Minggu, 05 Oktober 2008

Minal aidin wal faidzin

Panduan Mengoleksi Seni Rupa

Jika Anda mempertimbangkan untuk membeli karya seni, ada beberapa hal yang bisa dipakai sebagai panduan memilih karya seni :

1. Koleksilah karya seni dari perupa akademis yang memang punya dedikasi tinggi dalam bidang seni rupa. Di Cina dan negara-negara lain pada umumnya, perupa “harus” dari lingkungan/lulusan akademis. Sebab, seni rupa bukan semata ketrampilan olah tangan, tetapi konseptual juga.
2. Pilihlah karya seni yang mempunyai kesan khusus pada diri Anda, apakah dari segi tema ataupun penampilan estetis. Lebih baik lagi bila lukisan tersebut membuat Anda mengingatkan moment-moment pribadi atau pengalaman hidup yang menyadarkan Anda. Yang mengingatkan Anda akan sesuatu. Yang membuat Anda bahagia atau pun nyaman.
3. Jangan membeli karya seni rupa karena semata-mata nilai investasinya. Koleksilah karya seni yang memang benar-benar Anda sukai.
4. Disamping mengoleksi dari perupa yang “sudah punya nama”, sebaiknya mengoleksi perupa yang “potensial” meskipun namanya belum terdengar dikancah seni. Siapa tahu, seiring berjalannya proses waktu, karya perupa tersebut dicari dan diburu para kolektor. Hal tersebut otomatis akan meningkatkan “nilai” koleksi Anda.
5. Pastikan keaslian karya seni yang akan Anda beli. Jika Anda membeli jam tangan atau tas palsu, barang tersebut masih bisa digunakan. Namun untuk lukisan palsu, tidak mempunyai nilai sama sekali.
6. Biasakanlah membeli karya seni dari galeri, balai lelang atau pameran seni.

Rabu, 17 September 2008

Pameran Lukis angkatan 82


Para perupa Institut Seni Indonesia angkatan 1982 sedang berpose dalam suatu pameran di Bentara Yogyakarta. Di depan adalah para mahasiswi Diskomvis angkatan 1986.

Kawinan Sujud


Aku (berdasi) hadir dalam perkawinan sahabat karibku Sujud


Aku, Dedi John Lenon, Harko dan Megasari.

Minggu, 07 September 2008

Ilustrasi Cerpen Tidak Bersalah

Mengapa ilustrasi cerpen di Kompas Minggu dianggap mengganggu ke”khusukan” pembaca teks cerpen itu sendiri? Sebegitu “perkasa” nyakah ilustrasi cerpen hingga sanggup “menyurutkan kekuatan gaib kata-kata” yang sudah dibangun (tentunya) dengan sungguh-sungguh oleh para pengarang?
Salahkah ilustrasi-ilustrasi tersebut?
Saya juga termasuk penikmat Kompas Minggu yang berharap dapat selalu dikagetkan akan munculnya ilustrasi-ilustrasi cerpen yang ‘mengejutkan’, ‘segar’, dan ‘tidak biasa-biasa saja’ serta tidak membosankan sehingga tidak cukup alasan buat penikmat cerpen (plus ilustrasi) untuk berpikir bahwa ilustrasi-ilustrasi tersebut “bisa saja tidak usah dihiraukan” keberadaannya.
Namun dalam hal ini, ilustrasi ‘yang segar dan tidak biasa-biasa saja’ bagi saya adalah yang mengganggu, terutama karena ‘keelokan’ tata rupanya. Tidak menjadi keharusan benar apakah ilustrasi itu mampu menjelaskan atau mengusung makna dari teks yang terkandung dalam cerpen tersebut. Yang saya harapkan adalah ilustrasi setidaknya mampu mengimbangi tema yang diangkat oleh cerpen. Dia perlu bersaing menjadi sama menariknya dengan isi cerita pendek itu sendiri. Sehingga ketika bersanding dengan cerpen, lewat kekuatan tata rupanya, peran ilustrasi buat memikat pembaca tersampaikan. Pembaca betah membaca cerpen tersebut dan betah menatap ilustrasinya. Sebaliknya, andai ilustrasi tersebut dilepaskan dari cerpen, dia juga mampu berdiri sendiri sebagai karya yang utuh (mungkin ini termasuk pandangan ‘khas perupa’).
Bukan rahasia umum bahwasanya ada dari kita justru tergoda membaca cerpen (atau buku) seringkali berawal dari ilustrasinya (atau covernya). Terkecuali kita memang mempunyai pengarang-pengarang favorit tertentu yang bisa saja membuat peran ilustrasi (atau cover buku) cenderung diabaikan begitu saja.
Serius
Sejauh yang saya ikuti, Kompas termasuk sangat serius dalam menggarap ilustrasi-ilustrasi cerpennya- sehingga membuatnya berbeda dengan kebanyakan harian lain. Dulu kita kerap disuguhi ilustrasi berkarakter khas yang digarap bergantian: Hard, dengan gaya cenderung realistic. Dan cukup lama kita diasyikkan oleh keliaran garis Ipong Purnomo Sidhi. Lalu dalam kurun waktu yang cukup panjang pula kita khusyuk menikmati seni gambar almarhum Semsar Siahaan.
Dan kini, sejak 2002, kita disuguhi variasi ilustrasi yang dibuat oleh banyak perupa Indonesia. Silih berganti, tiap minggu seorang perupa ditampilkan repro “karya khususnya” di rubrik cerpen. Entah sudah berapa puluh atau berapa ratus perupa yang terlibat – yang dipilih oleh ‘koordinator-koordinator perupa’ di wilayah Jakarta, Bandung, Yogya, Malang dan Bali.
Seorang perupa bisa jadi hanya (baru) satu kali berkesempatan menggarap ilustrasi. Perupa lainnya ada yang telah mendapat kesempatan dua-tiga kali bahkan lebih sering lagi. Sementara perupa-perupa yang belum berkesempatan mungkin menunggu atau sedang dijadwalkan, atau mungkin tidak akan pernah mendapat kesempatan karena perbagai criteria yang telah menjadi kebijakan pengelola. Tentu saja akan ada pula perupa-perupa yang enggan dilibatkan dalam proyek ilustrasi ini dengan berbagai alasan masing-masing.
Di kalangan pemerhati, rubrik Cerpen plus ini (plus ilustrasi oleh perupa) disejajarkan dengan galeri, karena termasuk unik, alternative dan menggugah daya cipta (meminjam istilah Wahyudin).
Setiap tahun karya-karya asli perupa yang menjadi ilustrasi cerpen Kompas di tahun sebelumnya dipamerkan di galeri-galeri sesungguhnya, berkeliling di Jakarta, Yogyakarta dan di kota-kota lain.
Saya telah tiga kali mendapat kesempatan mengisi ilustrasi di ‘galeri’ ini. Merasa puas karena dapat bekerja maksimal di kesempatan pertama dan ketiga, tetapi kurang puas karena tidak dapat maksimal di kesempatan kedua.
“Setting” cerita
Saya tidak tahu persis kriteria apa saja yang menjadi rujukan pengelola “galeri” dalam memilih seniman pengisi ilustrasi cerpen Kompas. Mungkin bisa bermacam-macam dan sangat bergantung kecenderungan selera artistik masing-masing “koordinator”. Saya pernah menduga kemiripan setting cerita dari cerpen dengan budaya asal daerah seniman calon pengisi ilustrasi, bisa saja menjadi salah satu pertimbangan ‘koordinator’.
Pertama kali menerima ajakan membuat ilustrasi cerpen Kompas tahun 2002, saya disodori cerpen Ratna Indraswari Ibrahim, Perempuan di jenjang rumah. Saya sempat bertanya-tanya mengapa ilustrasi untuk cerpen tersebut dipercayakan kepada saya.
Apakah asal pilih seniman, yang berarti ‘gambling’, atau ada pertimbangan lain?
Kebetulan cerpen tersebut ber-setting daerah perkampungan air di Kalimantan yang suasananya dan kebiasaan penduduknya mirip-mirip dengan daerah asal saya Palembang Sumatera Selatan. Jadi saya anggap saja pertimbangan tersebut kebetulan diterapkan kepada saya.
Ketika mengamati korelasi setting cerita cerpen-cerpen selanjutnya karya pengarang lain dan seniman-seniman pembuat ilustrasi lain pun, saya melihat sering ada kecocokan sebagaimana halnya kasus yang saya alami.Setting cerita Bali kerap ilustrasinya dibuat perupa asal Bali, setting cerita Sumatera Barat sering ilustrasinya dibuat perupa berdarah minang, setting cerita Jawa atau budaya Jawa sering ilustratornya perupa berdarah Jawa.
Pada kali kedua mendapat order ini pun (2005) saya masih merasa pertimbangan korelasi setting cerita dengan daaerah asal perupa masih diterapkan. Pada waktu itu saya mendapat cerpen Martin Aleida Salawat untuk Pendakwah kami, yang bersetting cerita Melayu Muslim di Sumatera bagian Utara. Ah, saya kira ‘koordinator’ (yang kebetulan sama) menduga Palembang cukup sarat dengan budaya Melayu Muslim pula.
Apakah ada faktor ‘pembisik’ dan ‘koncoisme’ dalam memilih calon penggarap ilustrasi sebagaimana disangkakan oleh tulisan Wahyudin? Wallahualam. Saya kira hal ini dikembalikan pada otoritas pengelola ‘galeri’ ini sendiri.
Saya tidak mengetahui apa yang terjadi dengan ‘koordinator’ di Bandung, Jakarta, Malang ataupun Bali. Tapi menurut saya, ‘koordinator’ di Yogyakarta cukup memiliki otoritas yang dipujikan.
Pernah secara iseng di akhir tahun 2005 saya mengontak ‘koordinator’ agar diagendakan menggarap ilustrasi cerpen lagi. Ketika itu saya dalam tahap melanjutkan pengobatan guna memulihkan kesehatan saya yang banyak memakan biaya. Dalam pikiran saya waktu itu paling tidak honorariumnya bisa buat tambah-tambah keperluan membayar obat dan dokter.
Namun, saya tidak kunjung mendapat garapan ilustrasi dan saya tidak pernah mengontak ‘koordinator’lagi. Hal ini cukup menunjukkan factor ‘koncoisme’ tidak berlaku. ‘Koordinator saat itu lebih memikirkan kepentingan pembaca (penikmat) rubrik ini ketimbang kepentingan lain-lainnya. Suatu hal yang tentunya senantiasa kita harapkan pula.
Di tahun 2007 saya mendapat garapan ilustrasi lagi (kali ini lewat koordinator berbeda). Cerpen F Dewi Ria Utari, Sinai. Tampaknya pertimbangan ‘koordinator’ ini kepada perupa agak berbeda kriterianya dengan kesempatan yang diberikan oleh ‘koordinator’ di tahun 2002 dan 2005. Ia tidak menghubungkan setting cerita dengan budaya asal daerah calon pembuat ilustrasi.
Virus sastra
Bila mengingat ratusan ilustrasi cerpen yang dibuat para perupa (sejak tahun 2002) dari beragam karakter dan kecenderungan visual, tidak semua tampak ‘segar dan mengejutkan’ memang. Ada ilustrasi yang kelihatan dikerjakan sungguh-sungguh, tapi ada juga yang tampak dilakukan setengah hati-mungkin penggarapnya menganggap ilustrasi adalah kerja yang ringan bobotnya dibanding ketika membuat karya utama. Barangkali pula ini adalah resiko yang harus dihadapi pengelola, mengingat proyek ini menyimpan ‘sisi spekulasi’ (spekulasi dalam pengertian perupa yang setuju terlibat ternyata tidak mematuhi aturan main, seperti gagal memenuhi deadline).
Namun jangan lupa; karena ini produk cetakan, adanya peran ‘tangan fotografer’ atau media scanner’, ‘penata letak’, sampai ‘kontrol separasi warna di percetakan’ sedikit banyak berimbas pada kesan yang akan kita terima dalam menikmati ilustrasi. Bisa saja ilustrasi yang aslinya bagus sekali jadi ‘tidak terasa apa’apa’ ketika muncul di Koran. Atau sebaliknya, ilustrasi yang biasa-biasa saja jadi meningkat kualitasnya setelah tercetak.
Lalu, mungkinkah Kompas ‘terlalu jauh’ dengan eksperimentasinya sehingga membuat ‘jengah’ beberapa pembaca setianya? Kalau ini benar, berarti memang saatnya kini ‘menyegarkan diri’, sebagaimana apa yang disarankan dalam tulisan Wahyudin.
Namun betapapun ‘kurang-lebihnya’ pencapaian proyek ‘galery’ ini, di sektor apresiasi sastra pastilah ada hal yang meningkat. Setidaknya, sejumlah perupa yang malas membaca sastra tertulari ‘virus sastra’ – hal yang diyakini para pengamat bakal berimbas baik buat penciptaan karya-karya mereka kedepan. Belum lagi terhitung berapa banyak peminat seni, pemilik galeri atau kolektor lukisan misalnya, yang jadi tertarik membaca cerpen- bila selama ini mereka enggan menyentuhnya.
Apa yang telah dicapai oleh Kompas, ‘terlalu menarik’ dan ‘penuh kejutan’.
Koreksi dan kritik perlu ditindaklanjuti dengan menajamkan kriteria dan memperketat kontrol disana-sini.
Harapannya, ‘galeri’ ini tidak asal menampilkan seniman hanya dikarenakan kurangnya informasi data seniman atau mungkin karena terlalu memuja seorang seniman. Tapi juga tidak asal menjadi ‘parade’ atau ‘ajang arisan’ seniman hanya karena ingin merespons kritik dan memenuhi selera pembaca tertentu pula. Pastinya pula Kompas akan memiliki alasan yang kuat ketika kali tertentu berkepentingan menampilkan ‘perupa langganan’ atau ‘perupa yang itu-itu saja’, karena hal seperti ini pantas-pantas saja …

Syahrizal Pahlevi, Kompas, 31 Agustus 2008

Novel Grafis

Apa kabar Novel Grafis Indonesia? Tahun2004 Beng Rahardian membuat Selamat Pagi Urbaz yang spesifik memberi label novel grafis, bukan komik.
Sejak itu, walau jalan menuju novel grafis sudah dirintis, perkembangannya suram. Anak-anak muda menganggap hal yang bergambar termasuk komik. Sedangkan orang dewasa yang mencintai novel menganggap sesuatu bernama komik enggak sastrawi.
Babak berikutnya, novel grafis mulai dikenal di Indonesia. Tapi yang laku didominasi terjemahan asing.
Mirna Yulistianti, editor penerbit Gramedia Pustaka Utama (GPU), menyatakan sulit menemukan komikus Indonesia yang bertahan membuat membuat novel grafis dengan alur cerita berbobot. Kebanyakan jago ilustarsi komik, tapi tak bisa bertahan dengan cerita panjang.
Ini diakui Suryo Nugroho dari studio ilustrasi komik rumah warna. “Memang gambar-gambar kita diakui dunia, tapi untuk cerita masih kalah,” katanya.
Menurut Mirna, novel grafis membuka peluang komikus Indonesia berkarya. Pembaca novel grafis pun mulai bergairah. “Banyak produk dalam negeri yang potensial dibuat novel grafis, tapi masih jarang ada yang mengajukannya,” katanya.

Beda dengan komik
Beredar berbagai pengertian novel grafis ini. “Untuk memudahkan, novel grafis itu pasti komik, namun tak setiap komik masuk criteria novel grafis,” kata Mirna.
Novel grafis ceritanya lebih spesifik, unik dan kompleks. Kadang hanya bisa dinikmati kalangan umur terentu. Ini karena terkait ide filosofis dan politis penulis.
Novel grafis juga ada ketentuan minimal halaman. Biasanya komik tipis, tapi serinya panjang. Novel grafis halamannya banyak, bisa ratusan, tapi serinya tak panjang, satu buku selesai.
GPU memperkenalkan novel grafis tahun 2006 dengan menerbitkan novel grafis, Marjane Satrapi, Bordir. Best seller dipegang Chicken Soup for the Soul. Grafis buku ini dikerjakan Kim Dongwa dari Korea yang mengadaptasi buku Chicken Soup. “Gaya manga dan gambar bersih menjadi daya tarik,” katanya.

Belum tenar
Genre novel grafis belum tenar. Ini mengakibatkan komikus jarang bermain di ranah novel grafis. Mereka bertahan di komik.
Menurut Rendra M Ridwan, Creative Director Sekolah Komik Pipilaka Bandung dan Yanuar Rahman, CEO Sekolah Komik Pipilaka, dalam aktivitas mereka belum mendalami novel grafis.
Salah satu yang memicu hadirnya novel grafis adalah karena komik tipis dengan ceritanya yang ringan seperti Superman itu dianggap kekanak-kanakan.
Orang yang dianggap membuat dasar-dasar novel grafis adalah Will Eisner dari AS yang membuat novel grafis, Contract with God. Dengan ratusan halaman, karya ini beda dengan komik superhero yang tipis.
Masalahnya, definisi itu rancu lagi sejak DC dan Marvel membuat komik superhero dalam bentuk tebal.

Kompas, 8 Agustus 2008