Sebuah pameran seni yang akan dimulai pekan ini di Jakarta memetakan Seni Grafis di dalam perspektif sejarah. Selama ini beredar anggapan bahwa grafis adalah seni pinggiran, yang tertinggal jauh dari jenis seni rupa lain seperti lukisan atau patung, sementara pameran ini justru akan merayakannya sebagai jenis seni mandiri yang terus hadir dan selalu berhubungan dengan pencapaian teknologi.
Pameran “Seni Grafis Indonesia: Dari Cukil sampai Stensil” hasil kerja sama Bentara Budaya, Dewan Kesenian Jakarta dan Galeri Nasional ini akan menampilkan koleksi dari tiga lembaga kebudayaan tersebut. Sekain itu, juga karya-karya yang diambil dari berbagai majalah yang memuat karya-karya grafis sejak tahun 1940-an, dilengkapi karya-karya masa kini dari 19 seniman perorangan/ kelompok.
Diresmikan di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), jalan Palmerah Selatan 17, Kamis (1/11) malam, pameran berlangsung di dua tempat, yaitu di BBJ sampai 15 November dan di Galeri Nasional, Jalan Medan Merdeka Timur 14, Jakarta, pada 2-11 November . Kegiatan ini diisi dengan lokakarya di Galeri Nasional hari Selasa (6/11) pukul 15.00 serta diskusi bersama Aminudin Th Siregar, Agung Kurniawan dan Ade Dharmawan di BBJ, 8 November pukul 14.00.
Pengunjung pameran akan mendapati berbagai teknik dan medium yang sudah lama dikenal, seperti cukil kayu, cukilan lino atau etsa, sejak karya Suromo, Mochtar Apin atau Baharudin MS dan buah tangan para penggiat Decenta. Tampil pula Grafis yang paling mutakhir berupa cetak cigital hingga cetak stensil garapan para perupa dari generasi terbaru. Beberapa karya ditampilkan sebagai karya seni instalasi, disamping garapan perupa yang mengerjakannya diatas bidang transparan sehingga mendapatkan efek visual khas.
Upaya “mengangkat” Seni Grafis sudah sering dilakukan. Lomba dalam Trienal Seni Grafis yang sudah dua kali (2003 dan 2006) diselenggarakan oleh BBJ menopang upaya tersebut. Pameran bersama tiga lembaga kebudayaan ini diharap lebih mendorong apresiasi publik, yang belum menggembirakan.
Aplikasi Seni Grafis sesungguhnya sangat dekat dengan keseharian kita, bahkan gampang dijumpai dalam tampilan barang-barang seperti sablon di poster, kaus, spanduk, cetakan di tas atau cangkir souvenir. Sebagai “seni”, grafis sering dikatakan sebagai praktik seni rupa paling demokratis. Ciri lain, hubungannya amat erat dengan teknologi dan media masa.
Sifatnya yang terbuka dan bisa diperbanyak ini antara lain yang membedakannya dengan Seni Lukis, yang bersifat tunggal.
Pada kenyataannya, boom Seni Lukis akhir 1980-an tidak menyentuh dunia Seni grafis, yang sampai sekarang belum dihargai tinggi secara ekonomi.
(Kompas, 31 Oktober 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar