Jumat, 22 Februari 2008

7 Butir Renungan untuk Seni Grafis Indonesia


Definisi dan Sikap Kritis.

Seni Grafis umumnya didefinisikan sebagai bentuk ekspresi seni rupa dua dimensi yang memanfaatkan atau lahir dari proses cetak : cetak tinggi (relief print), cetak dalam (intaglio), cetak datar (planography lithography), dan cetak saring (serigraphy screenprint). Karena melalui proses cetak, maka dimungkinkan terjadinya suatu pengulangan pada apa yang dicetak, artinya hasil/karya cetak itu bias berjumlah lebih dari satu, bersifat jamak. Dalam konvensinya yang baku, setiap edisi/cetakan pertama hingga terakhir, dengan tanda-tanda tertentu, dinilai sebagai karya seni yang sejati/original dan berhak memperoleh apresiasi yang sama.

Selama ini Seni grafis identik dengan pernyataan terakhir dari definisi di atas, sebagai produk akhir yang didandani dengan bingkai kertas (passepartout) dan pigura yang rapih dan necis, yang dipajang dalam suatu ruangan (pameran) dengan gaya penataan tertentu. Sikap memandang dan memperlakukan karya Seni grafis seperti itu cenderung mengabaikan segi-segi lain yang potensial dari kerja grafis secara keseluruhan. Potensi-potensi itu akan terungkap bila pegrafis-pegrafis kita bersikap kritis terhadap apa yang tersirat dan tersurat dalam definisi yang dikemukakan di atas.

Menyikapi Berbagai Potensi

Paling tidak, sejumlah pertanyaan bisa diajukan. Mungkinkah pegrafis kita menyikapi keragaman bahan, teknik, tahapan proses cetak, berbagai cetak-coba (proofs), pengulangan, multiplikasi, pluralitas, ukuran kecil karena kapasitas peralatan cetak, dsb. Sebagai pendekatan-pendekatan berkarya yang mandiri? Bagian-bagian tertentu dari proses, prosedur kerja grafis, atau kaarakteristik lain yang berasal atau sebagai akibat dari kerja mencetak berpotensi untuk diungkapkan sebagai suatu ekspresi yang utuh, tidak lagi sebagai suatu proses, atau bagian yang selama ini sering disembunyikan oleh senimannya.

Haruskah karya grafis selalu menempel pada dinding, mungkinkah ia sekedar bersandar, bahkan tergantung dari langit-langit atau tersebar berserakan di atas lantai? Karya grafis itu selalu berbingkai dan dipajang di dalam ruangan, bolehkah ia dikemas tak berbingkai dan diletakkan di luar ruangan? Bila dipajang di luar memang ada resiko terganggu atau rusak oleh kondisi cuaca (alam) atau manusia, tetapi haruskah suatu karya seni itu abadi secara fisik?

Dari pendekatan kreatif seperti itu bias saja lahir ungkapan-ungkapan seni yang tidak bercirikan 100% karya grafis secara konvensi, tapi haruskah suatu karya seni yang sejati terikat ketat dengan aturan-aturan yang bias jadi sudah tidak lagi sesuai dengan tempat, atau semangat, nilai-nilai dan aspirasi jaman dimana seniman itu hidup?

Kontekstualitas

Apresiasi Seni grafis seringkali berkisar pada permasalahan teknis disekitar karya. Itu satu hal memang, tapi kedepan rentang apresiasi harus lebih dari itu. Karya-karya Seni grafis sepantasnya juga semakin berbobot dalam tema-temanya, turut merenungkan dan menyuarakan pesan nurani tentang berbagai permasalahan kesenian, kebudayaan dan kehidupan itu sendiri dalam maknanya yang luas dan mendalam.

Pegrafis-pegrafis kita dituntut untuk selalu mengikuti perkembangan dan tanggap terhadap berbagai fenomena seni rupa dan seni kontemporer pada umumnya yang semakin semarak, dinamis dan kreatif. Mereka jangan merasa cepat puas dengan statusnya sebagai pemeran-pemeran pelengkap (figuran) dalam pentas kolosal seni rupa Indonesia, tetapi harus mampu berperan sebagai pemain utamanya, yaitu bagian peran yang menentukan orientasi lakon dalam pentas itu.

Patriotisme

Perkenalan Seni grafis modern dalam percaturan seni rupa modern Indonesia dikaitkan dengan upaya dua seniman – Mochtar Apin (1923-1994) dan Baharudin Marasutan (1910-1988) – yang membuat suatu koleksi karya cukilan lino yang dicetak sejumlah 30 edisi. Karya kolaboratif itu dikirimkan oleh pihak pemerintah ke Negara-negara yang pada waktu itu telah mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Negara Republik Indonesia. Langkah penting ini terjadi pada tahun 1946, sebagai salah satu bentuk ungkapan untuk memperingati ulang tahun pertama kemerdekaan RI.

