Dia seorang gadis yang kecantikannya dapatlah disepadankan dengan gambaran kecantikan yang selalu dipergunjingkan oleh para pujangga.
Semula, karena dia merupakan murid baru di kelasku, dia kuanggap tidak lebih seperti murid lainnya. Tetapi semenjak aku merasakan kelainan pada tingkah lakunya, yang menakjubkan, aku mulai menganggap bahwa kehadirannya membuatku selalu bertanya-tanya. Kecantikan memang suatu teka-teki. Suatu hal yang patut diperdebatkan.
Matanya. Aku suka apabila melihat keindahannya. Biarpun di dalam kedalaman matanya tercantum keliaran yang disembunyikan, tetapi matanya tetap mengandung keindahan yang mencurigakan; suatu kegelisahan yang menjadi menakjubkan daya tarik. Aku selalu memaki-maki dalam hati, apabila pandangan kami saling berbenturan.
Pada suatu hari, ketika sedang berlangsung pelajaran agama, yang mungkin membuatnya terharu, dia kelihatan termenung.
Sambil menumpangkan dagunya melalui tangan kanannya dan menggigit ballpoint yang diletakkan dalam posisi empat puluh lima derajat; dia sedang melupakan dirinya. Matanya memandang lurus kedepan; didalam kedalaman matanya tidak ada kegairahan yang biasa nampak pada gadis muda. Kegairahan itu telah lenyap dan berganti dengan kemuram durjaan yang merupakan penampilan paling dukana yang pertama kalinya kulihat sejak dia duduk dibangku sekolahku.
Lama kelamaan, matanya yang indah itu berkaca-kaca, dan kelihatanlah bahwa dia seperti sedang berjuang melawan sesuatu yang tidak tampak melalui pikirannya. Bibirnya juga bergetar.
Kukira hatiku, tanpa kusadari, telah ikut hanyut dalam suatu gelora yang tidak sabar dan memaksaku bergerak melawan kepercayaan diri.
Pada suatu pagi, aku sarapan pagi di kantin sekolah. Kantin sangat ramai. Tetapi disebelah pojok kulihat kursi masih kosong. Aku melihat sekeliling sebentar sebelum aku mulai menyantap.
Dan karena tempat duduk disampingnya sudah ditempati seorang temannya, maka aku hanya memandangnya dari jauh. Dan ketika dia melihatku bahwa aku memandangnya dengan pandangan ramah, yang tidak biasa kuperlihatkan pada gadis manapun, maka dia segera mengucapkan selamat pagi sambil melambaikan tangan yang menggenggam sapu tangan.
“Berapa kira-kira harga yang pantas untuk semangkok mie rebus dan segelas the kelebihan gula”, kataku kepada mbok Arjo, setelah aku selesai sarapan.
Tiba-tiba dia mendekatiku dari belakang sambil menyentuhkan jarinya dengan lembut kebahuku.
“Tidak perlu repot-repot meikirkan sarapan pagimu” katanya lembut.
Kami menjadi berbantahan dalam persoalan pembayaran. Tidak harus selalu lelaki yang membayari cewek, katanya. Dia berusaha mendekatiku, dan aku berusaha mengenal dirinya dengan lebih mendasar.
Akhirnya kami dilerai agar membayar sendiri-sendiri saja. Sambil malu-malu, aku tertawa terbahak-bahak.
Kemudian kami berjalan lambat-lambat berdampingan melalui lorong-lorong sekolahan menuju kelas, sambil dia bercerita panjang lebar tentang kehidupan dan kemajuan jaman.
Tetapi aku tidak peduli lagi. Suatu perasaan aneh, yang baginya mungkin tidak disadari oleh suatu kepentingan kewaspadaan, telah mengungkungku bagai kemuakan sekaligus rasa sayng.
Bila kusentuhkan lenganku pada bahunya, dan kuhirup udara sekeliling dengan hikmat, terciumlah bau susu dari susu seorang ibu yang menyusui. Tersamar pula dengan aroma minyak telon. Gila ! Apakah tapsiranku menjadi kenyataan ?
Segera setelah itu, satu minggu sesudahnya, kuterbitkan sebuah cerita pendek dengan judul “Kecantikan yang mengharukan” pada majalah sekolah yang kupimpin.
Dan kecemasanku telah menjadi kenyataan yang tegar dan kepedihan yang melemaskan. Tidak kusangkal, dalam menjawab komentar guruku mengenai cerpenku, yaitu yang disebutnya sebagai “ketidak percayaan, kesuraman dan kesia-siaan.”
Tetapi aku tidak mempedulikan suatu kemenangan yang pucat. Seperti sebuah tepuk tangan yang menyakitkan.
Dia mungkin tidak akan menganggapku sebagai yang mencurahkan kalbu tersamar yang menghantam menara peradaban. Atau mungkin di pura-pura tidak tahu.
Dengan sikapnya yang tulus ikhlas, dia senantiasa memberikan salamnya. Disertai kerlingnya. Dengan lagaknya yang mengandung kelembutan langkah gadis muda, dia menghidupkan semangatku untuk mencintainya; memberikan kepadaku ssuatu kegetiran yang kucoba kulangkahi agar membuatku memandangnya dengan rasa welas asih.
Dia tidak melengoskan muka apabila kupandang; bila kutatap dengan tajam. Dia tidak memberikan kepadaku suatu sikap permusuhan sekaligus perlawanan.
Sifat maha penyayangnya terkadang muncul bagai suatu kewajiban ketika melihatku termenung.
Demikian juga pada suatu hari.
Setelah berbasa basi tentang pelajaran yang memusingkan dan sedikit menyesali kegaduhan teman-teman yang mulai kelaparan, dia bertanya;
“Aku sangat tertarik dengan cerpenmu, gadis mana yang menjadi sumber inspirasimu?” katanya sambil melahap dengan sopan kue lapis legitnya.
Karena aku tidak memberikan jawaban, dia melanjutkan kegilaannya.
“Oh, mengapa kau suka mendalami hal-hal seperti itu?” katanya sambil memegang tanganku dengan lembut.
Sambil meremas tanganku, “Eh, kapan kamu mau maen kerumahku?” katanya berbisik.
Tentunya dia mempunyai kesan yang menarik sekali tentang diriku, pikirku gemetar.
Pada suatu sore yang mendung, aku menuju rumah kontrakannya yang sederhana.
Aku menjumpainya ketika dia sedang duduk diteras rumah sambil menimang bayinya.
Aku berjalan semakin lambat dan berhenti didekatnya.
Apakah yang dpat dia berikan melalui pandangannya yang memelas kepadaku kecuali hanya menambah kebimbanganku mengetahui lebih dalam tentang dirinya yang sebenarnya.
Setelah menghela napas dan menguatkan hati dalam memperlakukan suatu sikap menghampiri yang biasa ditunjukkan pada pertemuan antar sahabat, maka aku mencobai suatu perasaan yang menarik sekali tentang kelemahan hati. Tentang pukauan kecil dari ketidak percayaan yang telah berubah menjadi kenyataan.
Setelah aku dipersilahkan duduk dan setelah dia menidurkan bayinya dalam tempat tidur bayi, dia menghampiriku dan duduk disampingku dan memeluk lenganku dengan manja.
Aku, yang dapat menilai bahwa diriku seorang yang kaku, toh, tidak bias lagi bersikap apa adanya lagi terhadapnya. Aku gemetar, muak, terhina, marah, menangis, pedih, putus asa yang tanpa dapat kubendung lagi.
Dia berkata-kata yang sekurang-kurangnya telah membuatku mengingat tentang cerpenku yang sangat mengena itu. Kukira hatiku ikut bergerak kearah pemahaman dan campuran antara keresahan dan keharuan.
Dia tampak bahagia mendekapku sore itu sambil membicarakan hal-hal yang riang. Dan senantiasa aku tersudut kaku tanpa daya.
“Cinta adalah hasrat naluriah”, katanya sambil mencium bibirku dengan lembut; seusai kami bersantap malam dengannya.
Kemudian kami menuju ruang tamu yang masih menyisakan aroma melati. Kursi itu masih hangat ketika kami duduki dengan santai, dan sorot lampu cozy yang romantis itu, telah menghipnotis kerusuhan hatiku.
Sementara hujan mulai merentaki genting sambil meningkah dengan rapi.
Dan seperti sudah selayaknya arti sebuah persahabatan yang dilapis empati, maka aku menggeletarkan kepentingan sikapku yang semakin tidak berdaya dalam menghadapi jiwaku yang kecewa dan serba sulit dalam melawan berbagai pertimbangan yang menusuk-nusuk.
Tiba-tiba sekelebat kalimat mengguncang ;
“Sanggupkah kau melihat dirimu bercermin sambil telanjang dan menyusui bayimu” bisikku didekat bibirnya.
Bibirnya bergetar.
“Apakah pernikahan sangat sakral bagimu?” katanya sambil tertawa bergetar.
Tiba-tiba aku sangat benci pada tawa semacam itu.
“Apakah seorang yang sedang dalam pelukan kekasihnya dapat berbicara dengan jujur?” kataku dengan tenang.
Tetapi dia tidak menjawabnya …
Tetapi, beberapa menit kemudian, setelah keheningan yang terasa berabad-abad, telah diberikannya jawaban melalui air matanya yang mulai kembeng-kembeng di dalam pelupuk matanya’ yang keluar dari dalam hatinya. Sungguhkah kepikir tentang apa adanya? Barangkali melalui air matanya telah kutemui resapan mawas diri dalam diri gadis muda yang berada disampingku; yang tergolek dalam pelukan hatiku.
Dia tersedu-sedu dan aku menjadi semakin kaku akan keadaan itu. Dia memegang erat-erat tanganku sambil diciumnya. Tetapi dilepaskannya tanganku dan dipeluklah pinggangku dan wajahnya dibenamkan didadaku.
Sementara air matanya membasahi dadaku; yang mendidih dalam hatiku.
Pada saat itu pula, kenekatannya yang dicoba diterangkan kepadaku telah menjadi keheningan yang bercampur dengan isak tangis.
Dalam pergulatan kehidupannya yang pedih, dia telah mencekamku dengan membuatku terharu.
By Rindy Atmoko
Yogyakarta, 1982
Kisah ini di inspirasikan dari seorang teman sekolah pindahan dari sekolah SMA lain. Dia pindah karena mempunayi seorang bayi diluar nikah dan aku sangat simpati kepadanya. Pertama karena dia cantik, kedua karena dia bodoh dan ketiga karena budaya Timur masih merugikan harkat wanita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar