Jumat, 02 Januari 2009

Tentang ISI dan lain-lain

Akhirnya, ISI memang berdiri, 23 Juli 1984. Apakah ia akan membawa angin segar dalam perjalanan seni di negeri ini ? Ataukah sekedar melahirkan nama baru dengan menggabungkan tiga sekolah atau akademi kesenian (STSRI “ASRI”, ASTI dan AMI)?
But Muchtar, sebagai Rektor Pertama, mencoba menjawabnya.


SANI (S) : Pada waktu pak Nugroho (Mendikbud) meresmikan ISI Juli lalu, antara lain dikatakan, ISI hendaknya mempersiapkan seniman-seniman yang baik. Tafsiran pak But tentang seniman yang baik itu bagaimana ?
BUT MUCHTAR (BM) : Sebelum kita berbicara tentang pendidikan, kita sudah mengenal seniman lebih dulu. Jadi, seniman itu dibuat oleh diri sendiri. Seniman yang baik produktif, kreatif, selalu berkarya. Karyanya selalu baru, tidak mengulang-ngulang. Bukan berarti bahwa orang lain sudah membuat lalu kita mengulang. Seniman yang baik adalah seniman yang selalu berusaha menghasilan karya yang baru, baik baginya maupun bagi masyarakat. Na … ini seniman umum. Tidak berbicara mengenai pendidikan.
Dahulu kita mengenal banyak sekali seniman otodidak. Sampai sekarang pun saya masih percaya akan adanya seniman otodidak, seniman yang dibuat oleh diri sendiri. Semakin berkembang masyarakat, seniman otodidak semakin berkurang. Itu karena ditemukan suatu system di mana ternyata seniman bisa dibuat melalui suatu pendidikan. Tetapi dahulu juga ada sanggar. Tetapi sanggar ini kepunyaan seseorang, atau kita katakana “empu”. Dalam bahasa asingnya seorang “maestro”. Murid-murid dating pada dia, lalu dia menyuruh dia membuat ini itu, atau membantu dia saja. Itu juga pendidikan, tapi cara sanggar.
Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam system itu si murid akan menjadi murid terus. Begitu dia keluar, jadi maestro kecil, dia menjadi a kecil, b kecil, c kecil. Tapi itu juga suatu system bagaimana membentuk seorang seniman, sedangkan otodidak berdiri di atas kaki sendiri.
Sistem sanggar ini berkembang menjadi system akademi, yang di India, Eropa, sangat popular. Tapi di dalam akademi itu ada tokohnya. Tokoh tetap merupakan satu unsure yang penting. Sehingga bila kita mau belajar melukis, lalu memasuki akademi, yang dicari sebetulnya adalah tokoh tertentu.
Sebenarnya orang Amerika yang menemukan system yang terakhir, yang juga kita anut sampai sekarang. Bahwa seniman bisa dibentuk tanpa tokoh, yaitu melalui system pendidikan yang berstrata. Sehingga dia dibentuk sebetulnya oleh kemampuan sendiri dalam mengunyah kurikulum. Si guru itu adalah pembantu. Program yang kita tuangkan dalam kurikulum itulah yang menjadi penting. Guaru membawakan program ini. Dengan sendirinya, guru-guru yang ada di dalam perguruan tinggi seperti “ASRI” (ISI) secara sepakat harus menyetujui dulu programnya. Satu orang tidak setuju, tidak jalan. Semuanya harus setuju. Kalau dia tak setuju, yaaa … boleh cari yang lain. Apalagi mahasiswanya. Karena ini adalah kesepakatan. Inilah program yang menurut para pengajar bisa membawakan, membentuk seorang menjadi seniman.
Tapi jangan lupa bahwa sekolah tinggi atau perguruan tinggi itu belum tentu berhasil membentuk seniman; begitu seseorang keluar lantas dianggap seniman. Pendidikan tinggi hanya mengantarkan.
Jadi pesan pak Mentri, kurikulumnya sedemikian rupa dibuatnya, sehingga dia betul-betul keluar langsung jadi seniman. Tapi untuk mencetak seniman pada waktu dia lulus, dalam sejarah manapun juga tidak mungkin. Disamping itu, sebutan “seniman” diberikan oleh masyarakat bila dia memang senantiasa berkarya dan terus berkembang.
S : Jadi memang bukan itu tujuan utamanya. Tapi disini ada juga konsep kesarjanaan. Salah satu tujuan ISI misalnya, tidak hanya menyiapkan seniman, tetapi juga sarjana. Apakah menurut pak But ada perbedaan tegas antara kedua konsep ini?
BM : Begini. Perbedaan pasti ada. Kalau dia seorang sarjana dia dituntut memiliki wawasan secara ilmiah. Dapat mengungkapkan pendapatnya secara ilmiah. Tapi ini, lukisan (sambil menunjuk sebuah lukisan di ruang tamu) tidak bisa diterangkan secara ilmiah. Tapi kalau dia mengemukakan pendapat atau menulis, dia berdebat waktu seminar, dia harus bisa mempertanggungjawabkan secara ilmiah.
Mencetak ini lebih mudah daripada mencetak seniman. Begitu dia lulus dari pendidikan di ISI misalnya, kita lebih bisa mengatakan bahwa dia memang mampu menjadi seorang sarjana. Tetapi mengatakan dia seorang seniman, susah ! Karena dia sendiri yang menentukan. Naa … sarjana itu tanggungjawabnya ialah bahwa dia bertanggungjawab secara ilmiah atas segala pendapatnya. Pendapatnya itu adalah tertulis, ditulis.
ISI ini diberi tugas yang sulit oleh pemerintah. Dia harus bisa mencetak sarjana, dia harus bisa mencetak seniman. Oleh karena itu dibuat dua jalur. Jadi ada jalur sarjana, ada jalur seniman.
Seorang seniman yang dididik lewat jalur kesarjanaan, menurut pengamtan orang-orang yang telah lewat jalur ini, karyanyapun senantiasa berkembang. Menjadi seniman yang produktif. Seniman produktif adalah, ada gejolak apa pun dia mengamati, menghayati, dia bisa melewati, dia berkarya terus atas dasar apa yang dia lihat, apa yang dia rasakan itu. Dia boleh tidak setuju dengan keadaan, tetapi kalau dia hanya menggerutu, menggerutu di dalam dirinya … dia mau jadi seniman, koq nggak berkarya? Tapi kalau dia sudah melewati jalur sarjana, dia mudah melampaui masa-masa perubahan itu dengan tetap produktif, dan produktifnya sebetulnya suatu respons terhadap keadaan-keadaan yang dia lewati itu. Ini saya alami terhadap teman-teman, baik yang ada di Indonesia maupun di tempat lain.
Dia akan berkembang terus. Orang yang belum melewati jalur ini, tergantung pada dirinya, pada orangnya, kalau dia memang orang kuat, keras, ulet, dia juga akan bisa menerobos itu semua. Tapi kebanyakan tidak. Mandeg ! Dia pandai, trampil, tapi tidak berkembang. Begitu keluar dari pendidikannya, dari pendidikan kesenimanan, dia tidak berkembang. Makin trampil, tapi tidak makin kreatif. Itu kan dua hal yang berbeda. Kreatifitas dan ketrampilan.
S : Apakah “konsep” pak But ini nantinya bisa diterapkan? Tanpa pemisahan dua jalur ?
BM : Sudah jadi keputusan Mendikbud. Oleh karena saya pada waktu ini belum begitu siap menerapkan sekarang, jalur seniman ini. Saya masih memerlukan waktu untuk bisa berdiskusi dengan teman-teman disini, dan ahli-ahli lain. Mungkin dua tiga tahun lagi, kalau ketemu konsep yang baik, karena masyarakat sendiri yang menuntut ; saya nggak mau jadi sarjana, saya maunya jadi seniman.
Dibeda-bedakan sih … banyak itu di “ASRI”, di “ITB” juga ada, di Jakarta ada. Padahal jadi seniman itu lebih berat. Jauh lebih berat. Menyebut seniman tapi enggak berkarya buat apa ? Sarjana, paling-paling hanya ngomong. Padahal kalau ngomong dia harus hati-hati.
S : Sebab seniman toh golongan intelektual juga ?
BM : Sebetulnya ya, sebetulnya dua jadi satu.


Disarikan dari Buletin “SANI” edisi XXI Oktober 1984 (Buletin internal Fakultas Seni Rupa & Desain “ASRI”, ISI, Yogyakarta)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Mas, apa sih triknya and tips supaya test praktek dan gambar kira "menarik" ama juri masuk FSR ISI?