Minggu, 01 Februari 2009

Kreatif itu Butuh Nyali Gedhe

Kalau bicara tentang kreativitas, biasanya pikiran akan nyasar pada hal-hal yang berbau seni, atau desain. Bisa jadi itu sebabnya sanggar lukis anak-anak cukup menjamur, karena banyak ortu yang ingin anaknya kreatif lalu menyuruh putra-putrinya les nggambar.
Tapi kalau saya ditanya, “Seperti apa orang reatif itu?”, maka saya akan menjawab: orang kreatif itu adalah orang yang banyak akalnya, yang selalu berhasil nemu jalan keluar dan lolos meskipun kepepet. Jadi, nggak harus lulus sanggar lukis atau menang award kreatif dulu baru dibilang kreatif. Terlebih lagi, sama halnya dengan kemanjuran obat baru baru teruji saat diminum, akal atau ide tersebut baru ada gunanya saat dijalankan. Betapapun orisinal suatu ide, kalau hanya direnungkan saja = omong kosong !
Masalahnya, merealisasikan satu ide bagus itu membutuhkan keuletan dan keberanian. Tentang pengalamannya dalam eksperimen penemuan bohlamlampu listrik, Thomas Alfa Edison pernah bilang bahwa, “Tak sekalipun saya gagal! Malah saya telah sukses membuktikan bahwa ada 700 cara yang tidak menciptakan bohlam lampu. Setelah saya mengeliminasikannya satu per satu, maka saya akan menemukan cara yang tepat.” Segera Edison menjadi terkenal sebagai jenius kreatif. Namun demikian, ceritanya akan lain bila Edison patah arang dan menghentikan upayanya pada eksperimen nomor 699.
Jadi, kreatif itu baru terbukti bila suatu ide akhirnya menjadi kenyataan alias berbentuk materi. Ada jasadnya. Dan bukan Cuma suatu ide yang sekedar menari-nari di benak penciptanya atau berupa omdo (omong doang).

Implementasi
Bagian paling membosankan, menakutkan dan memerlukan ketekunan.

Woody Allen, seorang filmmaker terkenal yang memenangkan 3 piala Oscar pernah berujar, “90% of success is just showing up !” Istilah Jawanya, sukses itu 90 persennya kalau seseorang bersedia untuk hadir & nongkrongin di situ sepenuh hati, sampai jadi !
Butuh nyali gede kalau kita mau merealisasikan satu ide kreatif yang orisinal. Pasalnya, sesuatu yang orisinal itu pasti baru, pasti nggak umum, kadang terliihat ganjil, challenging dan kadang controversial. Implikasinya, sesuatu yang baru itu belum tentu bias diterima oleh pasar, jadi resikonya cenderung lebih besar untuk merealisasikan ide orisinal kita.
Namun kalau mau yang resikonya rendah, ya nggak usah sok kreatif. Ikutin saja apa yang sudah ada, nyontek, atawa menjadi budak keinginan pasar, sambil berangan-angan menelorkan ide besar tanpa berani bertaruh/ambil resiko dengan mengorbankan kondisi status quo, yang kadang kala sangat nyaman (comfort zone).
Mungkin memang ada kalanya kita harus menjalankan hidup berkreasi sesuai keinginan klien (amatir) kita. Istilahnya, apa saja di turutin meskipun acapkali tak sesuai dengan estetika dan hati nurani, namun orang kreatif tahu bahwa hal itu hanyalah sementara – dan tetap bermimpi sekaligus mencari-cari jalan keluar untuk mencipta sesuatu yang lebih. Lihat saja Edo Kondologit, penyanyi bersuara emas yang pernah menjalani hidup jadi kuli bangunan, tukang sapu dan satpam, sampai akhirnya bias ketemu jalan keluar untuk benar-benar jadi penyanyi top. Udah pasti dalam perjalanannya tak terhitung berapa banyak usaha yang gagal. Benar-benar “usaha”, dan tak semata-mata wacana.
Omong-omong soal wacana, studi banding, dll, mungkin Indonesia jagonya. Tapi sebenarnya, tanah ini nggak butuh orang-orang model begitu. Indonesia ini butuh orang-orang yang mau bersedia bekerja keras, berani ambil resiko mendobrak hal-hal yang terlihat impossible, - bukan Cuma bias bikin sinetron kampungan atau cari celah agar dapat remah-remah objekan bikin website departemen ber-budget total 17,5 milyar !

(Djoko Hartanto, Concept)

Tidak ada komentar: