Minggu, 01 Februari 2009

"Booming"

Antara Momentum dan Pemiskinan

Tahun 2007 adalah tahun yang bergemuruh bagi dunia seni rupa kontemporer Indonesia. Karya-karya seniman muda mencatat harga ratusan juta hingga miliaran rupiah di ajang lelang di Singapura dan Hongkong, kemudian mendongkrak pasar local serta regional. Muncul kekhawatiran, godaan ekonomi ini bisa memiskinkan kreativitas.
“Booming” seni rupa kontemporer tahun ini, antara lain, dipicu melejitnya harga lukisan Putu Sutawijaya berjudul Looking for Wings yang terjual 95.000 dollar Singapura (sekitar Rp. 560 juta) pada lelang Sotheby’s di Singapura, April lalu. Sebulan kemudian, pada lelang Christie’s di Hongkong, karya I Nyoman Masriadi, Dance, terjual 540.000 dollar Hongkong (sekitar Rp. 640 juta).
Para perupa dari kelompok Jendela, yaitu Jumaldi Alfi, Rudi Mantofani, Yunizar, Handiwirman, Yusra Martunus, juga memperoleh apresiasi pasar tinggi. Harga paling fantastis diraih Nyoman Masriadi lewat lukisan Jangan Tanya Saya Tanya Presiden yang mencapai hargai 360.000 dollar Singapura (sekitar Rp. 2,2 miliar), pada lelang Sotheby’s di Singapura, September lalu.
Lonjakan harga pada lelang itu memanaskan pasar. Kalangan kolektor, kolekdol, art dealer, broker dan pedagang seni yang mencium aroma keuntungan pun keluyuran di kantong-kantong seni demi “berburu” lukisan kontemporer dari seniman muda yang menjanjikan.
Galeri semakin giat menyelenggarakan berbagai pameran yang marak selama tahun ini. Kalau dulunya dalam hubungan dengan seniman mereka sangat “superior”, kini galeri makin “tahu diri”. Beberapa pameran sukses menjual semua karya, bahkan sebelum pembukaan resmi. Sebagian seniman muda yang “naik daun” mencicipi kesejahteraan hidup, dan sebagian lagi aktif mengikuti pameran di manca Negara.
Inilah booming seni rupa gelombang ketiga di tanah air. Gelombang pertama berlangsung tahun 1980-an, sedangkan kedua tahun 1990-an. Jika dua gelombang awal ditopang para kolektor atau kolekdol local, gelombang ketiga ini berskala luas dengan pembeli asal Asia, terutama Singapura, Hongkong, Malaysia, Filipina dan Cina.
Gelombang ini hasil imbas booming seni rupa kontemporer Cina yang sudah meledak sejak awal tahun 2000-an. Saat harga lukisan disana kelewat tinggi, pasar melirik karya dari Negara Asia yang harganya relative lebih rendah, seperti Korea, India dan Vietnam, juga Indonesia. Seperti dilansir majalah Time (edisi November), banyak kalangan optimis inilah awal kebangkitan pasar seni rupa Asia.
Momentum
Gairah ini sejatinya bias direspons sebagai momentum yang menguntungkan. Pasar yang atraktif mengundang banyak pihak untuk turut menggerakkan roda seni rupa. Idealnya, para stake hlders (seniman, kolektor/pemilik galeri, lembaga pendidikan, pengamat/curator, museum dan pemerintah) mau memanfaatkan kesempatan ini untuk menggalang kerja sama. Tujuannya, membangun infrastruktur dan suprastruktur seni rupa di Tanah Air.
Dengan dukungan pasar, para seniman hidup layak sehingga lebih berkonsentrasi menempa gagasan dan kreativitas kekaryaan. Pengamat mengembangkan wacana untuk pegangan pasar, sedangkan museum jadi barometer pameran. Para pemilik galeri menjalankan bisnis sekaligus mempromosikan seniman pada jaringan kolektor di dalam dan luar negeri.
Lembaga pendidikan menggembleng para calon seniman serta memperkuat basis penelitian akademis. Pemerintah menjembatani kepentingan semua stakeholder itu dan merancang kebijakan dengan visi pengembangan seni rupa sebagai bagian dari strategi budaya bangsa.
Hubungan dialektis semacam itu sudah berlangsung berabad-abad di Eropa, kemudian Amerika, sehingga memapankan seni rupa di dua kawasan itu. Setiap elemen seni berfungsi dan saling mendukung. Satu lukisan, misalnya, hanya dapat meraih harga tinggi di pasar kalau ditopang wacana kritik seni yang argumentative dari para ahli.
Tentu, seni rupa Indonesia yang baru berumur sekitar 200 tahun (jika dihitung sejak kelahiran Raden Saleh Syarif Bustaman, tahun 1807) masih perlu menempuh jalan panjang lagi. Namun, kalaulah dialektika itu dapat terus diperkuat, setidaknya situasi bakal membaik.
Pemiskinan
Kenyataannya, gelora pasar Asia menerpa ketika infrastruktur dan suprastruktur seni di sini masih lemah. Alih-alih menyamakan visi atau menyepakati aturan main, setiap kelompok dari stakeholders seni justru sibuk bermain dan mengurusi kepentingan sendiri.
Dalam suasana tak menentu itu, pasar cenderung menggeliat liar, tanpa standar harga, tanpa sokongan wacana. Harga karya-karya seni bias melambung begitu saja di ajang lelang meski senimannya tidak dikenal punya proses kreatif dan reputasi meyakinkan. “Akibatnya, kita hanya punya buku catatan hasil lelang yang tebal, penuh daftar harga, tetapi miskin wacana,” kata pengamat seni rupa, Hendro Wiyanto.
Kiprah balai lelang yang kelewat terbuka memang potensial merangsang spekulasi investor. Para seniman terjebak di antara harga lelang yang kelewat tinggi dan harga jual riil dari tangannya sendiri. “Seharga berapa pun karya baru dilepas, spekulan tetap tergoda untuk membeli dan langsung melepasnya ke balai lelang dengan iming-iming untung besar,” kata Oei Hong Djien, kolektor asal Magelang.
Bagaimana dengan seniman? Sebagian kalangan cemas, jika tak direspons secara hati-hati, godaan pasar malah dapat merangsang tumbuhnya budaya manerisme. Menurut pengamat seni rupa, Enin Supriyanto, gejalanya sudah terlihat dari adanya sejumlah seniman yang sengaja mendekatkan karyanya pada gaya atau corak langgam tertentu yang dapat direspons baik di pasar.
Seniman cenderung malas untuk menyusun gagasan baru, mencari hal-hal unik, atau mengulik persoalan artistic yang segar. Mereka puas dengan membuat karya yang biasa, mengulang, atau bahkan mengopi gaya lama, tetapi laris di pasaran. “Pasar memang bisa meruntuhkan kreativitas seni rupa sendiri,” katanya.
Akan tetapi, jangan terlalu pesimistis. Pada akhirnya, bakal terjadi juga seleksi alam yang menyaring seniman-seniman yang baik.
Toh, masih banyak seniman yang terus merambah eksplorasi seni yang tak selalu didikte pasar. Sebutlah beberapa di antaranya, seperti Ugo Untoro, S Teddy D, Heri Dono, Handiwirman Saputra, Tisna Sanjaya, Dikdik Sayahdikumullah, Arahmaiani, Titarubi dan Anusapati. Kemunculan komunitas seniman muda di beberapa daerah menggiatkan seni sebagai ruang penyadaran seni sebagai ruang penyadaran sosial, seperti Ruang Rupa di Jakarta, Common Room dan Button di Bandung, serta Mess-56 di Yogyakarta.
Di luar itu, masih ada pameran di daerah, seperti Biennale Jawa Timur II dan Biennale Jogja IX, yang memecah pemusatan seni rupa pada mainstream tertentu. Kehadiran Galeri Lontar, Bentara Budaya, Yayasan Seni Cemeti, dan pusat-pusat kebudayaan Negara asing di Indonesia masih menawarkan wahana alternative di luar pasar. Dengan begitu, karya-karya eksperimental, berbasis tradisi, atau lahir dari proyek penelitian yang serius tetap mendapat tempat.

Ilham Khoiri (Kompas, 30 Desember 2007)

Tidak ada komentar: