Pembicaraan Seni Grafis di Indonesia bisa dibilang tak pernah beranjak. Kalau tidak berkutat pada pertanyaan-pertanyaan dasar dan pemula – apa itu Seni Grafis – yang diributkan selalu kedudukan Seni Grafis sebagai “warga kelas dua”, sebagai karya reproduksi, sehingga akhirnya tak berdaya di tengah percaturan seni modern, apalagi kontemporer. Simfoni panjang keluh kesah itu dari dulu terus bersambung, bahkan hingga pembicaraan di Utan kayu, Jakarta, awal Mei lalu (Kompas, 8/4 dan 9/4).
Pandangan bahwa Seni Grafis adalah “warga kelas dua” rasanya tak perlu dibahas lagi. Sebab, begitulah sejarahnya, dalam wacana seni rupa Barat yang mengagungkan seni Lukis dan Patung. Pada mulanya, seni Grafis memang diniatkan menjadi semacam kiat untuk memecahkan masalah-masalah praktis –ekonomis. Para perupa butuh hidup. Namun, dengan lukisan-lukisan berukuran besar mustahil mereka dapat menjaring lebih banyak orang untuk memilikinya.
Oleh karena itu, kita menyaksikan banyak pelukis dan pematung masyhur nyambi jadi pegrafis. Sebut saja, Rembrandt van Rijn (Belanda), Pablo Picasso (Spanyol), George Braque (Perancis), Marc Chagall (Rusia), Joan Miro (Spanyol), ataupun Alexander Calder (AS). Tetapi nyambi-nya Picasso dan Chagall, misalnya, menghasilkan serial litografi yang kualitas artistiknya tidak lebih rendah ketimbang lukisan mereka. Bahkan dalam perjalanan sejarah, mereka juga menghasilkan pegrafis tulen, semacam Katie Kollwitz, yang karyanya pernah digelar di Jakarta pada Maret 1991. Dengan memanfaatkan secara cermat teknik grafis, baik litografi, etsa maupun cukil kayu, seniwati Jerman itu diakui berhasil menciptakan “ikon-ikon visual” dunia, dengan bobot yang tak tergantikan bahkan oleh seni lukis. Di tangannya yang sering belepotan tinta bak “tukang cetak” itu Seni Grafis menjadi otonom – bukan lagi Seni Lukis yang diperbanyak lewat teknik cetak mencetak.
Tentu saja, ekses selalu muncul. Ketika karya seni rupa menjadi komoditas perdagangan internasional, soal “perbanyakan” ternyata juga mengusung kerepotan: memberi peluang untuk melakukan kecurangan dan pemalsuan, baik oleh senimannya sendiri atau pihak lain. Inilah yang diceritakan Jais hadiana, hampir sebulan berselang sepulangnya ia dari mengikuti “pasar seni” di Paris. Art dealer pemilik Darga Gallery di Bali dan Darga Lansberg Gallery di Paris ini memang memperdagangkan lukisan Renoir, Miro, ataupun Chagall. Tetapi, karya lito, no. “Rumit. Susah sekali menentukan orisinalitasnya, sehingga jarang art dealer yang berani,” kata Jais.
Cerita Jai situ wajar. Maklum. Ketika bangkrut, Rembrant yang karya etsanya terkenal bergaris lembut bak beludru – sehingga hanya jelas terlihat pada 25-40 cetakan pertama- ternyata mencetak ulang gambar-gambar lama dan memasarkannya. Sementara Kompas, awal Mei lalu, memberitakan bahwa diantara warisan Picasso yang diperebutkan para ahli warisnya, ada 17.411 prints berikut 1.723 “lempengan cetak” nya, serta 6.121 litografi berikut 453 “batu cetak” nya. Padahal, dalam seni Grafis ada semacam etika untuk membatasi penggandaan dengan menghancurkan cetakan setelah target terpenuhi.
Lalu bagaimana di Tanah Air? Adakah masyarakat menganggap grafis itu seni kelas dua? Boro-boro punya anggapan begitu, tahu saja tidak. Buktinya, dalam diskusi-diskusi mereka selalu bertanya: apa itu Seni Grafis, cetak tinggi (cukil kayu, lino), cetak dalam (dry point, etsa dan akuatint), cetak datar (litografi dan cetak saring). Juga, selain dikenal sebagai pelukis, para pelopor seni Grafis modern – antara lain Mochtar Apin, Baharudin MS, AD Pirous- jarang berpameran grafis. Kalaupun berpameran ramai-ramai dan yang tampil cukilan kayu melulu.
Betulkah masyarakat tahu bahwa seni Grafis yang dibelinya itu bisa saja “asli tetapi palsu”, lalu mereka enggan mengapresiasinya? Pada paruh kedua 1970an, permintaan akan karya grafis banyak berdatangan dari bank, kamar hotel dan perumahan. Tetapi yang tampak giat “memanfaatkan” peluang itu hanya kelompok Decenta Bandung. AD Pirous, G. Sidharta, T Sutanto, Priyanto S. dan Diddo Kusnidar. Tetapi ketika karya-karya mereka itu digelar di TIM, para pengamat seni rupa yang tekun dengan ketajaman mencatat: kesannya beragam, bahkan kombinasi warna yang mereka gunakan pun terkesan sama, sehingga khalayak gampang mengira bahwa karya mereka itu keluar dari “satu pabrik” untuk mengejar target pesanan. Dan mereka juga menggunakan media grafis yang sama, cetak saring alias serigrafis alias sablon. Maka pengetahuan masyarakat akan seni Grafis pun bertambah : ternyata karya sablon itu juga termasuk seni Grafis.
Lalu bagaimana denga etsa dan litografi? Yang menonjol menekuni jenis ini yaitu Setiawan Sabana dan Tisna Sanjaya, yang kebetulan dosen seni Grafis di ITB. Dengan begitu, mereka bisa memanfaatkan fasilitas bengkel grafis di perguruan tinggi tersebut. Dulu pernah ada Aten Waluya, pegrafis yang etsanya bisa diandalkan. Tetapi selesai kuliah, selesai sudah. Ia kini mencoba berkarya dalam wujud ilustrasi, tetapi pencapaian artistiknya tak mampu mengejar mutu pictorial etasanya yang khas.
Dalam hubungan ini perlu juga dicatat kenyataan menarik: DKJ di zaman Zaini pernah menyediakan fasilitas studio bagi para pegrafis. Tetapi akhirnya alat itu rusak karena menganggur terlalu lama- karena tak seorang pun pegrafis yang memanfaatkannya.
Begitulah adanya. Para pegrafis mengeluh masyarakat menyepelekan seni Grafis, tetapi kenyataannya, masyarakat tak kenal seni Grafis karena senimannya tak pernah memunculkan diri. Kalau catatan saya cermat, Cuma ada empat pegrafis kita yang pernah (bukan sering) pameran tunggal: T. Sutanto, 58 (1976 dan 1990), Setiawan Sabana, 48 (1986 dan 1989); Marida Nasution, 42 (1991); Tisna Sanjaya, 41 (1988). Padahal, pada 1991, ketika Galery Yasri yang dimotori Jim Supangkat mengundang mereka berpameran, munculah 52 pegrafis; Bandung (24), Yogya (13), Jakarta (10), Solo (3) dan Surabaya (2). Tetapi, and the rest in silence, dan selebihnya sepi.
Apalagi ketika harga lukisan membumbung tinggi, disusul demam seni instalasi, “sindrom rendah diri” pegrafis pun makin menjadi jadi. Kaboel Suadi, misalnya, malah menggelar pameran tunggal lukisan diakhir 1993. Padahal ia seorang pelopor seni grafis modern di negeri ini, an sehari-harinya pun berkecimpung di dunia seni Grafis, dengan memanfaatkan efek mirip goresan pada cukilan kayu atau lino, serta efek puritan bertumpuk pada karya cetak saring. Maka, jadilah pameran itu seolah tempat menggelar ketidakpercayaan diri seorang Kaboel Suadi sebagai pegrafis.
Dan kini di Teater Utan Kayu Jakarta para pegrafis generasi baru di ITB itu berkeluh kesah; mempertentangkan tukang cetak dan seniman; seolah mereka tak tahu bahwa karya grafis jelas memerlukan pengetahuan tehnik grafis yang cermat. Soalnya, dalam grafis, teknik mampu menghadirkan bobot, yang sulit dihadirkan seandainya digunakan teknik pictorial lain.
Mereka berkeluh kesah bahwa seni Grafis tidak mampu masuk ke wilayah seni kontemporer, atau mengikuti paradigma-paradigma baru. Padahal, tak perlu mereka berucap begitu seandainya mereka mau mengingat pertengahan tahun 1989, ketika Setiawan Sabana menggelar pameran yang menggugat kelaziman pandangan dan perlakuan terhadap seni Grafis.
Di masa mabuk seni instalasi belum menjadi-jadi hingga mengusung anarki, dosen seni Grafis ITB itu telah melangkah jauh. Ia memajang sekaligus 60 eksemplar cetakan etsa-akuatin 27x39 cm di dinding dan lantai- menjadi sebuah karya yang utuh. Memasuki ruang pameran, kita pun seolah-olah memasuki ruang angkasa dengan benda-benda langit di segala penjuru. Buat Setiawan, grafis punya dua sisi: uangkapan dua dimensi melalui proses cetak, dan jumlahnya banyak (jamak). Jadi, sah-sah saja karya seni Grafis tampil utuh “sebagai suatu ekspresi yang jamak-uangkapan rampak”. Dengan gugatan Setiawan itu, para pegrafis ditantang untuk bergerak dan melangkah maju memasuki paradigma-paradigma baru.
Sementara itu, di tingkat dunia, seni Grafis cukil kayu Jepang kuno, ukiyo-u, ditangan empu macam Kitagawa Utamaro (1750-1806), Katsushita Hokusai (1760-1849) dan Hiroshige (1787-1858), tak hanya berpengaruh besar terhadap perkembangan seni lukis modern Barat di masa Impresionisme, melainkan juga mampu mendudukkan perupa Jepang yang berkarya di Amerika, Masami Teraoko (63), ke kursi perupa internasional di zaman post modernisme.
Jadi,kalau para pegrafis hanya bermaksud memelihara “sindrom rendah diri” yang tak jelas dari mana asalnya, lalu menyerah, ya kesimpulannya pasti: “stagnan”, “bubarkan”. Dan itu tak guna kita sedihkan.
Eddy Soetriyono (Kompas, Minggu 20 Januari 1999)
Minggu, 07 September 2008
SENI GRAFIS ; Stagnasi karena Sindrom Rendah Diri
Sinergikan Seni Melalui Pendidikan
Upaya Dewan kesenian Jakarta (DKJ) menumbuhkan apresiasi seni sejak dini dan melembaga melalui pendidikan mendapat respons positif dari Sampoerna Foundation. Rabu (13/2) di kantor DKJ, Cikini Raya, Jakarta, mereka sepakat menandatangani nota kesepahaman kerja sama, yang bertujuan menyinergikan seni melalui pendidikan dan pendidikan melalui seni.
“Visi kerja sama ini menjadikan seni sebagai bagian penting dalam proses pendidikan di sekolah. Pengalaman menunjukkan tak ada pemain tunggal yang dapat membuat sebuah perubahan yang melembaga dan berkelanjutan. Kerja sama adalah awalan yang harus diciptakan, “ kata ketua DKJ Marco Kusumawijaya.
DKJ adalah salah satu lembaga yang dibentuk masyarakat seniman dan dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, 17 Juni 1969.
Marco menjelaskan, seni melalui pendidikan ditujukan untuk membuka lahan subur bagi tumbuhnya apresiasi seni sejak dini dan melembaga. Melalui pendidikan, seni membina komunitas pendukungnya. Seni tanpa penikmat yang menghargai, tak memiliki komunitas pendukung.
Bersamaan dengan itu, seni memberi kesempatan menenal dan mengalami hakikat kebhinekaan secara positif. Saat ini kebhinekaan menjadi hal penting bagi bangsa Indonesia yang mengalami kesempatan sejati untuk transisi demokratis.
CEO Sampoerna Foundation Lin Che Wei mengatakan, kepedulian sampoerna Foundation kepada seni dan pendidikan karena pendidikan melalui seni bertujuan untuk menjadikan seni sebagai sebuah medium dalam proses belajar-mengajar secara kreatif.
“Seni adalah wahana untuk mengasah kepekaan dan kemampuan dasar manusia. Makin baik bila diajarkan pada usia sedini mungkin,” ujarnya.
Menurut dia, untuk mencapai visi yang diharapkan dari kerjasama ini, rumusan program yang digulirkan mengusung dua misi utama, yaitu pertama, meningkatkan apresiasi seni di kalangan pelajar melalui program yang dijalankan guru. Kedua, merevitalisasi kebijakan pendidikan kesenian di sekolah.
Kompas (14 Februari 2008)
Delapan Watak Pemimpin Jawa
Setiap komunitas memiliki seperangkat pengertian dan perilaku, baik yang berasal dari generasi-generasi sebelumnya maupun dari pengalaman komunitas tersebut. Semacam kekuatan atau kemampuan komunitas itu untuk menyelesaikan secara baik dan benar berbagai persoalan serta kesulitan yang dihadapi.
Dalam proses waktu, rangkaian perilaku dan pengertian itu mengkristal dan menjadi sekumpulan nilai atau ajaran moral, yang kemudian secara umum dikenal sebagai local wisdom alias kearifan local. Dan secara praktis, kearifan local dapat dilihat dalam dua dimensi. Pertama adalah pengetahuan dan kedua adalah berupa pola-pola interaksi dan perilaku atau tindakan.
Jawa adalah salah satu etnik yang juga memiliki kearifan local. Juga dalam soal kepemimpinan. Bahkan soal ini mendapat perhatian yang cukup serius. Karena, ia selalu dikaitkan dengan nilai-nilai ideal yang berorientasi kepada dunia supranatural. Katakanlah semacam dewa, Tuhan, dan lainnya.
Hal itu, antara lain, tercermin dalam pandangan orang Jawa terhadap pemimpin, raja misalnya, yang dianggap sebagai “wakil/titisan” dewa atau Tuhan dimuka bumi. Tygas mulia seorang seorang pemimpin ini terutama menciptakan kehidupan yang harmonis antara manusia, alam dan Tuhan. Di mana salah satu pilar utama hidup harmonis itu adalah keadilan.
Oleh karenanya, pemimpin yang baik adalah dia yang mampu menerjemahkan nilai-nilai keadilan dalam praksis kehidupan. Orang-orang yang dipimpin harus mendapatkan rasa adil dan kesejahteraan lahir dan batin.
Dalam konteks ramainya kontes pemilihan umum, tingkat local dan nasional belakangan ini, mungkin baik menakar bagaimana kearifan local Jawa menawarkan standar kepemimpinan idealnya.
Astabratha
Sebagai etnik terbesar, Jawa memiliki konsep tersendiri tentang bagaimana kepemimpinan yang seharusnya. Konsep yang disebut Astabratha itu menilai pemimpin antara lain harus memiliki sifat ambek adil paramarta atau watak adil merata tanpa pilih kasi (Ki Kasidi Hadiprayitno, 2004). Secara rinci konsep ini terurai dalam delapan (asta) watak: bumi, api, air, angin, angkasa, matahari, bulan dan bintang atau dalam bahasa Jawa disebut; bumi, beni, banyu, angina, langit, surya, candra dan kartika.
Pertama, watak bumi yang harus dimiliki seorang pemimpin mendorong dirinya untuk selalu memberi kepada sesame. Ini berdasarkan analog bahwa bumi merupakan tempat untuk tumbuh berbagai tumbuhan yang berbuah dan berguna bagi umat manusia.
Kedua, geni atau api. Pemimpin harus memiliki sifat api. Api adalah energi, bukan materi. Api sanggup membakar materi apa saja menjadi musnah. Namun, api juga bisa mematngkan apa saja. Api dalam konteks ini bukan dalam pengertian yang destruktif, melainkan knstruktif.
Semangat api yang konstruktif yang harus dimiliki pemimpin, antara lain, adalah kesanggupan atau keberanian untuk membakar atau melenyapkan hal-hal yang menghambat dinamika kehidupan, misalnya sifat angkara murka, rakus, keji, korup, merusak dan lainnya.
Ketiga, banyu/air, adalah watak yang menggambarkan pemimpin harus selalu mengalir dinamis dan memiliki watak rendah hati, andhap asor dan santun. Tidak sombong. Tidak arogan. Sifat mengalir ini juga bisa diartikan bahwa pemimpin harus mampu mendistribusikan kekuasaannya agar tidak menumpuk/menggumpal yang merangsang ntuk korupsi. Selain itu, seperti air yang selalu menunjukkan permukaan yang rata, pemimpin harus adil dalam menjalankan kebijakan terkait hajat hidup orang banyak.
Berdemokrasi
Keempat, watak angina atau udara, watak yang memberikan hak hidup kepada masyarakat.
Hak hidup, antara lain, meliputi hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak (sandang, pangan, papan dan kesehatan), mengembangkan diri, mendapatkan sumber khidupan (pekerjaan), berpendapat dan berserikat (demokrasi) dan mengembangkan kebudayaa.
Kelima, Surya atau matahari, dimana pemimpin harus mampu menjadi penerang kehidupan sekaligus menjadi pemberi energi kehidupan masyarakat.
Keenam, watak bulan/candra. Sebagaimana bulan yang memiliki kelembutan menentramkan, pemimpin yang bijak selalu memberikan rasa tentram dan menjadi sinar dalam kegelapan. Ia harus mampu memimpin dengan berbagai kearifan sekaligus visioner (memiliki pandangan jauh ke depan); bukan pemimpin dengan gaya seorang tiran (otoriter) dan berpikiran dangkal.
Ketujuh, adalah bintang/kartika. Sebagaimana bintang menjadi panduan para musafir dan nelayan, pemimpin harus mampu menjadi orientasi (panutan) sekaligus mampu menyelami perasaan masyarakat.
Dan akhirnya, Jawa menuntut seorang pemimpin mesti memiliki watak langit atau angkasa. Dengan watak ini, pimimpin pun harus memiliki keluasan hati, perasaan dan pikiran dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa dan Negara. Tidak sempit pandangan, emosional, temperamental, gegabah, melainkan harus jembar hati-pikiran, sabar dan bening dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Bukankah inti atau substansi pemimpin adalah pelayan? Pemimpin yang berwatak juragan adalah penguasa yang serba minta dilayani dan selalu menguasai pihak yang dipimpin.
Indra Tranggono, KOMPAS, 16 Agustus 2008
Kamis, 28 Agustus 2008
Let's have a cup of Java
Minum kopi masih menjadi kebiasaan bagi orang Eropa daratan dan Amerika. Tidak ubahnya minum teh pada sore hari bagi orang Inggris.
Kopi Jawa dulu menjadi primadona yang diangkut dari perkebunan datran tinggi melalui Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) untuk diekspor ke Eropa. Kopi Jawa adalah salah satu primadona seperti kina, tebu, the dan karet yang kini pamornya semakin surut karena system budidaya pertanian yang cob asana coba sini sehingga kehilangan focus.
Sebagai contoh nyata adalah kerangka beton bangunan bedeng buatan Belanda di tengah sawah dan kebun di sebuah perkampungan di Cadas Pangeran. Pada masa silam, menurut warga, bedeng tersebut merupakan bagian dari kompleks perkebunan kopi yang subur di sekitar wilayah tersebut.
Padahal, menurut Widya Pratama, pemilik Aroma Kopi yang didirikan tahun 1930, kopi terbaik di dunia adalah kopi Jawa !
“Curah hujan dan tingkat keasaman tanah di jawa sangat pas untuk budidaya kopi. Jauh lebih baik daripada kopi Amerika Latin ataupun Afrika.
Untung sekarang sudah mulai ada kesadaran lagi menanam kopi jawa. Dulu dataran tinggi Lembang merupakan surga perkebunan kopi yang kini tergusur perumahan. Sekarang di Pangalengan sudah mulai dirintis penanaman kopi Jawa.
Manajer Komunikasi PT. Sari Coffee Indonesia, Yuvlinda Susanta menjelaskan, pihaknya pernah mengenalkan kembali kopi Jawa melalui gerainya yang ada diseluruh dunia. Secara kualitas memang sangat bagus. Tetapi dari sisi kuantitas selanjutnya tidak terpenuhi sehingga penjualan terhenti.
Berawal dari tanam paksa
Kejayaan kopi jawa berawal dari penerapan tanam paksa (Cultur Stelsel) masa Gubernur Jendral Johannes van Den Bosch (berkuasa 1830-1833). Peter Boomgard dalam buku Anak jajahan Belanda Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa 1795-1880 mencatat bahwa tanam paksa mewajibkan petani mengalokasikan seperlima lahan untuk tanaman bagi pasar Eropa, yaitu kopi, tebu, nila, the dan tembakau.
Sungguh indah Jawa tempo dulu. Betapa pertanian dan perkebunan dikelola secara terarah meski ada praktek korupsi serta pengisapan di kalangan elite penguasa Bumiputera.
Alfred Russel Wallace, sang naturalis terkenal yang namanya diabadikan sebagai garis pemisah untuk membedakan keragaman fauna di sebelah Barat dan Timur Nusantara, bahkan mengklaim Jawa sebagai the finest tropical island in the world atau pulau tropis terbaik di dunia. Wallace berkelana selama tida setengah bulan di jawa pada tahun 1861.
“Pulau tersubur, terpadat dan terindah di seluruh tropis. Begitu banyak gunung berapi memberkahi Jawa dengan tanah yang subur,” kenang Wallace.
Dalam Java a Traveller’s Anthology disebutkan, Wallace mengunjungi kebun kopi di Wonosalem di kaki Gunung Arjuna- tak jauh dari
Wallace dalam jurnal yang diterbitkan 1869 memuji-muji system pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang tetap mempertahankan keberadaan elite local di tingkat desa, para bupati, budidaya perkebunan kopi dan teh, keindahan alam, serta candi-candi Jawa yang lebih indah daripada India dan peninggalan purbakala di Amerika latin wilayah jajahan Inggris.
Eksotisme Jawa dikenal didunia Barat, terutama lewat hasil buminya, kopi.
Tetapi, biji kopi harus disimpan
By Rindy Atmoko (dari berbagai sumber)
Jumat, 22 Agustus 2008
Sabtu, 09 Agustus 2008
Urban legends
Urban Legends; tentu saja ini bukan tentang cerita horror versi
Fenomena kaum urban di kota-kota besar di dunia, memang sulit dibendung. Dalam hal ini
Puluhan ribu, bahkan ratusan ribu penduduk pedesaan berbondong-bondong menyerbu
Faktor ekonomi, terutama karena lapangan pekerjaan yang sangat terbatas, pekerjaan di sektor pertanian yang sangat tidak memadai, menjadi penyebab kaum urban ngacir dari kampung halamannya.
Sementara itu, disisi lain,
Dibalik gemerlap
Akhirnya persoalan yang dihadapi pemerintah menjadi sangat rumit dan kompleks.
Meskipun hingar bingar otonomi daerah sudah gencar semarak, tetapi terbukti masih belum perkasa.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus bersatu padu dan saling melengkapi dalam melaksanakan program penanggulangan masalah urbanisasi.
Langkah utama yang harus dilakukan:
- Ekstensifikasi & intensifikasi pertanian.
- Berdayakan ekonomi berbasis kerakyatan (wisata, kerajinan, pengolahan makanan dalam skala home industri) dengan memberikan kredit dengan bunga yang super ringan.
- Memberi pelatihan dan menyediakan kesempatan promosi di dalam dan luar negeri.
Karena pada dasarnya, arus urbanisasi merupakan refleksi dari kegagalan pemerintah (daerah) dalam mengatasi kebuntuan dan stagnasi perekonomian di daerah.
Di Jakarta, tidak pernah terdengar orang Bali (yang kita konotasikan dengan nama khas Bali) yang tertangkap tramtib, dikejar-kejar Polisi PP karena jadi pengemis, atau hidup di kolong jembatan. Kenapa? Karena di Bali lapangan pekerjaan sudah cukup tersedia. Potensi wisata dan kesenian (ekonomi kreatif) benar-benar digarap secara serius dan terarah oleh pemda
Jadi, ngapain ke Jakarte bang !
Ditulis oleh Rindy