Senin, 25 Februari 2008

Perjuangan Terakhir


Cerpen & ilustrasi Rindy

Ketika aku pulang sekolah, aku menjumpai seorang gadis berwajah pucat, tetapi disamarkan dengan merah delima bibirnya, sedang duduk di kursi tamu rumahku. Dia ditemani ibuku dan dia segera menyambutku dengan omongan basa-basi.

Kemudian ibu meninggalkan kami untuk memberi kami keleluasaan yang justru membuatku risau dalam kepedihanku yang mulai tumbuh.

“Aku minggat dari rumah”, katanya pada suatu saat, “Kau tahu ‘kan masalahnya.”

“Tidak …” kataku berbohong.

Dia memandangku lurus dan tajam ; dia tahu aku berbohong.

Lama kami saling berpandangan dan dia memandangku dengan tidak berkedip dan ketika hendak mengucapkan sesuatu, bibirnya hanya mampu bergetar. Tiba-tiba dia merangkulku sambil menangis terisak-isak. Aku hanya mampu membenamkan wajahnya di dadaku dan rambutnya kuelus dengan jemariku sambil kutempelkan bibirku pada ubun-ubunnya.

Sore harinya aku mendatangi rumah orang tuanya. Ibunya menerimaku dengan perasaan curiga yang biasa ditunjukkan oleh seorang ibu yang sedang terluka.

“Nakmas teman putriku yang dahulu sering kesini, bukan?”

“Ya, bu …” kataku setelah duduk. “Saya mempunyai keperluan yang sangat penting mengenai putri ibu.”

“Sudah kuduga”

Betapa singkat dan mustajab kedengkian kalimat yang membuatku tersinggung.

“Apa maksud ibu dengan … sudah kuduga?”

“Suatu hal yang membutuhkan tanggung jawab, bukan?”

“Coba … Apakah putri ibu pernah menyebut nama saya ketika dia menangis?” kataku.

“Maafkan ibu nakmas” kata beliau sambil menangis,”Ibu bingung nakmas … Ibu terhina …”

“Tenanglah ibu,” kataku menenteramkan kerisauan “Putri ibu berada dirumah saya.”

“Jadi, anak malang itu ada disana?” kata beliau mulai riang “Syukurlah, ada yang sudi merawatnya.”

Ketika aku berpamitan, beliau mengantarku sampai dipagar teralis besi sambil mengatakan dengan lirih dan tersendat-sendat; “Beritahu kami, jika anak itu telah melahirkan.”

Setiap sehabis periksa kandungan di dokter praktek, dia sering kuajak berjalan-jalan sambil membeli racikan jamu Jawa, agar stamina tubuhnya selalu terjaga dan untuk kesehatan bayi yang dikandungnya.

Terasa olehku bahwa teman-teman mulai mencurigaiku sebagai yang membawa aib pada diri seorang gadis muda.

Mereka selalu mengingatkan pada masa lampau kami yang manis.

Dan yang membuat kenangan pada diriku yaitu mengenai bertumpuknya penyesalan dan kepedihan yang merambah kedalam jiwaku setelah lama aku berpisah dengannya.

Mereka selalu menyudutkanku. Mereka menutup mata dan telinga rapat-rapat. Mereka menyamarkannya melalui fitnah tentang hubunganku yang sebenarnya.

“Apakah aku masih mencintainya?” bentakku risau.

“Seorang gadis yang sedang jatuh cinta, mudah sekali dibuat mengandung,” cemooh mereka.

Sebagai seorang gadis muda, dengan segala kelebihan dan kelemahannya, dengan sifat yang tidak kusukai maupun yang kusukai, ia mempunyai firasat seksama bila melihat perubahan sikapku yang agak tidak biasa kutunjukkan apabila aku sedang bersamanya.

Dengan cemas dan sambil memegang kedua tanganku, dipaksanya aku agar banyak tersenyum.

“Banyak penderitaan yang kau alami karena aku. Sepertinya aku merepotkanmu, ya !”

“Sama sekalli tidak. Kau jangan berprasangka yang bukan-bukan tentang sikapku.”

Dan dia sangat percaya pada kata-kataku.

Pada suatu sore yang segar, dengan kemilau sinar senjakala, kami duduk diteras sambil mengenang masa lampau kami yang memedihkan.

“Kau benar …” katanya pada suatu saat “Aku merupakan mahluk emosional yang mengharukan.”

“sudahlah” kataku mulai risau “Kau sudah menyelesaikan empat baju bayi dalam rajutanmu yang luwes, bukan. Kau cepat bisa. Setelah itu kau harus membuat topi dan sepatu.”

Tetapi dia tidak menghiraukan gurauanku yang risau.

“Setelah kita berpisah” demikian katanya selanjutnya “Tidak lama kemudian aku menjalin hubungan dengan seorang cowok. Dan kunyalakan gairah itu dan kuletubkan perasaanku. Yeah, kami menikmatinya dengan segala perasaan mesra melalui pancaran cinta yang selalu kau ributkan. Kami diliputi kebahagiaan dalam menikmati gayutan cinta. Tidurku sangat nyaman apabila dalam pelukannya. Aku selalu menuangkan secangkir kopi dan sarapan pagi apabila kami hendak berangkat sekolah."

Sampai tiba saatnya aku harus mengatakan kepadanya: Apa kamu ingin bayi? Tetapi hari naas dan cangkir melayang yang kudapati. Aku bebal, selama itu aku tidak pernah merasa bahwa diriku hanya seorang pelacur bagi dia. Betapa sakit hati dan malu. Lebih pedih dari sepuluh jari tangannya yang membekasi pipiku. Apakah aku dimatanya seperti hendak menagih uang bayaran ? Apakah begitu cinta lelaki ?”

Aku memeluk tubuhnya yang berguncang oleh tangisnya. Berangsur-angsur dia meninggalkan tangisnya. Wajah kami berdekatan dengan mesra. Tetapi aku tahu, bahwa dia menderita. Sangat menderita. Kehidupannya hancur. Keluhurannya hancur. Hatiku patah. Berkeping-keping. Pucat. Terhuyung-huyung.

Pada suatu malam, dengan gugup, aku berlari menuju telepon umum.

“Ada seorang gadis hendak melahirkan,” kataku dengan panik pada petugas rumah sakit.

Aku juga menelpon ibunya.

Meskipun di rumah sakit, aku tetap menggenggam tangannya. Sambil mengeluh, dia memandangku; tetapi aku tidak mampu lama membalas pandangannya.

Sementara itu, dia hampir tidak sadar dengan dirinya. Dia merasa harus terbebas dari rasa sakit yang mengganggunya. Rasa nyeri yang memedih pedih. Segala yang membuat hidup manusia menjadi berarti sedang dia pertaruhkan. Sedang dia perjuangkan dengan segenap kekuatan pengampunan. Aku merasa tidak sampai hati melihatnya melahirkan.

Di depan pintu, disuatu ruang yang merupakan tempat dimana dia harus melahirkan, dia mengharap, dengan kata-kata yang mirip desau kepiluan, agar aku diperbolehkan mendampinginya.

Dia memegang tanganku semakin kuat. Aku hampir tidak dapat menahan diri untuk tidak menangis; aku hanya menggigit bibirku erat-erat.

Tiba-tiba lengan baju kokoku robek karena dia sangat kuat dalam meronta. Pergelangan tanganku terdapat banyak barut dan dari barut itu terlihat darah mrentul dari permukaannya dan mulai menetes. Menetesi bibirnya yang memutih; yang kemudian dengan tanpa sadar dijilatnya.

Tiba-tiba tangannya merangkul leherku kuat-kuat. Dia sedang dalam puncak kesakitan, pikirku menangis.

Seluruh wajahku diciuminya dengan panik.

Bibirku singgah lama dipipinya. Aku menciumnya dengan hangat agar dia tampak lebih tenang.

Sambil menangis dan tersenyum bergetar, dia membelalakkan matanya dan berseru ;

“Aku belum ingin mati. Aku takut mati.”

Tiba-tiba dia lunglai.

“Pendarahan” kata pak dokter “Sebenarnya dia belum saatnya mengandung.”

Aku memandanginya dengan lembut; rambut ikalnya tergerai diatas bentuk wajahnya yang indah, cantik dalam kepucatan yang diterangi cahaya lembut lampu kamar. Dia mendengar aku mendekat dan dia membuka matanya dengan lemah sambil memandangiku. Dengan gemetar, dia membuka bibir mungilnya. Dengan suara yang mengharukan, dia membuatku merendahkan kepala dan mendekatkan telinga dengan hikmat.

“Maukah engkau menerima maaf dariku. Maukah engkau untuk tidak meninggalkanku. Kau harus meninggalkanku. Kau harus memilih istri seorang gadis baik-baik agar kau bahagia. Aku akan selalu mendoakan agar kau bahagia dengan istrimu kelak …” katanya dengan tersengal-sengal memilukan. Sementara itu air matanya meleleh bercampur dengan darahku.

“Tidak” kataku “Aku mencintaimu. Aku menyesal dahulu selalu menyakiti hatimu. Percayalah kau akan hidup berbahagia bersamaku dengan anak itu.”

“Jangan” lenguhnya “Kau haus kawin dengan seorang gadis baik-baik agar kau bahagia.”

Tetapi pak dokter mencegahku agar aku tidak terlalu lama berbicara.

“Secepatnya akan dilakukan tindak operasi …ada yang bermasalah pada bayinya …” kata pak dokter.

“Bayinya, dokter …”

Aku mondar mandir diteras, dilantai yang dingin dan licin sambil memandang kehujan yang semakin deras dan yang membuat kabut melimbah pekat keseluruh dataran. Dan pepohonan yang rungkut menjadi bias yang mengharukan.

Aku berjalan mondar mandir dari lorong kelorong dengan tidak menyadari bahwa untuk apa kaki itu dibuat sedemikian rupa sehingga orang tidak perlu bersusah payah untuk menghampiri keinginan-keinginannya; yaitu tentang sanubari yang bagaimana, atau macam apa, sehingga kaki-kaki dan keinginan itu mempunyai kemungkinan untuk bertentangan.

Tetapi secara gamblang aku menyadari bahwa diriku sedang terancam atau tersudut pada suatu pilihan, yang sekurang-kurangnya, melalui sanubariku, mengharapkan kepadaku bahwa aku tidak mungkin dapat membebaskan diriku mengenai kepentingan pribadi; yaitu mengenai hubunganku dengannya yang tanpa kusadari telah mengalir kembali dengan hangat.

Akhirnya aku menghampiri ibunya, yang senantiasa selalu memandangku, dan ibunya memelukku dengan segenap kehangatan seperti yang biasa beliau berikan kepada anak-anaknya.

Tiba-tiba pintu operasi dibuka lambat-lambat. Dan seorang dokter berjalan mendekat. Pak dokter yang tampak lelah, diam mematung dan memandangku dengan tanpa nyala api kemauan.

Kami bangkit berdiri dengan keinginan untuk menyongsong takdir yang menggigilkan.

Dan kataku lambat-lambat;

“Dia seorang gadis muda pemberani yang dapat dikalahkan; dia telah kalah dalam melawan kemudaannya.”

Sedangkan mataku tetap terpaku pada ruang operasi yang telah sunyi.

Rindy Atmoko, 1982

(Didedikasikan untuk seorang teman yang telah kalah dalam melawan kemudaannya).

Tidak ada komentar: