Minggu, 29 Juni 2008

POLITIK KANTOR

Pada sebuah acara makan siang seorang teman mengeluhkan suasana kantornya, sebuah perusahaan multinasional, yang sarat dengan kegiatan “berpolitik”. Ditempat kerjanya, berkembang “klik-klikan” makan siang ataupun jemputan yang kemudian menjadi hubungan tertutup. Hubungan tersebut sangat erat satu sama lain, di mana mereka berbagi gossip dan fakta, menunjukkan sikap subjektif dalam melihat masalah dan bahkan memengaruhi penunjukkan dan pemilihan anggota tim. Teman saya yang lain kemudian berkomentar, “Yaah … kalau sudah ada lebih dari dua orang karyawan dalam satu tim, sudah pastilah ada “politik”nya.

Politik kantor yang sering ditanggapi orang dengan sikap “alergik” pada kenyataannya tidak pernah punah, bahkan merupakan realita. Kita sering tidak bersimpati dengan seseorang yang “sok bener” terutama di depan atasannya, bahkan tega “menyingkirkan” semua orang yang dianggap tidak benar, apalagi “membahayakan kedudukannya”. Ada juga individu yang tidak kita sukai karena ia pandai sekali memanfaatkan “power”, dan bisa membuat ketergantungan atasan pada dia, sehingga pada “timing” yang tepat, ia bisa unjuk gigi alias bermain dengan bargaining power-nya.

Mengapa situasi “berpolitik” seperti ini menjengkelkan orang-orang yang berada di “luar permainan” ? Menurut ahlinya, politik kantor ini menjadi lebih kelihatan nyata pada lembaga yang kekuatan SDM-nya tidak seimbang, misalnya banyak yang produktif sementara banyak yang bermalas-masalan. Ada istilah “like and dislike” yang muncul karena standar kinerja yang sulit dibuktikan apalagi dihitung, juga job description yang tidak seimbang dan tidak jelas, yang kesemuanya bisa membangkitkan rasa tidak aman dalam bekerja. Rasa tidak aman ini terutama akan lebih terasa lagi, pada orang yang sama sekali tidak mau “bermain” dan juga tidak menyadari bahaya apalagi tahu cara mainnya.

Politik kantor memang sangat subyektif dan informal, inilah sebabnya hal itu terasa tetapi sulit diraba dan teraga.

Tahu Apa yang kita Mau

Teman saya, yang bekerja di sebuah perusahaan berukuran sedang merasa bahwa ia juga harus melakukan kegiatan lobby, mengikuti kegiatan-kegiatan minum teh bahkan mempersuasi pengambil keputusan, ketika ia berusaha menjalankan rencana mengubah operating system jaringan informasi di perusahaannya. Melihat bahwa ia benar-benar berjuang demi penggantian system tanpa berniat mendapatkan kedudukan, kedekatan dan power bagi dirinya, saya lantas menanyakan hal apa yang dia bela matia-matian? Dengan santai ia menjawab bahwa yang ia bela adalah sekedar kinerja pribadinya. Tanpa kasak-kusuk, bujuk-membujuk, sikap super baik, dan mendekati orang-orang kunci, ia tahu tidak mungkin ia berhasil menjalankan perubahan yang menyulitkan di perusahaan tanpa adanya dukungan.

“Sederhananya, saya tidak idealis-idealis amat. Saya tahu bila penerapan system ini gagal, karir saya akan terhambat.”

Untuk survive di lingkungan organisasi, kita memang perlu kuat dan berakar, serta tahu apa yang kita mau. Kita bisa menyasar hal-hal material, kita bisa juga mementingkan karir, kinerja dan peningkatan kompetensi, sementara orang lain ada yang memburu keterlibatannya dalam kelompok tertentu, power atau control terhadap situasi.

Namun, berdiam diri dan berharap bahwa segala sesuatu akan berjalan sesuai dengan system yang ada, memang hampir tidak mungkin.

“Kita perlu tahu di mana pusat kekuatan, siapa orang yang berpengaruh dan bisa memengaruhi lingkungan social. Kita pun perlu bisa me-“licin” kan upaya kita melalui pendekatan,” demikian ungkap teman saya.

Sepanjang kita bersikap fair, tidak manipulatif dan curang, me-lobby, mempersuasi dan berpolitik memang harus dilakukan. Sikap negative seperti yang kita kenal misalnya “system loncat kodok”, menyembah keatas menendang kebawah, tentunya adalah gaya yang tidak anggun dan tidak dilakukan oleh orang yang tahu berpolitik dengan baik.

Bertindak halal tanpa Menghalalkan Segala Cara

Ketika dalam suatu rapat, CEO perusahaan tempat saya bekerja mengumumkan bahwa rekrutmen di perusahaan ini menganut system keluarga dan pertemanan, saya baru memahami bahwa di dalam berorganisasi ada realitas berpolitik yang perlu dicermati. Hal ini menyangkut siapa dekat dengan siapa, siapa mempunyai pandangan yang sama dengan yang mana, siapa pemain kunci dan siapa sekedar pengikut atau penggembira. Jejaring pertemanan yang berdasarkan kedekatan masa kecil, almamater, kesamaan pandangan atau ideology biasanya merupakan lahan berpolitik. Sama seperti strategi perang, berpolitik pun memerlukan pemetaan dan perencanaan yang mapan.

Dari pengamatan para ahli, orang-orang kuat dalam perusahaan dan organisasi biasanya memang bukannya tidak berstrategi, mereka juga “politically savvy”. Orang-orang ini tahu bagaimana berhubungan dengan atasan. Bersamaan dengan upaya itu, seorang tahu berpolitik pasti berupaya untuk selalu “tampil” di rapat-rapat penting, tahu mendekati “orang-orang kunci”, menunjukkan “corporate manners” yg baik dan menampilkan kemampuannya sebagai “team player”.

Berproduksi itu Mutlak, Berpolitik itu cara bergaul

Dalam organisasi apapun, kita hanya bisa eksis bila memiliki kontribusi yang signifikan. Kontribusi yang sudah kita tunjukkan jangan sampai dikotori dengan mempraktekkan cara gaul murahan seperti bergosip, menekan, menyalah gunakan jabatan dan mencari muka tanpa alasan.

(KOMPAS, EXPERD, 28 Juni 2008)

Tidak ada komentar: