Selama ini, secara umum orang lebih mengenal visualisasi dari ekspresi seni rupa adalah seni lukis dan seni patung. Hiruk pikuk dan “rejeki nomplok” pameran seni rupa, sepertinya hanya menghadirkan 2 mashab itulah yang dianggap merepresentasikan ekspresi jiwa seniman. Pada hal dalam peta percaturan seni rupa modern, ada media ekspresi yang tidak kalah menantangnya. Yaitu, Seni grafis.
Yang dimaksud dengan Seni Grafis adalah, salah satu “cabang” dari seni rupa.
Seni Grafis sebenarnya sudah dikenal lama. Karya cetak cukilan kayu (wood cut), misalnya, diperkirakan sudah muncul di Cina kira-kira pertengahan abad VII. Di Eropa, cukilan kayu mulai dikenal sekitar awal abad XV.
Seniman Grafis mengungkapkan gagasan dan ekspresi seninya dalam bentuk goresan, cukilan, torehan, guratan, sapuan dan sebagainya, diatas permukaan lempengan yang rata, yang kelak digunakan untuk mencetak, misalnya kayu, lempeng batu, atau logam.
Seniman, kemudian mencetak sendiri karya tersebut. Karena itu karya seni Grafis dikenal sebagai produk cetak eksklusif, limited edition.
Pada mulanya, kegiatan cetak mencetak karya Seni Grafis ini bertujuan untuk membuat reproduksi gambar. Tetapi tuntutan perkembangan jaman, telah menempatkan Seni grafis sejajar dengan cabang seni rupa lainnya, seperti Seni Lukis dan Seni Patung.
Semua produk cetak tersebut disebut karya seni “asli” yang ditandatangani senimannya dan nilainya sama dengan sebuah lukisan.Bila dibandingkan, hasil cetak offset dan foto mekanis tidak bias dianggap sebagai karya grafis, bagaimanapun tepat dan sempurna hasilnya dilihat dari sudut teknis maupun dari sudut estetisnya. Produk cetak ini tidak dapat diterima sebagai karya seni “asli”.
Ada dua pendapat yang berbeda tentang perlakuan terhadap karya seni grafis. Pendapat yang satu berpegang pada prinsip, hanya ada “satu” karya asli, selebihnya reproduksi. Namun pendapat yang lebih umum dipegang dalam “peraturan” Seni Grafis adalah pendapat yang percaya ada lebih dari satu “asli”.
Untuk mengesahkan keaslian ini, pada hasil cetakan si seniman membubuhkan tanda tangannya di sebelah kiri bawah karya, berikut nomor urut dan jumlah total cetakan. Lazimnya ditulis dengan pensil. Selain sudah tradisi yang mendunia, ada kesan goresan pensil sudah cukup untuk menjamin keaslian karya.
Ada kalanya seniman grafis, untuk keperluan sendiri menuliskan tambahan “artist’s proof” atau “epreuve d’artist” disebelah tanda tangannya. Ini dimaksudkan sebagai karya dokumentasi pribadi dan tidak diperdagangkan.
Kelebihan karya seni grafis dari misalnya lukisan adalah jumlahnya yang lebih dari satu. Keadaan ini memungkinkan karya grafis dapat dikoleksi oleh lebih banyak kolektor. Juga bisa dibeli dengan harga relative lebih murah dari pada harga sebuah lukisan atau patung.
Berdasarkan Teknik pengerjaan, Seni Grafis dapat dibagi dalam 5 proses pengerjaan; cetak tinggi, cetak dalam, cetak datar, cetak saring dan cetak digital.
Cetak tinggi adalah teknik cetak dimana permukaan plat cetak yang lebih tinggi yang dikenai tinta, kemudian permukaan tersebut yang akan memindah tinta keatas kertas. Teknik yang tergolong cetak tinggi adalah cukilan kayu (wood cut), toreh atau tera kayu (wood engraving) dan cukilan lino.
Sekedar catatan, perbedaan cukilan dan tera kayu bukan karena perbedaan bahan yang digunakan, tetapi juga pada alat-alat untuk mengolahnya.
Dengan demikian nilai artistiknya berlainan pula. Pada umumnya kayu yang dipakai untuk cukilan kayu adalah kayu yang berpenampang vertical. Mencukil tidak sesulit menoreh kayu atau menera kayu, karena kayu yang digunakan pada tera kayu berpenampang horizontal. Untuk mengerjakan karya Grafis tera kayu diperlukan alat yang lebih runcing dan tajam. Tetapi pengguna teknik wood cut lebih menyukai menggunakan hardboard (hardboard cut). Disamping lebih lunak, juga banyak tersedia di pasaran.
Cetak dalam (intaglio) adalah kebalikan dari cetak tinggi. Dalam kelompok teknik ini, garis atau bidang yang menerima tinta adalah garis dan bidang yang berada lebih rendah dari permukaan cetak. Dengan tekanan yang cukup kuat, tinta atau gambar akan berpindah keatas kertas. Disini daya hisap dan kualitas kertas sangat berpengaruh untuk mencapai hasil cetak yang sempurna.
Untuk teknik cetak dalam ini, dipergunakan lempengan tembaga atau seng yang digores atau ditoreh dengan semacam alat tajam (yang ujungnya runcing). Tujuannya untuk memperoleh alur-alur yang cukup dalam. Termasuk dalam cetak dalam antara lain; etsa, aquatint, goresan langsung (drypoint) dan mezzotin.
Lempengan logam yang digunakan untuk membuat sebuah karya etsa dilapisi terlebih dahulu dengan cairan aspal untuk melindungi dari gigitan asam. Diatas lapisan dasar ini si seniman membuat gambar memakai semacam jarum tajam dengan jalan menggores, menggurat dan menoreh. Maka terjadilah alur yang membuka lapisan aspal. Dengan demikian jalur-jalur ini dapat tergigit oleh asam. Hasilnya berupa alur pada logam yang nantinya berfungsi menampung tinta. Proses ini dilakukan berulang kali sesuai kebutuhan atau kreativitas si seniman untuk mencapai sasarannya.
Pelaksanaan proses aquatint, yang merupakan bagian dari teknik etsa, memungkinkan tercapainya nada warna (tone). Teknik etsa dan teknik aquatint sering dipakai secara kombinasi agar tercipta berbagai macam efek teknis maupun estetis.
Teknik aquatint dilaksanakan dengan menaburkan butiran-butiran halus semacam dammar (berwarna kecoklatan) yang apabila dipanaskan menjadi lumer tapi tak merata. Perbedaan lamanya proses pengasaman ini menimbulkan bermacam macam efek gigitan asam yang mengakibatkan perbedaan nuansa tone pada hasil cetak.
Cara lain mencapai tone warna adalah dengan teknik mezzotin. Pada teknik ini, dasar plat yang akan digambari dikasarkan dengan ampelas. Kualitas permukaan plat yang menyediakan nuansa warna dapat dengan mengubah arah alur garis kasar, kemudian dihaluskan kembali pada bidang tertentu. Suatu kesibukan yang mengasyikkan bagi seniman yang kreatif.
Proses cetak datar atau planografi batu litografi. Tapi belakangan ini dipakai juga lempengan logam/ seng yang selain praktis juga mudah didapat.
Diatas batu/ seng itu dibuat gambar yang akan dicetak dengan semacam pensil yang mengandung lemak. Gambar ini disapu beberapa kali dengan asam lemak. Batu litografi kemudian dibasahi dengan air, sebelum diberi tinta dengan menggelindingkan rol tinta beberapa kali. Dalam proses ini yang menerima tinta hanya bagian yang digambari dengan pensil lemak tadi. Dengan alat cetak khusus untuk litografi, gambar dan tinta dipindahkan keatas kertas.
Cetak saring, disebut pula serigrafi. Tapi orang lebih mengenalnya sebagai teknik sablon atau silk screen. Sebab alat utama pengerjaan menggunakan kain sutra. Teknik ini sebenarnya penggembangan dari teknik sablon. Untuk bisa mencetak gambar diatas kertas, tinta ditaruh diatas kain sutera yang di frame, kemudian disapukan dengan alat yang terbuat dari karet (rakel).
Satu hal yang patut menjadi perhatian adalah bahwa seni grafis tidak luput dari pengaruh perkembangan teknologi, serta pengaruh perkembangan kebudayaan dan kesenian pada umumnya. Masuknya teknologi fotografi bukan hal baru lagi di lingkungan seni grafis, dan mulai banyak dimanfaatkan oleh seniman grafis.
Mulai munculnya cetak digital (digital print), tak pelak, dapat menambah medium baru dalam berolah seni. Meskipun kehadirannya masih banyak diperdebatkan, tetapi eksistensinya di kancah seni rupa sudah tidak dapat dibendung lagi.
By : Rindy Atmoko
Tidak ada komentar:
Posting Komentar