Yang layak dicatat disini adalah bahwa kedua seniman tersebut bukan saja mampu bertindak kreatif terhadap medium seni cetak, tapi sekaligus mampu menungkapkan suara hati yang paling dalam dan cita-cita yang luhur dari masyarakat dan bangsa Indonesia pada waktu itu, yaitu eksistensi kemerdekaan manusia-manusia, bangsa dan Negara yang telah berhasil melepaskan dirinya dari belenggu penjajahan. Jadi, Seni Grafis Indonesia lahir dari jiwa patriotic seniman perintisnya, sehingga pegrafis-pegrafis masa kini sepantasnya mewarisi kreativitas dan daya juang mereka.

Kontibusi Dunia Pendidikan

Perkembangan Seni Grafis di tanah air ini jelas mencatat kontribusi besar dari lembaga pendidikan formal seperti FSRD ITB, FSRD ISI, FSRD IKJ. Pendidikan di bidang seni rupa ini telah berjalan lebih dari 20 tahun, dan jumlah lulusannya telah mencapai angka ratusan. Dalam rentang waktu selama itu seharusnya jumlah pegrafis tak berbeda jauh dengan jumlah lulusannya. Ironisnya para pegrafis yang terbilang aktif masih sedikit dan hamper seluruhnya berada di lingkungan pendidikan formal, sebagai staf pengajar di sana. Para lulusan cenderung meluntur idealismenya ketika sudah terjun di masyarakat. Bermula dari kebutuhan ekonomi yang mendesak. Lantas keasyikan dan kemudian lalai akan nilai-nilai idealis keseniannya.

Tampaknya, dunia pendidikan dituntut untuk lebih progresif dan selalu meningkatkan upaya untuk merangsang iklim kerja dan prestasi kreatif insane-insan di lingkungannya: mahasiswa dan para pengajarnya. Dunia pendidikan seni diharapkan untuk mampu memproduksi lulusannya yang tetap memiliki motivasi dan semangat berkesenian yang tinggi ketika sudah terjun di masyarakat.

Hegemoni

Kualifikasi karya Seni Grafis dalam forum Internasional sering dikaitkan dengan kualitas bahan (kertas dan tinta) yang biasanya tidak menjadi masalah bagi pegrafis-pegrafis dari negara maju, karena bahan-bahan berkualitas baik selalu tersedia. Sedangkan bagi dunia seni di Negara sedang berkembang, bahan-bahan tersebut masih merupakan barang impor. Ketika bahan impor itu menjadi mahal dan sukar terjangkau oleh para pegrafis kita, haruskah dengan begitu Seni grafis kita mandeg? Kalaulah kualifikasi karya Seni Grafis masih menggantungkan pada kemewahan bahan-bahan tadi, maka Seni Grafis hanyalah milik dunia seni rupa dari Negara-negara tertentu, yang pada umumnya telah memiliki latar sejarah dan tradisi Seni grafisnya yang panjang.

Kalau target kualitatif seperti itu yang ingin dicapai oleh Seni grafis kita, tidak terbayangkan kapan prestasi itu mampu diraih. Haruskah kita menunggu berabad-abad untuk itu? Saya piker, kita harus segera berani melonggarkan kalaupun belum bias melepaskan diri dari hegemoni seperti itu.

Perlu Langkah Terobosan

Saya menyimpulkan bahwa Seni Grafis Indonesia memerlukan terobosan-terobosan yang progresif, kalau perlu melakukan redefinisi, re-interpretasi dan re-evaluasi terhadap seluruh kerja seni yang memanfaatkan metode cetak ini, termasuk keterkaitannya dengan berbagai pranata pendukungnya dalam konstelasinya dengan dunia seni rupa kontemporer dan kebudayaan Indonesia secara umum. Kalau tidak, pegrafis-pegrafis kita hanyalah sedang berusaha menumbuhkan sejenis seni rupa cangkokan dari barat yang boleh jadi sebetulnya tidak cocok dengan kualifikasi dan aspirasi masyarakat seni dan kebudayaan Indonesia. Mari kita renungkan bersama.

Setiawan Sabana

(Katalog Pameran Seni Grafis Indonesia, 1999)

1 komentar:

Riwisoto mengatakan...

Lukisannya pakai media apa ya?

Prosanya nadanya pada sendu ya?