serta program pemerintah, lalu menjadikannya sebagai galeri terbuka,” kata Bob Oi, pemuka kelompok Marjinal.

Propaganda

Fenomena terkini dalam ranah budaya urban itu memperkaya wacana dan praktik Seni Grafis yang lebih “membumi”. Kreativitas mereka menghidupkan kembali ruh penyadaran sosial sebagaimana mengental dalam ideology seni rupa tahun 1940-an. Saat itu para seniman menjadikan grafis sebagai alat propaganda untuk mengobarkan semangat nasionalisme dan kemerdekaan Republik Indonesia (RI).

Tahun 1946, Mochtar Apin dan Baharudin MS membuat album grafis cukil-lino untuk Peringatan Satu Tahun Kemerdekaan Indonesia yang diterbitkan Urusan Pemuda Perhubungan RI dan dikirim ke sejumlah Negara. Kedua seniman itu memotret kehidupan sosial saat itu, seperti penari, arak-arakan dan suasana pelacuran.

Karya pelukis Affandi, Boeng Ajo Boeng menjadi contoh yang terkenal. Poster yang dibuat dengan teknik litografi dan dimuat di majalah Seniman (tahun 1947) itu menggambarkan seorang laki-laki memutuskan borgol di tangan sambil berteriak dan mengangkat bendera Merah Putih. Terang sekali, karya ini berusaha memompa gelora perjuangan kemerdekaan.

Surono juga banyak menghasilkan cukilan kayu yang mengangkat kehidupan sehari-hari dan perjuangan kemerdekaan. Beberapa karyanya melukiskan suasana perang gerilya, seperti karya Tiga Gerilyawan yang dimuat majalah Zenith (1947).

Begitulah, pangkal sejarah tahun 1940-an dan ujung pertumbuhan Seni Grafis tahun 2000-an ternyata sama-sama bertemu pada pijakan ideologi seni sebagai alat komunikasi visual yang terbuka bagi masyarakat luas. “Fenomena ini menyegarkan dunia seni rupa kita yang telanjur elitis, berorientasi pasar, dan hanya beredar dari galeri ke galeri” kata Ketua Komite Seni Rupa DKJ Bambang Bujono.

Bagaimana dengan praktik Seni Grafis tahun 1970-an sampai tahun 1990-an? Masa itu menawarkan corak yang lebih beragam. Tahun 1970-an muncul kelompok Desenta di Bandung yang dimotori para perupa dari ITB, antara lain Mochtar Apin, G Sidharta, AD Pirous, T Sutanto, Diddo Kusdinar, Priyanto Sunarto dan Sunaryo.

Karya periode ini menyodorkan tema yang beragam dan bersifat lebih individual. Beragam tema muncul, seperti kaligrafi Arab (AD Pirous), corak dekoratif (T Sutanto), impresi pemandangan (Zaini, Nashar), ikon-ikon tradisi Jawa (G Sidharta), serta abstrak (Ahmad Sadali, Umi Dahlan).

Tahun 1990-an, tema sosial politik juga masuk dalam ranah Seni Grafis sebagaimana dikerjakan Tisna Sanjaya di Bandung dan kelompok Taring Padi di Yogyakarta. Namun, saat itu, sebagian besar seniman masih memperlakukan Seni Grafis sebagai sampingan yang menguntit kerja pokok Seni Lukis yang memang tetap berjaya pada arus utama seni rupa.

Lengkap

Pameran “Seni Grafis, dari Cukil sampai stensil” penting karena menyajikan karya grafis para seniman Indonesia secara lengkap. Pergelaran ini menyertakan karya 70 seniman dan lima komunitas seni di Jakarta. Hampir semua karya seniman yang pernah membuat grafis tahun 1940-an sampai tahun 2000-an terwakili.

Pengunjung juga bisa menikmati karya Seni Grafis yang diterbitkan beberapa majalah kebudayaan tahun 1940 sampai 1970-an, seperti majalah Zenith, Zaman baru, Horison, Indonesia, Mimbar Indonesia, Budaya, Seniman, dan Pembangunan. Arsip ini hasil penelusuran tim kuratorial dari Pusat Data dan Dokumentasi DKJ, Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin dan Perpustakaan Nasional.

“Kami hanya bisa men-scan dan menampilkan kembali karya-karya lama itu dalam bentuk cetak digital karena karya aslinya hampir pasti tak dapat ditemukan lagi. Tetapi, itu cukup berharga sebagai bahan studi,” kata kurator pameran, Hafiz.

Ilham Khoiri (Kompas, 4 November 2007)

Tidak ada komentar: